Oleh: Alexandro Rangga, OFM
Pengantar
Ada banyak faktor yang menentukan berjalannya kegiatan belajar mengajar atau tidak. Faktor-faktor itu antara lain adanya sarana dan prasana, adanya tenaga pendidik dan siswa, serta penyelenggara dan pengawas pendidikan. Jika salah satu dari faktor tersebut tidak ada maka bisa dipastikan bahwa proses pendidikan terhambat bahkan macet total. Situasi demikianlah yang terjadi di Kabupaten Asmat. Situasi-situasi itu pulalah yang menjadi pokok pembahasan pada kesempatan kali ini yang disinyalir sebagai penyebab utama berbagai persoalan pendidikan di Asmat.
Beberapa fakta di lapangan
Tidak adil jika menilai bahwa seluruh proses pendidikan di Kabupaten Asmat tidak berjalan maksimal. Akan tetapi memang sebagaian besar memang demikian. Beberapa fakta dari lapangan dapat memberikan sedikit gambaran tentang kondisi tersebut.
Pendidikan yang bermutu hanya ada di pusat Kabupaten Asmat yakni di Kota Agats. Di sini tersedia jenjang pendidikan sejak PAUD hingga SMA/SMK. Selain itu proses kegiatan belajar mengajar pun berjalan dengan baik dengan partisipasi aktif dari tenaga pendidik maupun peserta didik.
Persoalan muncul tatkala berbicara tentang pendidikan di distrik-distrik lain di luar Kota Agats. Dalam observasi dan wawancara, kami menemukan ada banyak persoalan mengenaskan di sebagian besar distrik. Di desa Karbis, bangunan sekolahnya rusak parah. Selain itu tidak ada guru di tempat tugas. Kepala sekolah pun tinggal di kota Agats dan hanya turun seminggu saat ujian sekolah. Untuk memenuhi kehausan anak-anak akan pendidikan, Pastor Paroki Suator, RD. Hilarius Salmon, Pr turun tangan mengajar mereka. Di Desa Warse, meskipun bangunan sekolahnya tersedia, namun tenaga pendidik tidak ada di tempat, selain kepala sekolah, itupun tidak full time karena beliau sering memperhatikan usaha sampingannya. Di desa Amborep pun demikian. Yang setia berada di tempat hanya kepala sekolah dan seorang guru honorer, sementara lainnya tinggal di Kota Agats. Masih banyak contoh lain tapi menurut para praktisi pendidikan di Agats, situasi di atas terjadi di seluruh Distrik di Kabupten Asmat kecuali di Distrik Sawa Erma dan Atjs.
Lemahnya fungsi kontrol pemerintah
Hal yang menyedihkan dari fakta-fakta di atas ialah bahwa meski telah dikeluhkan ke pemerintah, bahkan telah menjadi konsumsi publik, tidak ada tindakan berarti yang dilakukan oleh pemerintah daerah, secara khusus Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Asmat. Padahal pemerintah adalah pengawas utama proses pendidikan sebagaimana termaktub dalam undang-undang yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara spesifik telah lalai mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaran pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10 UU No.20 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Akibat lebih jauhnya ialah pemerintah tidak memberikan layanan dan terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi orang Asmat (Pasal 11 Ayat 1, Ibid).
Tudingan ini berasalan karena pengelola pendidikan lainnya yakni pihak swasta atau yayasan seringkali hanya dapat menindak tenaga pendidik yang dikontrak oleh pihak swasta atau yayasan. Padahal dalam implementasi, dana maupun tenaga pendidik juga disediakan oleh pemerintah. Sayangnya ketika tenaga pendidik melalaikan tugas, tidak ada tindakan tegas dari pihak pemerintah untuk memberi sanksi kepada pegawainya. Sebaliknya para tenaga pendidik yang melalaikan tugasnya tersebut tetap menerima gaji setiap bulan.
Tanggung jawab yang terbengkalai
Berbagai pembiaran atas banyaknya keluhan baik dari pihak penyelenggara maupun masyarakat berkaitan dengan buruknya kualitas pendidikan di Asmat diperparah dengan tidak adnyaa tanggung jawab dari pihak-pihak lain. Beberapa contoh bisa dikemukan di sini. Keluhan tentang tenaga guru yang tidak profesional. Sikap tidak profesional para guru ini tampak dalam beberapa hal seperti tidak berada di tempat tugas dalam waktu yang lama, tidak menyiapkan materi pelajaran dengan baik, maupun lebih fokus pada usaha sampingan. Sebaliknya para guru amat serius dalam mengurus administrasi, berkas-berkas serta gaji meskipun mereka tidak menjalankan kewajibannya sebagai pengajar dan pendidik. Sikap tidak profesional para guru ini rupanya ditenggarai oleh perhatian pemerintah yang lemah terhadap kesejahteraan para guru seperti tidak adanya sarana dan prasana bagi para guru, gaji yang minim bahkan gaji yang tersendat-sendat. Selain itu juga dipengaruhi oleh rendahnya partisipasi dan kehadiran para murid di ruang kelas serta kenyamanan di tempat kerja akibat ulah masyarakat yang sering menganggu, mengancam bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap guru.
Selain faktor guru yang tidak bertanggung jawab dan profesional, kesadaran dan kepedulian masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka pun masih rendah. Hal ini diperparah dengan pembiaran dari pemerintah dan sikap tidak bertanggung jawab para tenaga pendidik sehingga masyarakat tidak yakin bahwa pendidikan itu memang penting bagi anak-anak dan masa depan mereka. Maka tidaklah mengherankan jika orang tua lebih sering membawa anaknya ke hutan untuk memangkur sagu, mencari ikan. Budaya ini tetap bertahan karena di dalam proses meramu juga terjadi proses pendidikan dari orang tua kepada anak, misalnya tentang pembagian kerja laki-laki dan perempuan, bagaimana memangkur sagu, bagaimana memancing ikan, bagaimana nilai-nilai relasi sosial ditanamkan maupun pendidikan nilai lewat cerita lisan.
Penutup
Kolaborasi berbagai persoalan di atas menempatkan masyarakat terutama peserta didik sebagai korban. Apapun alasannya, pemerintahlah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Pihak-pihak lain hanyalah rekan kerja yang tidak dapat mencerdaskan generasi masa depan Asmat jika pemerintah tidak menjadi pengarah, pembimbing, pembantu, pengawas dan penjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi masyarakat tanpa diskriminasi.