“Negara ini sudah kita tidak percaya lagi. Kita tidak berharap banyak menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. Orang Papua yang harus menentukan sikap,” ungkap Koordinator Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua Peneas Lokbere saat audiens dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Papua, Selasa (15/3/2016).
Kata Lokbere, dirinya sangat khawatir Negara melupakan penembakan 4 siswa di Paniai pada 8 Desember 2014. Karena, ada sejumlah gejala Negara hendak melupakan kasus pembunuhan yang pelakunya sudah jelas di depan mata dalam peristiwa yang terjadi di siang itu.
“Kasus ini sejak awal banyak bolongnya. Banyak tim yang sudah turun tidak jelas hasilnya,” ungkap Lokbere yang pesimis terhadap komitmen Negara menegakan keadilan bagi korban penembakan maupun yang luka-luka.
Pesimis karena, Tim aparat keamanan, Komnas HAM Republik Indonesia, Lembaga non-pemerintah yang turun investigasi tidak memberikan titik terang pengungkapan kasus. Masing-masing pihak bertahan dengan kesimpulan dan argumentnya masing-masing.
Pihak Polda Papua tidak mampu mengungkap kasus lantaran tidak bisa memeriksa institusi TNI yang diduga terlibat. Institusi TNI pun belum bisa memeriksa anggotanya lantaran tidak cukup bukti. Pengungkapan lebih lanjut makin sulit karena pimpinan TNI/POLRI yang memegang kendali waktu itu sudah dipindahkan.
“Memindahkan orang bertanggungjawab ini sikap resisten Negara. Negara tidak punya niat atau komitmen menuntaskan kasus ini,” ungkapnya.
Kata Lokbere, Komnas HAM yang diharapakan pun tidak jelas komitmetnya. Ketidakkonsistenan itu terlihat dari sikap antara komisioner Komnas HAM yang tidak seiring sejalan dalam memikirkan kasus Paniai. Satu komisioner bertentangan dengan komisioner yang lain dalam tubuh Komnas HAM.
“Kalau diantara mereka saja tidak jelas, bagaimana mau menyelesaikan kasus ini,” ungkapnya.
Lebih khawatir lagi, kata Lokbere, masa aktif komisioner ini akan berakhir 2017 dan dilanjutkan dengan komisioner terpilih. Anggota komisoner baru belum tentu melanjutkan kasus Paniai. Karena itu, kata dia, anggota komisioner Komnas HAM kini mempuyai kewajiban moral menuntaskan kasus ini.
“Sejak awal rekrutmen, empat komisioner ini selalu bertolak belakang, tidak bersatu. Khawatiran lagi, pergantian komsioner baru, kasus ini tidak dilanjutkan”, jelas Penias.
Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua Frist Ramandei mengatakan dirinya tidak pesimis atas penanganan kasus Paniai. Pihak Komnas HAM perwakilan Papua sangat optimis kasus ini bisa dibawa ke rana hukum. Karena, memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM.
“Kami sangat optimis. Mandeknya hanya alasan Polisi tidak bisa memeriksa anggota TNI dan TNI kekurangan saksi,” ungkapnya kepada peserta audiens di Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua di Kota Jayapura.
Kata Ramandei, semua pihak mestinya berkomitmen menyelesaikan kasus ini secara serius, terutama pemerintah. Karena, penyelesaian kasus Paniai, sebenarnya pintu masuk untuk membangun kepercayaan terhadap orang Papua, yang sudah tidak percaya terhadap pemerintah dengan kasus-kasus sebelumnya.
“Kasus Paniai ini bisa menjadi pintu masuk pemerintah untuk kembalikan kepercayaan orang Papua terhadap pemerintah,” kata Frits.
Lebih lanjut Frits Ramandey menjelaskan bahwa Komnas HAM Perwakilan Papua, menganggarkan 100 juta untuk menyuarakan kasus ini di dalam tahun 2016.