Masyarakat adat suku Yeresiam Gua mengatakan PT Nabire Baru yang sudah mencaplok 17 ribu lahan sagu untuk lahan kelapa sawit pada 2008 lalu hendak menambah lahan 5 ribu hektar lagi.
“Lahan yang perusahaan mau tambah ini dengan alasan lahan plasma,” ungkap Sekretaris Suku Yeresiam Guam, Robertino Hanebora kepada media di PTUN Jayapura, Kota Jayapura, Papua, Senin (14/3/2016).
Lahan yang perusahaan incar, kata Hanebora, adalah dusun sagu keramat Masyarakat Yeresiam gua. Masyarakat Yeresiam percaya bahwa dari dusun sagu inila masyarakat Yeresiam berasal.
“Bagaimana perusahaan mau menghancurkan ibu kami? Apakah perusahaan mau barang miliknya diambil orang lain?” tanya Hanebora.
Kalaua perusahaan tidak pernah berpikir rugi daripada memikirkan keuntungan, kata Hanebora, suku Yeresiam Guam pun sama. Masyarakat tidak mau menghancurkan tempat yang dipercayai tempat mereka berasal dan menjadi sumber kehidupan.
“Kami tidak bisa memperkosa dan membunuh ibu kami,” tegasnya sambil menghela napas panjang di depan PTUN.
Kata Hanebora, karena itu, masyarakat adat Yeresiam mendesak perusahaan tidak mencaplok lahan lagi. Perusahaan mesti menghargai proses gugatan hukum dengan objek perkara Izin Usaha yang dikeluarkan gubernur Papua, yang sedang diproses di PTUN Jayapura sejak Oktober 2015.
Kata Hanebora, harapannya perusahaan harus berlaku begitu tapi dirinya sangat khawatir dengan sistem Pemerintah yang tidak teliti dalam menerbitkan izin. Pemerintah bisa saja menerbitkan izin tanpa mengecek surat pelepasan adat.
“Model negara ini akan begitu. Pemerintah bisa saja menerbitkan izin tanpa koordinasi dengan masyarakat adat,” tegasnya.
Daniel Yarawobi, Kepala Suku Besar Yeresiam, yang turut hadir dalam persidangan membenarkan perusahaan hendak mencaplok dusun sagu keramat. Perusahaan sedang melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan lahan.
“Kami juga mengumpulkan masyarakat, aparat keamanan dan sepakat supaya perusahaan tidak lagi menambah lahan. Kami tidak memberikan izin karena itu tempat keramat,” tegasnya.
Kepala Suku Daniel Yarawobi sangat berharap Pemerintah, aparat kemanan, masyarakat adat tidak mendukung perusahaan membongkar hutan keramat. Kalau perusahaan berhasil membongkar, kata Yarawobi, harapan hidup dan masa depan masyarakat adat menjadi tidak menentu.
“Kami tidak punya kekuatan hidup lagi. Kami harus kemana lagi? Kami tidak mau ada penambahan lahan lagi,” tegasnya.