“Kita punya relasi dengan alam, leluhur dan sebagai orang beriman kita juga relasi dengan Tuhan. Relasi ini kadang putus karena dosa dan kesalahan kita. Relasi kita putus karena kesalahpahaman dan hal-hal yang lainnya”
Begitulah sekilas renungan yang disampaikan oleh Pastor Paroki Bunda Maria Pikhe Pater Petrus Fenyapwain, OFM dalam perayaan Rekonsiliasi di Aliansi Siepkosy, Distrik Siepkosy, Kabupaten Jayawijaya, Sabtu (9/4).
Sejak tahun 2011-2016, masyarakat di Aliansi Siepkosy, melakukan refleksi sosial terhadap segala pergumulan akan kegagalan dan keberhasilan dalam kehidupan mereka. Dari refleksi sosial tersebut salah satu rekomendasi yang dihasilkan adalah mengadakan perayaan rekonsiliasi atau perayaan perdamaian. Perayaan ini bertujuan untuk mengembalikan benda-benda sakral pada posisinya atau pada tempatnya semula.
“Proses ini merupakan proses penyatuan yang selama ini terpisah dan tidak pada tempatnya. Yang sebenarnya ada di Honai Kesuburan harus berada di Honai Kesuburan begitulah yang sebaliknya yang berada di Honai Politik harus ada di Honai Politik. Tidak boleh sembarangan ditempatkan karena ini akan berdampak pada kehidupan manusia. Misalnya hipere (ubi) tidak subur, Wam (babi) tidak tumbuh sehat dan manusia juga tidak subur. Ini merupakan keyakinan dan tradisi yang sudah ada dari sejak dulu nenek moyang kami sampai kami ada sekarang ini,” ungkap Bapak Stefanus Siep salah satu tokoh masyarakat di Aliansi Siepkosy.
Selain keterlibatan aktif dari masyarakat sendiri, peranan Gereja Katolik dalam hal ini peranan seorang pastor paroki sangat membantu umatnya untuk mengenal secara dalam hakikat kehidupannya. Nilai-nilai kebaikan yang ada di dalam tradisi tidak dihilangkan begitu saja oleh kehadiran Gereja Katolik. Gereja Katolik menguatkan dan menyempurnakan nilai-nilai tersebut di dalam nilai-nilai Injil.
“Sebagai orang Balim, kita mempunyai ikatan atau relasi dengan alam, leluhur dan sebagai orang beriman kita juga berelasi dengan Tuhan sendiri. Relasi terputus karena dosa dan kesalahan kita. Kita yakin bahwa kita punya ikatan kuat dengan alam kita. Dan ketika kita tidak memanfaatkan dan menjaga alam ini maka selalu ditafsirkan bahwa alam akan menghukum kita. Selain itu kita miliki relasi dengan para leluhur. Putusnya relasi kita dengan leluhur karena adanya kesalah dalam adat tradisi kita. Dewasa ini, kabanyakan orang muda tidak lagi menghargai adat dan budaya padahal kita bertumbuh dalam dan dari adat kita masing-masing. Karena perkembangan zaman adat mulai disepelehkan. Kita lebih muda dan mau mengadopsi budaya-budaya luar ke dalam budaya Balim. Kita lebih senang menerima perkembangan budaya lain ketimbang budaya sendiri. Hari ini kita mencoba melihat kembali perjalanan kehidupan orang tua kita, kita belajar dari itu dan coba membangun sebuah rekonsiliasi, membangun sebuah relasi yang terputus karena perilaku hidup kita. Saya mengajak untuk melihat lagi 3 hal, “Wen (Kebun), Wam (Babi) dan Wene (kehidupan)”. Kita diharapkan untuk kembali di situ. Karena tiga hal ini adalah dasar utama orang Balim. Kita bangun kembali tiga hal ini sekaligus menjadi tiang penyokong kehidupan kita. Ini juga merupakan program dalam paroki dan kiranya menjadi perhatian kita bersama,” jelas Pater Petrus dalam khotbahnya.
Melihat kembali perjalanan yang rusak bukan merupakan sebuah proses yang gampang. Penyadaran kembali kepada masyarakat dan kaum muda yang sudah kehilangan nilai-nilai adat tradisi menjadi tanggung jawab semua orang di Lembah Balim, khususnya di Aliansi Siepkosy.
“Proses ini juga tidak sembarang dilakukan, kami harus melakukan pendekatan dengan tua-tua adat dan mereka yang berhak dan berkepentingan dalam adat. Kalau kita lakukan sembarang akan berdampak pada diri kita dan keluarga kita. Setelah perayaan rekonsiliasi ini kita akan melihat dampaknya. Kita berharap segala kegagalan dan ketidaksuburan dapat mulai hilang,” jelas Bapak Stefanus Siep.
Hal senada juga dikatakan oleh Bapak Yakobus Siep, salah satu tokoh adat dan masyarakat dari Silimo Honai Politik.
“Harapannya adalah dengan rekonsiliasi ini dibuat untuk menempatkan kembali posisi benda-benda pada tempatnya sehingga ketidaksuburan, kegagalan atau kematian babi tidak terjadi lagi. Kita akan lihat perkembangannya,” ungkap Bapak Yakobus
Proses rekonsiliasi dilakukan selama dua hari di Aliansi Siepkosy, Distrik Siepkosy, Kabupaten Jayawijaya. Hari pertama Sabtu, 9 April, kedua silimo di Honai Kesuburan dan Politik masing-masing melakukan bakar batu, makan bersama dan merayakan perayaan Ekaristi rekonsiliasi. Pada hari kedua Minggu, 10 April, masing-masing silimo melanjutkan bakar batu, makan bersama dan penyatuan benda sacral atau proses memaafkan atau memperbaiki kesalahan dengan secara bersama menginjak sejenis tumbuhan bulu di depan kandang babi yang telah disiapkan. Upacara ini disebut dengan ‘lokopsagaluok”. Di dalam perayaan ini kaum perempuan tidak dilibatkan secara langsung. Perempuan diperbolehkan ikut tetapi tetap berada di dalam dapur.