Catatan dan Refleksi Papua Selama Tahun 2015 (Bagian Ketiga)

Melanesian Spearhead Group Menjadi Jalan Konflik Atas Perdamaian

Negara-negara Melanesia yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) memberikan status pegamat bagi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan status anggota Asosiasi bagi Indonesia mewakili orang-orang Melanesia Indonesia dalam pertemuan puncak pemimpin-pemimpin MSG di Honiara, Salomnd Island pada 26 Juni 2015. Apa yang sedang terjadi dengan pemberian status ini? Apakah ini menjadi solusi sebagaimana kebayakan pendapat? Ada beberapa catatan sebagai jawaban atas soal ini.

Pertama, masalah West Papua mulai masuk ke kawasan Melanesia. Negara-negara Melanesia melihat masalah Papua menjadi bagian dari rumah tangga orang-orang ras Melanesia. Negara-negara MSG merasa perlu melihat dan mengambil langkah atas konflik di west Papua. Perhatian ini kemudian menjadi jalan upaya MSG membawa masalah West Papua ke kawasan wilayah Pacific dan ke dunia Internasional.

Kedua, negara-negara MSG mengakui keberadaan orang-orang Melanesia yang pro kemerdekaan maupun pro Integrasi di tanah Papua. Melanesian Spearhead Group megakui keberadaan orang-orang pro merdeka yang berada dalam negeri maupun luar negeri. Melanesian Spearhead Group mengakui juga keberadaan orang-orang pro integrasi yang bergabung dengan orang-orang Melanesia Indonesia (Menurut Pemerintah Indonesia mereka itu ada di Provinsi Maluku, NTT dan NTB).

Apakah orang-orang Melanesia Indonesia ini benar-benar ras Melanesia? Orang-orang ini tentunya menjadi ambigu, Melanesia atau ras yang mengidentifikasikan mereka selama ini. Entah polinesia atau Melanesia menjadi tidak jelas. Kalau itu benar, ada satu pengakuan dari pemerintah Indonesia setelah sekian lama tidak mengakuinya. Lucunya, pegakuan itu datang ketika ada rangsangan dari pihak luar.

Ketiga, Negara-negara Melanesia mengakui perjuangan kedua kelompok di meja MSG. Melanesian Spearhead Group mengakui perjuangan orang Papua pro merdeka menetang penyimpangan sejarah PEPERA 1969 dan memperjuangkan menentukan nasib sendiri melalui solusi damai, dekolonisasi dan refrendum. Tetapi juga, MSG mengakui perjuangan orang pro integrasi bersama Pemerintah Indonesia mempertahankan Papua dengan cara yang ditolak pro Papua merdeka. Melanesian Spearhead Group mengakui pelanggaran HAM, kegagalan pembangunan dan penyimpangan sejarah atas nama kedaulatan Indonesia.

Kita perlu membaca ini sesuatu yang lain yakni upaya MSG membawa kedua bela pihak yang berkonflik duduk di satu meja. Melanesian Spearhead Group hendak mendudukan pemerintah Indonesia berhadapan dengan gerakan Papua merdeka, beradu padang, beradu argument dan mencari solusi bersama di meja MSG. Melanesian Spearhead Group tidak mau kedua bela pihak menyelesaikan konflik Papua melalui konflik bersenjata. Melanesian Spearhead Group inggin menempuh solusi damai saja melalui meja MSG.

Kita bisa mengatakan upaya ini bagian dari strategi tetapi juga terlihat ada pertarungan kepentingan Negara-negara MSG. Vanuatu, Salomon dan organisasi Perlawanan Kanak megedepankan kepentingan kemanusiaan dan persaudaraan Melanesia. Papua New Guinea dan Fiji mengedepankan kepentingan diplomasi ekonomi politik luar negeri. Isu Papua boleh dikata bahan kontak diplomasi dengan Indonesia saat ini. Negara PNG mendukung Indonesia lebih kepada upaya menjaga keamanan wilayah perbatasan. Papua New Guinea tidak mau peluang kerja sama dengan Negara tetangannya yang menjadi pintuk masuk ke wilayah Asia Tenggara. Negara PNG pun tidak mau menciptakan musuh dengan Negara tetangganya, walaupun menolak pelanggaran HAM di West Papua. Sedangkan Negara Fiji lebih kepada kepentingan mengalang dukungan menjadi Negara kuat di Pacific dan terlebih Melanesia. Indonesia menjadi salah satu Negara target dari Fiji di Wilayah Asia Tenggara, selain Asia Timur, China.

Kita bisa melihat bahwa kepentingan ini akan berdampak pada status ULMWP dan Melindo di MSG nanti. Kedua kelompok terus beranjak naik menjadi anggota penuh atau salah satu disepak keluar atau menarik dari MSG. United Liberation Movement of West Papua mempunyai peluang terus beranjak ke Anggota Asosiasi dan menjadi anggota penuh atau bergerak di tempat ataupun disepak. MSG mempunyai kewenangan menyepak keluar ULMWP ketika diplomasi Indonesia melalui PNG dan Fiji mampu mempegaruhi Vanuatu dan SI. Pemerintah Indonesia bisa bernasib yang sama. Melindo bisa beranjak naik atas dukungan PNG dan Fiji atas nama kerja sama tetapi Melindo tidak mempunyai argument kuat menjadi bagian dari MSG ketika pemimpin-pemimpin MSG konsisten pada tujuan keberadaan MSG. Orang-orang Melanesia yang diklaim lebih pada alasan politik. Belum ada tokoh yang membawa dan memperjuangkan nasib Melindo di MSG, selain pro Integrasi Papua.

Kita perlu melihat itu ancaman konflik disela-sela upaya MSG mengakui kedua kelompok ini. Kedua bela pihak akan memperlihatkan eksistensi mulai dari diplomasi luar negeri hingga upaya saling menekan. Kampanye Papua merdeka makin lancar disela-sela upaya Pemerintah Indonesia membatasinya. Upaya pembatasan itu bisa datang dalam berbagai bentuk, bentuk kekerasan hingga yang lebih lembut.

 

Kontrak PT Freeport Indonesia dan Pasar untuk Mama Papua

Pada enam bulan akhir tahun 2015, isu dan berita terkait PT Freeport semakin ramai dibicarakan, entah itu melalui media cetak lokal di Papua, nasional maupun media televisi dan internet. Isu PT Freeport semakin seksi dengan topik “Papa Minta Saham”. Sebelumnya, di awal tahun 2015, cerita PT Freeport terkait proyek pembangunan smelter. Perdebatan terkait dengan lokasi pembangunan pabrik smelter cukup memanas. Tolak-menolak, di daerah Pulau Jawa atau di Papua? Pada Minggu (27/12) Gubernur Lukas Enembe menegaskan bahwa lokasi pembangunan smelter direncanakan di Bintuni, Provinsi Papua Barat. Lokasinya pembangunannya telah ditentukan dari pemerintah pusat. Berdebat tetapi akhirnya diputuskan oleh Jakarta bukan oleh Papua.

Perdebatan topik pembangunan smelter ini beralih lagi dengan topik “Papa Minta Saham.” Perdebatan terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Perdebatan ini akhirnya menyeret Ketua DPR RI Setya Novanto. Pertengahan tahun hingga akhir tahun topik “Papa Minta Saham” sepertinya menjadi topik hangat yang hampir selalu diberitakan di media cetak dan massa. Banyak pandangan dari pejabat publik dan masyarakat terkait perpanjangan kontrak PT FI. Ada yang dengan tegas menolak, ada yang berujar perpanjangan karya PT FI harus melibatkan Pemda Papua dan masyarakat Papua, khususnya pemilik hak ulayat. Pemerintah Provinsi Papua dalam hal ini Gubenur Papua Lukas Enembe mendesak agar pemerintah pusat untuk segera memperpanjang kontrak PT Freeport. Menurut Lukas, perpanjangan kontrak dengan alasan bahwa pemerintah harus melihat berbagai aspek yang timbul di kemudian hari dari perpanjangan kontrak tersebut, 45% pengusaha asli Papua hidupnya tergantung pada hasil tambang Freeport, 91% Pemda Mimika tergantung pada Freeport dan perpanjangan tersebut harus melibatkan Pemda Papua. Kepala Dinas ESDM Provinsi Papua Bangun Manurung berpendapat bahwa Pemda Papua harus dilibatkan di dalam segala proses perpanjangan tersebut. Anggota DPR Papua Ruben Magai lebih memilih dan setuju kalau kontrak PT FI tidak diperpanjang karena terjadi banyak konflik dan pelanggaran HAM di sana. Bahkan pada 17 Desember 2015, massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua dan Rakyat Papua (AMPERA) melakukan aksi demo untuk menolak perpanjangan karya PT FI. Satu alasan yang jelas bahwa kehadiran PT FI telah memicu pelanggaran HAM di Papua, khususnya di areal perusahaan tersebut.

Pejabat Papua dan Pusat boleh berdebat. Pejabat Papua boleh memberikan pendapatnya di media namun semuanya akan ditentukan dan diputuskan oleh pusat. Kekayaan sumber daya alam selalu menjadi perhatian, Negara dan pejabatnya saling berburu tetapi segala pelanggaran, konflik yang sudah banyak menelan korban jiwa manusia tidak diperdebatkan. Hal itu dianggap biasa. Apakah korban yang selama ini (baik sipil maupun aparat keamanan) adalah tumbal? Bagaimana dengan nasib warga yang menjadi pemilik hak ulayat tersebut?

Terkait perpanjangan kontrak tersebut, Presiden RI menawarkan lima syarat untuk PT Freeport. Syarat pertama, perpanjangan kontrak baru bias dilaksanakan dua tahun sebelum berakhirnya kontrak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2014. Kedua, PT Freeport harus meningkatkan penggunaan barang dan jasa dalam negeri. Ketiga, terkait dengan divestasi saham Freeport untuk dalam negeri. Hal ini belum diputuskan oleh presiden karena apakah PT Freeport harus melepas sahamnya lewat pasar modal atau mekanisme yang lainnya. Keempat, meningkatkan pembayaran royaliti khusunya untuk tiga komoditas tambangnya yakni tembaga, emas dan perak. Royaliti naik menjadi 4% dari 3,5% untuk tembaga, emas 1% menjadi 3,7% dan perak 1% menjadi 3,25%. Kelima, PT Freeport wajib membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter).

Perdebatan dan diskusi seputar perpanjangan Kontrak PT Freeport Indonesia mungkin terus menjadi panas. Tak dipungkiri bahwa ada dampak positif yang diberikan oleh PT Freeport bagi masyarakat Papua, Pemda Papua dan Negara Indonesia. Apakah dampak positif tersebut sebanding dengan kerugian dan penderitaan yang selama dialami oleh masyarakat Papua? Apakah perpanjangan kontrak PT Freeport ini sungguh-sungguh menjadi kemauan dan keinginan masyarakat Papua? Atau hanya menjadi keinginan dan kepentingan sekelompok orang?
Ketika para pejabat ramai-ramai berdebat tentang perpanjangan kontrak PT Freeport, Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP) menagih janji kepada pemerintah. Janji untuk membangun sebuah pasar permanen bagi mama-mama asli Papua. Janji yang sampai saat ini masih menggantung dan belum terealisasi. Demi menagih janji yang tak kunjung terwujud, SOLPAP mengutus enam mama Papua dan koalisi untuk bertemu dengan Presiden RI dan pejabat Negara lainnya. Usaha ini dilakukan untuk meminta dan menagih janji dari Presiden RI ketika melakukan kunjungan ke Papua tahun 2014. Di tingkat Papua, suara ini terus digaungkan. Pada Maret 2015, Solpap dan koalisi melakukan aksi di Kantor Gubernur Papua untuk menagih janji pembangunan pasar permanen. Adanya tim Pokja Rumah Transisi yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo dan Panja dari DPR Papua untuk mendorong pembangunan pasar permanen. Namun hingga saat kini masih belum jelas dan kabur. Mereka hanya menabur janji kepada mama-mama Papua.

Keinginan seorang mama Papua untuk mendapatkan pasar permanen yang sederhana masih bertabrakan dengan keinginan dan mungkin kepentingan para pejabat di Papua. Para anggota DPR Papua, Pemprov Papua dan Pemkot Jayapura saling melemparkan tanggung jawab serta saling mempersalahkan. Semuanya hanya berjanji dan belum merealisasikan janjinya. Seorang mama yang mengandung, melahirkan dan membesarkan anaknya sangat sulit mendapatkan sebuah pasar permanen dari anak-anaknya. Seorang mama harus terus berteriak dan menangis untuk mendapatkan kasih sayang dari anak-anaknya. Kasih sayang seorang mama yang mengandung dan melahirkan anak-anaknya sepertinya dibalas dengan air tuba.

Kunjungan Presiden Joko Widodo, Dialog dan Kapsul Waktu

Ruang dialog yang ditawarkan sebagai sarana untuk mencari akar persoalan di Papua bernasib ‘tergantung’. Dalam masa kampanyenya Presiden Joko Widodo berjanji akan menyelesaikan persoalan di Papua melalui dialog. Ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke Papua pada Desember 2014, janji ini masih terungkap. Presiden Joko Widodo tetap mengedepankan dialog di Papua. Janji terus dikejar oleh Pemda Papua (Gubernur dan DPR Papua). Anggota Komisi A DPR Papua Bidang Hukum dan HAM Ruben Magay dan Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan bahwa rencana atu ide tentang pelaksanaan dialog Papua-Jakarta sudah diperjuangkan selama ini. Yang dinantikan adalah kemauan dari pemerintah pusat untuk melaksanakan rencana tersebut. Hal yang sama juga dipertegas oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Fuad Basya. Menurut Mayjen Fuad, Mabes TNI mengikuti semua kebijakan politik yang direncanakan oleh pemerintah, termasuk rencana dialog antara pemerintah pusat dan berbagai kelompok masyarakat di Papua. Apakah dialog dapat terwujud? Masih menjadi perdebatan.

Rencana untuk melaksanakan dialog bukan menjadi miliknya Jaringan Damai Papua melainkan sudah menjadi rencana sebagian masyarakat di Papua entah itu masyarakat sipil maupun Pemda Papua. Pada Februari, Gubernur Lukas Enembe mengatakan bahwa MRP akan memfasilitasi konsep dialog dengan pemerintahan pusat. Pendapat yang berbeda juga disampaikan oleh Direktur LP3BH Manokwari Yan Christian Warinussy mengatakan Joko Widodo dianjurkan membentuk tim kerja Ad Hoc untuk mempersiapkan format dialog Papua-Jakarta. Pada Maret, JDP sebagai penggagas dialog mulai merancang sebuah proses untuk mewujudkan dialog yang disebut dengan ‘Serap Aspirasi Rakyat (SAR)’. Dengan tema ‘Mari Kitong Bicara Dulu’, JDP mengajak masyarakat Papua untuk berdialog terlebih dahulu secara internal sebelum berdialog dengan pemerintah pusat. Walaupun demikian, tawaran dialog ini masih menjadi pro dan kontrak di kalangan internal dan eksternal Papua.

Dalam kunjungan pada 7-8 Mei 2015, sebuah pernyataan yang mengejutkan publik Papua dan pihak yang mendorong dialog. Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa di Papua tidak ada masalah, sehingga tidak perlu dialog khusus. Pernyataan ini dipertegaskan lagi oleh Pangdam Cendrawasih Papua bahwa “stop eksploitasi dialog Jakarta Papua karena sekarang sudah ada dialog melalui kunjungan presiden”. Dialog akhirnya tetap menjadi sebuah rencana dan ide saja.

Terlepas dari perdebatan seputar dialog, ada beberapa hal yang dapat disimak dalam kunjungan Presiden Joko Widodo tersebut. Pertama, keamanan yang sangat luar biasa kepada seorang kepala negara. begitu banyak tentara yang disiapkan (3600 personil), 2400 personil kepolisian, lima buah helicopter, dua buahkapal perang, dua buah pesawat hecules dan 12 tim sniper. Sepertinya negara berdemonstrasi tentang kekuatannya kepada masyarakat Papua. Papua masih dilihat sebagai gudang orang jahat dan pembunuh. Pastilah dana yang dikucurkan untuk membiayai keamanan sangat besar yang dikeluarkan oleh negara. Atau ada maksud terselubung bahwa Papua harus mendapatkan penambahan pasukan TNI dan Polri?

Hal kedua yang patut diapresiasi adalah kemauan baik Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada kelima Tapol pembobolan gudang senjata di Wamena. Pemberian grasi tersebut beberapa kalangan menilai bahwa negara mulai mencari pencitraan diri dari masyarakat Papua. Walaupun berbagai kasus pelanggaran HAM belum diselesaikan, mungkin dengan membebaskan kelima Tapol tersebut, masyarakat Papua mengatakan bahwa “Negara sungguh baik”. Hal ketiga, kunjungannya ke Merauke semakin menguatnya kemauan negara untuk menjadikan Papua sebagai lahan investasi pada tahun 2016. Kunjungan Presiden Joko Widodo yang lebih banyak menguntungkan negara dan para pejabat ketimbang masyarakat Papua. Hal-hal mendasar yang selama ini diperjuangkan sengaja dilupakan oleh seorang kepala negara.

Di akhir tahun, Desember 2015, sekali lagi Presiden berkunjung ke Papua. Niat baik dalam kunjungan tersebut dan mungkin perhatiannya untuk Papua perlu diapresiasi dan dihargai. Seperti dalam kunjungannya pertama, sudah pasti dan jelas ada beberapa rencana kegiatan yang akan dilakukannya dalam kunjungan tersebut. Kunjungan ke Merauke agak simbolis dengan menanam “kapsul waktu” yang berisikan harapan-harapan pokok Presiden untuk jangka waktu yang panjang (terwujud pada tahun 2085). Di dalamnya ada tujuh buah harapan yang mencerminkan gambaran ideal dari seorang pemimpin Negara. Lima diantaranya adalah harapan menyangkut pengembangan sosial-ekonomis (pengembangan sumber daya manusia, pusat pendidikan teknologi, infrastruktur yang merata, barometer pertumbuhan ekonomis dunia, negara yang mandiri dan berpengaruh) dan dua diantaranya adalah harapan menyangkut unsur sosio-budaya (menjunjung tinggi pluralisme, budaya religius dan nilai-nilai etika; warga dan aparat negara bebas korupsi). Sudah tentu aspek-aspek yang disinggung sangat penting dan menjadi inti dan landasan kebijakan oleh Presiden. Pertanyaan bagi kita, apakah harapan tersebut merupakan harapan dari orang Asli Papua?
Bagi masyarakat asli Papua mendengar ketujuh harapan tersebut mungkin penuh pesimis karena harapan tersebut diungkapkan ketika di Papua masih sangat kental dan terus terjadi kekerasan. Malahan menjelang kedatangan Presiden terjadi kekerasan yang sangat tidak berperikemanusiaan di Sinak, Kabupaten Puncak Papua. Dengan latarbelakang ini, mungkin masyarakat di Papua sebenarnya mengharapkan [1] adanya dialog sejati yang diangkat sebagai satu-satunya jalan bermartabat dalam penyelesaian masalah, entah betapa beratnya pun (sudah tentu dialog yang dimaksudkan jauh lebih luas daripada dialog pembangunan yang dicari oleh Presiden); [2] harapan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang baru terjadi di tahun 2014, [3] harapan supaya kita semua dapat hidup dalam damai dan bebas kekerasan. Mungkin harapan-harapan seperti ini harus mendapatkan tempat yang utama ketika Presiden mengisi harapannya di dalam ‘kapsul waktu’.

Kunjungan kedua Presiden Joko Widodo tidak ada bedanya dengan kunjungan sebelumnya. Diharapkan di dalam kunjungan ini komitmen Presiden Joko Widodo diuji untuk secara berani menekan para pejabatnya mengungkapkan para pelaku penembakan di Paniai (8/12/2014). Kunjungan ini dan selanjutnya lagi – entah itu kapan – akan bermanfaat dan bernilai kalau komitmentnya ditindaklanjuti dengan nyata sehingga kunjungannya ini tidak digolongkan dalam ‘kegiatan seremonial’ melulu.

Kita semua memiliki pandangan dan persepsi. Segala yang disampaikan di dalam reflkesi ini tidak menjadi sebuah kebenaran mutlak. Kami sangat yakin bahwa anda sekalian memiliki cara pandang yang berbeda dengan kami. Apapun cara pandang dan opini kita, baiklah segalanya itu demi terwujudnya Papua sebagai Tanah yang Adil dan Damai”.

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *