“Kami Bukan Minta Saham Tetapi Kami Ingin Berunding Di Timika”

Oleh Odizeus Beanal

KILAS balik Kontrak Karya I PTFI dilakukan oleh antara PT FI dengan Pemerintah Pusat, tidak melibatkan kami, kami dianggap tidak ada. Pihak PTFI dan Pemerintah harus bertanggung jawab atas pencaplokan tanah kami, kerusakan lingkungan hidup, kami ini tuan tanah. Dalam perjalanan, konspirasi PT FI dan Pemerintah telah terjadi kasus pelanggaran HAM dan kekerasan mulai saat perusahaan bekerja, pada tahun 1977 di Agimuga- sampai dengan tahun 1996, kemudiaan Areal PT FI dipagari dengan pagar kawat yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat dan kami persis menjadi penonton kemegahan PT FI di tanah adat kami, kami juga dicap separatis, dianiaya, pemerintah pun terlibat melalui institusi aparat keamanan dalam kekerasan di areal PT FI.

Kekerasan dan babak baru PT FI dan Amungme, kasus pelanggaran HAM di Banti pada Desember 1994 yang dilaporkan Uskup Muninghof, membuka mata dunia akan adanya kekerasan di areal kerja sebuah perusahaan asal Amerika ini, diikuti oleh adanya aksi mahasiswa Papua tahun 1995,sehingga Komnas HAM RI, menurunkan Tim ke Timika, dalam situasi itu juga Ketua Lemasa Thom Beanal mengajukan gugatan terhadap Freeport Mc Moran di Pengadilan Lousiana. Tahun 1996, PT FI  mengkucurkan dana 1% sebagai dana FFIJD, yang digunakan bangun Rumah Sakit Mitra Masyarakat, beasiswa, bantuan usaha, dll. Ini digunakan oleh orang papua bukan hanya kami.

Perseteruan 2017, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat. ini yang berseteru adalah yang berkontrak tahun 1967 dan 1991 tanpa melibatkan pemilik tanah, kami menerima dampak. yaitu kekerasan yang hebat juga di areal PTFI, dikeluarkan juga Kepres No 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital telah menjadi pintu kekerasan di areal PTFI serta menjustifikasi kehadiran aparat disana, terjadi juga kerusakan lingkungan juga pengambilan tanah untuk lokasi tambang bawah tanah yang kami tidak ketahui sudah sejauh berapa meter dan ke arah mana saja akibat pembatasan ekspor dengan alasan regulasi nasional. Sehingga hak masyarakat adat terabaikan tidak diperhatikan dan secara sistematis sedang ada upaya agar PT FI ada dibawah kendali Negara, demikian yang kami nilai diinginkan oleh oknum-oknum di Jakarta.

Simpelnya, siapa yang ingin dimasukan di areal PT FI, lalu siapa yang mempunyai hak atas gunung dan tanah ini? Sudahkah kami diajak bicara? Dampak PP No 1 tahun 2017 telah membawa dampak negatif bagi masyarakat, ada PHK, ada pengurangan dana bagi LPMAK, lembaga lain. Keputusan ini meresahkan masyarakat telah mulai ada aksi karyawan, kami khwatir anak anak akan dipulangkan karna dana berkurang. Karyawan yang di-PHK dan akan di-PHK itu warga negara mana? Bukankah mereka adalah warga Negara Indonesia. Papua dan Jakarta sedang tidak saling percaya. Sekarang pertanyaannya siapa yang akan bertanggung jawab atas semua ini, karena semua yang negatif hanya diwariskan kepada pemilik tanah.

Kami harus realistis bahwa selama ini masyarakat juga hidup tergantung kepada PT FI melalui kegiatan csr, PT FI suatu saat akan pulang pemerintah akan terus berganti tetapi pemilik tanah itu abadi sampai kapan pun, kami hanya akan hidup sebagai pewaris kehancuran, pewaris kerusakan lingkungan hidup kepada generasi. Apa jaminan kami akan lebih baik dari perseturuan ini bagi kami tuan tanah dasar tuntutan amungme. Ingat baik bahwa Pasal 138 UU No 4 Tahun 2009 ’’Pemberian IUP/IUPK bukan merupakan Kepemilikan Tanah”, dan UU No 21 Tahun 2001 terutama bab tentang Perlindungan Hak Masyarakat Adat, telah memberikan kekuatan hukum kepada kami sebagai pemilik tanah. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Amungme Kamoro, dijamin dalam Konvensi Internasional (ILO) No.169 Tahun 1989, Deklarasi PBB Tentang Hak Asasi Bangsa Pribumi tanggal, 13 September 2007, dan di NKRI jamin dalam UUD 1945 ayat 18B, amandemen keempat. Perusahaan harus segera berjalan normal dan kami harus berunding. Kami ingin berunding setara antara tuan tanah, tuan yang punya uang dan tuan yang berkuasa, dengan prinsip FPIC agar ada win win solution dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Kami harus berunding atau bermusyawarah di TIMIKA. bukan di ruangan-ruangan atau di hotel-hotel di Jakarta. Agar terbuka dan disaksikan oleh masyarakat dan roh-roh leluhur kami.

KAMI Berunding tentang; hak atas tanah, kerusakan lingkungan, karyawan, pengamanan, luasan wilayah kerja, csr bagi papua dan bagaimana pasca tambang serta bentuk kompensasi dalam kk atau iupk khusus bagi freeport hak kami harus diakomodir dalam sebuah pasal khusus; ’’pemberian iup/iupk bukan merupakan kepemilikan tanah” klausul yang kedua “perusahaan pemegang kk atau iupk dan pemerintah wajib berunding dengan pemilik tanah terkait dengan kompensasi bagi masyarakat pemilik tanah, hasilnya dituangkan dalam akta yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat.”

Penulis adalah Ketua Lemasa Timika

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *