Oleh: Avent, OFM
Berita tentang kekerasan tak pernah absen dari telinga hampir kebanyakan masyarakat penghuni pulau surga yang jatuh ke bumi, Papua. Tidak saja kekerasan yang disebabkan oleh minumam beralkohol, tetapi juga kekerasan yang disebabkan oleh penembakan-penembakan tanpa alasan yang masuk akal. Belum hilang dari ingatan kebanyakan pejuang HAM Papua, kasus penembakan Paniai yang menewaskan 4 orang pemuda yang tak bersalah, beberapa waktu lalu (15 maret 2016), muncul berita tentang penembakan terhadap empat orang karyawan PT. Modern yang diduga dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KBK). Lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat yang lagi menata masa depan daerah Papua, Kabupaten Puncak, Kecamatan Sinak. Sangat memprihatinkan, itulah kata yang pas untuk mengungkapkan kesedihan mendalam atas tragedi kemanusiaan ini.
Berhadapan dengan peristiwa yang memilukan ini, kita hanya bisa mengelus dada sambil bergumam, teganya para pelaku penembakan menembak orang-orang kecil yang tenaga dan pikirannya dikuras untuk kemajuan daerah pedalaman. Kenapa harus mereka? Banyak pertanyaan yang bernada protes sebagai ungkapan bahwa banyak orang tidak setuju dan bahkan menganggap penembakan yang terjadi sebagai tragedi kemanusiaan yang siapun dan dengan alasan apapun tidak pernah bisa dibenarkan. Nada-nada protes dan bahkan sampai mengutuk tindakan penembakan ini menandakan bahwa pembunuhan atau menghilangkan nyawa sesama manusia apalagi tanpa alasan yang jelas adalah sesuatu yang tidak diinginkan semua orang. Atau dalam bahasa yang positif, setiap orang menghendaki hidup yang aman dan damai, bebas dari rasa takut dan ancaman. Mengapa? Sebab hanya dalam suasana damai, aman dan tenang inilah setiap orang bebas mengekspresikan dan mengembangkan dirinya untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Jika menilik ke arena agama, jelas bahwa tidak ada satu agama pun yang membenarkan tindakan menghilangkan nyawa sesama. Dasarnya jelas yakni semua manusia diciptakan oleh Tuhan atau Yang Lebih Tinggi dari manusia, bahkan posisinya begitu strategis dan menentukan bagi keberadaan ciptaan yang lainnya. Karena Tuhan yang menciptakan atau menghendaki manusia ada dan hidup di dunia ini, maka dengan sendirinya hanya Tuhan pulalah yang memiliki kewenangaan untuk meniadakan manusia dari muka bumi ini. Maka, tidak pernah dibenarkan oleh agama manapun ketika ada sesama manusia dengan gampang dan bahkan bangga menghilangkan nyawa sesamanya.
Terinspirasi oleh pemahaman agama yang demikian, PBB pun dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan berusaha untuk menegaskan hal yang sama yakni perlindungan terhadap hidup manusia. Tidak ada satu orang pun di dunia ini boleh menghilangkan hidup sesamanya, entah dengan dalil-dalil apa pun. Hidup itu berharga dan bernilai tinggi, bukan karena sebab ekstern (diberikan atau dianggap orang lain sebagai yang berharga) tetapi karena memang bernilai dalam dirinya sendiri. Bertitik tolak pada nilai diri manusia yang bersifat intrinsik ini, kita menilai dan menegaskan bahwa setiap tindakan menghilangkan nyawa manusia sama artinya menegasikan nilai manusia yang ada dalam dirinya; dan penegasian ini sama artinya mengingkari Tuhan yang telah menciptakan manusia dengan amat baik.
Realitas yang terjadi di Kecamatan Sinak, Kabupaten Puncak 15 Maret 2016 lalu mempertontonkan kepada kita sebuah “drama” kekerasan yang tidak bisa diterima oleh siapa pun. Alasan-alasan yang ada di balik menghilangkan nyawa sesama manusia, entah masuk akal atau tidak tetap tidak bisa diangap benar. Sampai kapan pun, menghilangkan nyawa sesama tetap dianggap sebagai tindakan kejahatan kemanusiaan. Lebih tidak masuk diakal lagi adalah penembakan yang berujung pada hilangnya nyawa empat karyawan PT. Modern terjadi pada orang-orang yang lemah, tak berdaya tapi punya hati dan tenaga untuk membangun daerah pedalaman Papua yang terkenal masih terisolasi dari dunia modern. Mereka berjuang untuk orang banyak, untuk kebanggaan daerah dan untuk kesejahteraan bersama. Akan tetapi, perjuangan mereka harus berakhir tatkala peluru menembus tubuh mereka yang lemah. Niat mereka untuk menjadi aktor-aktor pembangunan dalam rangka membuka keterisolasian daerah pedalaman adalah perjuangan kita bersama ke depan. Apakah mereka pantas disebut martir? Mereka tidak membela iman mereka akan Kristus tetapi, mereka membela masyarakat yang hidup dalam keterisolasian karena lambannya perhatian pemerintah.