Catatan dan Refleksi Papua Selama Tahun 2015 (Bagian Pertama)

Pengantar

Di tahun 2015, beberapa perisitwa yang mungkin dijadikan perhatian dan catatan kita bersama. Konflik dan kekerasan serta penyelesaian beberapa kasus kekerasan (konflik/penembakan), perdebatan kontrak PT Freeport, pembangunan Mako Brimob, penjualan senjata dan amunisi oleh aparat keamanan, maraknya kelompok sipil bersenjata, persoalan kesehatan dan pendidikan, tertutupnya ruang demokrasi, korupsi yang merajalela, perdebatan Otsus Papua, Pilkada serentak, perjuangan Papua ke panggung MSG, perjuangan Mama-mama Papua untuk mendapatkan pasar permanen, perwujudan dialog damai dan kunjungan Presiden Joko Widodo. Selain itu Papua harus berduka dengan jatuhnya pesawat Trigana Air ATR-42 dengan nomor penerbangan IL-267 yang menelan korban jiwa 54 orang.

Konflik dan Penyelesaiannya

Hampir setiap tahun Papua kental dengan suasana konflik dan kekerasan. Baik itu konflik antara warga, saling tembak antara pihak keamanan (polisi dan TNI), penembakan yang dilakukan oleh pihak keamanan kepada warga sipil. Sebut saja beberapa peristiwa di antaranya seperti, bentrok/konflik antar warga di Kabupaten Nabire (2/1), di Kabupaten Lanny Jaya (maret 2015), di Kabupaten Tolikara (16/7), di Kabupaten Jayawijaya (15/12). Penembakan oleh pihak keamanan seperti di Kampung Popome (Kabupaten Lany Jaya, 29/1), di Distrik Edera Bade (Kabupaten Merauke, 8/2), Kabupaten Yahukimo, (19/3), di Kampung Ugapuga (Kabupaten Dogiyai, 25/6), di Karubaga (Kabupaten Tolikara, 17/7), di Koperapoka (Kabupaten Mimika, 28/8), di Kampung Wanampompi (Kabupaten Kepulauan Yapen, 1/12). Peristiwa saling tembak seperti di Distrik Gume (Kabupaten Puncak, 31/3), di Distrik Mulia (Kabupaten Puncak, 1/5), di Kampung Namuni (Kabupaten Mamberamo Raya, 1/12) dan Kampung Wanapompi (Kabupaten Kepulauan Yapen, 1/12).

Bertolak dari peristiwa yang dikemukakan di atas, bagi kita Papua masih menjadi sebuah daerah rawan konflik. Situasi ini di satu sisi tidak dapat kita hindari, namun di sisi lain, banyak kalangan terus berusaha mendesak dan berusaha agar pihak-pihak terlibat dan sengaja menciptakan konflik untuk berhenti dan menciptakan perdamaian di Tanah Papua. Usaha melalui jalur hukum positif yang berlaku (kasus di Koperapoka, Kabupaten Mimika, 28/8), usaha dari aparat keamanan untuk mengejar para pelaku penembakan, usaha dari para legislatif, eksekutif, para akademisi/intelektual, kelompok masyarakat dan berbagai organisasi tingkat lokal Papua, nasional dan internasional terus mendesak pihak-pihak yang berwajib/terlibat untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menangani sebuah masalah. Kekerasan atau konflik hanya melahirkan balas dendam dan menjadikan nyawa manusia seperti barang yang gampang dibeli. Walaupun demikian, masih terus menjadi sebuah pertanyaan mengapa para pelaku masih terus dibiarkan?

Kita dapat belajar dari proses penyelesaian kasus penembakan di Lapangan Karel Gobay, Kabupaten Paniai, 8 Desember 2014 . Sepanjang tahun 2015, pelbagai pihak terus bersuara agar para pelaku penembakan diproses secara hukum. Teriakan ini sempat ditanggapi

oleh Presiden RI Joko Widodo dalam kunjungannya ke Papua 27 Desember 2014 . Niat baik ini masih sebatas di bibir karena sampai saat kini belum ada proses hukum. Pelbagai pihak dari Komnas HAM, pihak kepolisian, Gereja, Mahasiswa, para NGO/aktivis HAM dan DPR Papua telah melakukan investigasi. Semua laporan (tertulis dan video) telah diserahkan kepada pihak berwajib. Selain itu publik juga sudah mengetahui siapa para pelaku penembakan. Semuanya itu tidak memberikan dampak yang berarti bagi para penegak hukum. Hukum untuk sementara dikesampingkan demi keamanan dan menjaga nama baik institusi dan Negara. Padahal Komnas HAM RI telah mengatakan dengan jelas bahwa Kasus Penembakan di Lapangan Karel Gobay, Paniai (8 Desember 2014) merupakan pelanggaran HAM Berat . Persoalan lainnya masih terus menunggu itikad baik dari Negara untuk mengadili pelakunya. Atau sengaja dibiarkan sehingga semuanya menjadi lupa dan dianggap suatu kebiasaan? Negara juga harus bersedia dan rendah hati membiarkan dunia internasional untuk membantu proses hukum terhadap pelaku karena Negara sendiri tidak serius menyelesaikannya. Kita menunggu saja pada tahun 2016 karena pada pertemuan antara SKP HAM Papua dan Komnas HAM RI di Kantor Jubi Papua, 14 Desember 2015, pihak Komnas HAM RI berjanji untuk mengadvokasi kasus penembakan di Lapangan Karel Gobay, Paniai (8 Desember 2014). Siapa yang harus disalahkan? Siapa yang harus dibenarkan dari penembakan yang terjadi di Papua?

Di samping ketidakmauan Negara untuk memproses hukum para pelaku penembakan di Lapangan Karel Gobay, Paniai, ada satu proses hukum yang dapat dikatakan sebuah keberhasilan yakni proses hukum terhadap para pelaku penembakan di Koperapoka, Kabupaten Mimika, 28 Agustus 2015. Para pelaku dihukum, dipenjarakan dan dipecat dari kesatuannya. Harus selalu diganggu dan didesak barulah Negara bertindak terhadap aktornya. Negara cepat merensponnya ketika ada perebutan senjata, amunisi, penyerangan pos-pos keamanan dan penembakan terhadap anggota

Persoalan yang cukup menyita perhatian di tahun 2015 adalah kejadian di Karubaga (Kabupaten Tolikara, 17/7). Peristiwa yang cukup jauh di daerah pendalaman Papua namun begitu cepat diakses oleh media dan bahkan dengan sangat cepat mendapatkan respon dari pemerintah pusat. Banyak perspektif, banyak tafsiran dan lain sebagainya seputar persoalan tersebut. Ada yang mengatakan bahwa kejadian Tolikara (17/7) merupakan persoalan intolerensi atau benuansa SARA, yang lain mengatakan persoalan tersebut adalah persoalan yang diciptakan atau bukan persoalan SARA. Mungkin ada dua hal yang dapat kita simak bersama dalam peristiwa tersebut adalah peranan media dan nilai keadilan. Publik dengan sangat cepat mengetahui bahwa ada persoalan di Tolikara yang cukup jauh dari jangkaun atau akses media informasi. Media yang terlibat dalam kejadian tersebut sepertinya membakar emosi publik untuk hanya melihat satu sisi kejadian tersebut. Kios dan mushola dibakar. Padahal di dalam kejadian tersebut ada 12 warga yang ditembak dan satu diantaranya meninggal dunia. Hal ini luput dari rekaman media pada saat itu. Tak heran bahwa ada pihak yang mengecam media dalam pemberitaannya. Hal kedua, kejadian Karubaga ini sungguh luar biasa karena banyak pejabat publik baik dari Papua maupun dari Pusat berbondong-bondong ke Tolikara. Awalnya, kebanyakan focus pada mushola dan kios yang terbakar dan pendatang. Korban jiwa dan masyarakat asli setempat yang juga mengalami musibah mungkin sengaja ditinggalkan dulu. Dalam penyampaian materinya ketika seminar di Kampus STFT Fajar Timur Padang Bulan, Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo yang juga saksi mata dalam peristiwa tersebut mengatakan “selama ini kami hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Umat muslim yang ada di sana, di Tolikara dengan kami sudah seperti keluarga. Namun ada pihak yang sengaja menciptakan konflik di sana. Ada iblis yang bermain di sana. Dua pemuda yang tidak tahu menahu dijadikan ‘kambing hitam’ sebagai pelaku pembakaran kios dan mushola sedangkan para pelaku penembakan dibiarkan dan tidak diproses hukum. Persitiwa Karubaga (17/7) kiranya menjadi cermin bagi kita untuk melihat secara jelas duduk persoalannya”.nya. Seringkali yang menjadi korban adalah warga sipil, Negara sengaja mengulur-ulurkan waktu dengan berbagai dalil pembenaran diri.

Pembangunan Markas Komando Brimob

Keraguan masyarakat Papua terhadap kinerja penegakan hukum semakin diperburuk dengan keinginan Negara untuk membangun Markas Komando (Mako) Brimob di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Rencana ini mendapat reaksi dari masyarakat dan pihak legislative. Sepanjang Januari-April 2015, kelompok masyarakat sipil, kelompok mahasiswa, Gereja dan legislative silih berganti bersuara agar rencana pembangunan Mako Brimob di Wamena ditiadakan. Bagi mereka yang mendukung rencana tersebut berdalil bahwa pembangunan Mako Brimob adalah untuk kepentingan publik/masyarakat. Sudah saatnya Mako Brimob itu dibangun di Wamena. Bagi mereka yang menolak pembangunan Mako Brimob menilai bahwa pembangunan itu hanya dan terus melahirkan konflik dan pelanggaran HAM yang baru di Pegunungan Tengah Papua. Pembangunan Mako Brimob akan terus menumbuhkan luka lama.

Aksi penolakan dari kelompok masyarakat tidak serta merta meredam keinginan Pemda Jayawijaya untuk memberikan kesempatan kepada Brimob membangun markasnya di Wamena. Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo secara tegas mengatakan bahwa dialah yang berhak menentukan, bukan DPRD maka rencana pembangunan Mako Brimob di Wamena tetap dan akan terlaksana. Terkesan bahwa suara rakyat tidak berarti bagi pemimpinannya. Kepala Daerah Jayawijaya lebih mengutamakan suara dari pihak keamanan. Pertanyaan penting bagi kita, apakah keberadaan pihak keamanan selama ini tidak menjalankan kewajibannya? Setiap tahun semakin bertambah jumlah aparat keamanan dibandingkan dengan masyarakat sipil di Papua. Terkesan kuat bahwa di Papua, segala kebijakan masih dan tergantung pada aparat keamanan.

Terlepas dari presepsi di atas, kadangkala perilaku masyarakat yang hidup di Papua melegitimasi keberadaan pos-pos dan penambahan personil aparat keamanan di Papua. Meningkatnya kriminalitas yang berdampak pada kematian masyarakat sipil lainnya atau melanggar hak orang lain semakin melegalkan keberadaan pos-pos keamanan di Papua. Masyarakat tidak saling menghargai sehingga rasa aman yang sebenarnya juga menjadi hak dasar dilanggar. Beberapa kejadian di Papua seperti pembunuhan ibu hamil di Arso, Kabupaten Kerom yang berdampak pada pembentukan kelompok nusantara, pembunuhan di perumahan Organda, Kelurahan Hedam, Distrik Heram, Kota Jayapura (8/6) dan pencurian serta Miras yang masih merajalela.

Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)

Salah satu kelompok yang juga menjadi perhatian media, aparat keamanan, pemerintah dan publik adalah kelompok kriminal bersenjata. Sederetan aksi kekerasan dan penembakan di beberapa daerah di Papua dikaitkan dengan kelompok ini. Terlepas dari apakah benar atau tidak keberadaan kelompok ini. Yang terjadi adalah penembakan yang terjadi pada akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015 dikaitkan dengan kelompok ini oleh aparat keamanan. Berdasarkan pemberitaan media, sepanjang tahun 2014, pihak Polda Papua telah kehilangan 20 pucuk senjata api dan pernyataan dari Kapolda Papua Irjen Pol. Yotje Mende bahwa ada delapan pleton KKB yang menjadi target operasi Polda Papua tahun 2015.

Beberapa kekerasan yang dilakukan KKB yang dipublikasikan di media adalah kejadian di Puncak Jaya dan Timika. Seperti, penembakan dan pembacokan terhadap dua anggota Brimob Sumsel dan satu petugas Security PT. Freeport Indonesia (1/1/2015), penembakan terhadap pekerja jalan dan pembakaran eksavator di Kabupaten Lanny Jaya (29/1). Kepala Bidang Humas Polda Papua Patridge Renwarin mengatakan bahwa ada dugaan pelakunya adalah KKB pimpinan Puron Wenda. Sedangkan penembakan dua anggota Brimob dan satu orang security PT. Freeport Indonesia di Utikini, Mimika adalah KKB pimpinan Ayub Waker. Pasca penembakan di Mimika kepolisian menggelar operasi dengan menurunkan 1576 personil gabungan untuk mengejar pimpinan KKB wilayah Timika. Pada Selasa, 7 Januari 2015 kepolisian mengamankan 116 dan menetapkan 64 orang yang diduga kuat sebagai anggota kelompok kemerdekaan. Ternyata tindakan ini ditanggapi oleh anggota Komisi I DPR Papua Ruben Magay. Menurut Ruben, langkah kepolisian tersebut yang menggerakan ribuan anggotanya sangatlah tidak benar. Hal senada juga disampaikan oleh Pengurus West Papua Interest Association Andreas Wakerkwa bahwa pihaknya sangat kesal dengan tindakan aparat keamanan yang menangkap masyarakat pribumi tak berdosa di daerah tenda Kuning Kali Kabur Mile 68 Tembagapura di areal PT. Freeport Indonesia di Mimika.

Ada dugaan stigmatisasi yang sebelumnya dikenal dengan OPM bergeser ke KKB. Mungkin juga opini yang telah dibangun itu sebagai sebuah siasat untuk meredam suara warga sipil dalam menuntut hak-haknya seperti hak atas tanahnya, hak berekpresi dan lain sebagainya. Atau kejadian ini terus dimainkan agar rencana pembangunan Mako Brimob di Wamena berjalan? Atau strategi lama untuk membungkam suara rakyat yang menuntut keadilan dan kebenaran serta kedamaian di Tanah Papua? Walaupun demikian keamanan dan kedamaian itu tetap ada dan setiap orang berkewajiban menciptakan rasa nyaman bagi dirinya, lingkungan dan orang lain.

Suara Keadilan Masih Dibungkam

Berbicara tentang demokrasi berarti kita diajak untuk berdiskusi dan memahami secara baik dan benar akan peranan aktif rakyat di dalam sebuah pemerintahan. Secara harafiah demokrasi biasanya dimengerti sebagai kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat. Menjadi jelas bagi kita bahwa sebuah Negara yang menganut paham demokrasi berarti Negara tersebut menjamin kebebasan dan keluasan rakyatnya di dalam sebuah pemerintahan. Entah itu partisipasi secara langsung maupun melalui wakilnya. Salah satu indicator yang menyatakan Negara itu adalah demokratis adalah Negara menjamin kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum. Namun hal ini masih juga sulit diterapkan di Negara Indonesia yang menganut paham demokrasi tersebut. Hak untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi di muka umum karena ketidakadilan dan ketidakbenaran masih menjadi sebuah persoalan yang rumit di seluruh Negara Indonesia, khususnya di Papua.

Di Papua, pengekangan kebebasan berekspresi masih sangat dirasakan. Kelompok masyarakat sipil yang mencoba bersuara tentang kebenaran dan keadilan serta kedamaian di tanahnya masih dikejar dan diburuh oleh negara melalui alatnya. Beberapa kasus yang menunjukan hal ini seperti pengumpulan dana solidaritas di Yahukimo oleh KNPB terhadap korban badai Vanuatu dibubarkan oleh alat negara. Berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh media lokal bahwa dua orang harus meninggal dunia dalam kejadian tersebut. Di tempat lain, di Nabire terjadi penangkapan terhadap empat belas aktivis KNPB yang hendak melakukan pertemuan. Penekanan oleh alat negara ketika kelompok masyarakat asli Papua melakukan seminar terkait memasukan Papua ke dalam MSG (Melanesia Sparhead Group) di Asrama Mimika Waena, pembubaran aksi mahasiswa terkait akses jurnalis asing ke Papua (29/4). Apalagi penangkapan massal (sampai 260 orang) di pelbagai lokasi seperti di Manokwari, Fakfak, Sorong, Merauke, Jayapura dan Nabire terhadap anggota KNPB menjelang atau pada 1 Mei, pembubaran aksi damai dari SKP HAM Papua (8/10), pembubaran massa yang hendak beribadah mengenang kematian Theis Elluay di Sentani (10/11), pembubaran dan penangkapan massa yang melakukan ibadah di Nabire (1/12) serta pembubaran dan penangkapan massa Aliansi Mahasiswa Papua yang melakukan aksi damai di Jakarta (1/12). Pihak keamanan selalu memberikan jawabannya karena tidak mendapatkan izin .

Peristiwa-perisitwa yang terjadi ini sudah sangat jelas menunjukan bahwa ruang kebebasan berorganisasi dan berekspresi bagi masyarakat asli masih terus ditekan dan dibatasi oleh negara. Negara berdalil bahwa kelompok ini, kelompok itu tidak terdaftar atau kehadiran kelompok ini dan itu melawan kesatuan negara serta mengganggu kedamaian bersama. Stigmatisasi yang dilakukan negara terhadap masyarakat asli Papua menunjukan bahwa cap separatis terus melekat dalam diri masyarakat asli Papua. Dalam kunjungannya ke Papua, Presiden Joko Widodo sudah memberikan keterangan ke publik bahwa Papua dapat diakses oleh dunia internasional. Pernyataan ini masih hanya sebatas mulut seorang Joko Widodo bukan suara Negara. Hal senada juga disampaikan oleh Gubernur Papua Lukas Enembe pada 27 Agustus bahwa Pemda Papua memberikan kebebasan kepada jurnalis asing untuk melakukan tugas-tugas jurnalisnya di Papua. Walaupun demikian masih sangat sulit dunia internasional masuk ke Papua (dari pihak PBB untuk memantau pelanggaran HAM di Papua), selain itu hak menyampaikan pendapat di muka umum masih ditekan oleh Negara. Hukum atau peraturan yang diciptakan dan diakui untuk sementara disimpan. Negara dengan mudahnya memakai hukum untuk para elitnya. Suara untuk mendesak Negara agar mengusut pelaku pelanggaran HAM, menuntut keadilan dan kebenaran di Papua masih dianggap suara makar dan separatis.

bersambung……

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *