Pegadilan Tata Usaha Negara Jayapura memutuskan menolak gugatan masyarakat Yeresiam Gua terhadap Surat Keputusan Gubernur Papua No 142 tentang izin usaha perusahaan sawit PT. Nabire Baru.
Ketua majelis hakim, H. Alan Basyer SH. M.
Hum yang memimpin persidangan mengatakan sela waktu penerbitan surat keputusan dengan gugatan masyarakat adat sangat jauh. Mestinya, masyarakat harus mengugat SK gubernur setelah 90 hari surat keputusan dikeluarkan.
“Karena waktu gugatan, lebih dari 90 hari sejak Keputusan ditetapkan, maka gugatan dinyatakan ditolak,”ungkapnya dalam sidang putusan di PTUN Jayapura, Papua, Selasa (5/4/2016)
Pengacara masyarakat adat Yeresiam, Simon Pattiradjawane, SH mengatakan pihaknya belum bisa menilai keputusan ini karena seluruh keputusan itu baik atau buruk ada di tagan majelis hakim.
“Kami bicara dulu dengan masyarakat adat untuk naik banding atau tidak,”ungkapnya.
Kepala suku besar Yeresiam, Daniel Yarawobi mengatakan putusan tidak sesuai dengan fakta persidangan. Majelis hakim memutuskan perkara tanpa mempertimbangkan fakta persidangan yang sebenarnya.
Kata dia, saksi yang diajukan Pemerintah bersama perusahaan adalah orang-orang yang memanipulasi surat pelepasan adat. Orang-orang yang menjadi karyawan perusahaan atau tamen perusahaan.
“Bagaimana mereka yang pelaku menjadi saksi. Tidak mungkin pelaku mengaku salah. Pelaku pasti membenarkan perbuatan dengan dalil benar,”tegasnya.
Kata dia, soal banding, pihaknya akan mengajukan banding tetapi sebelum itu berbicara dengan semua pihak, terutama aktivis, Lembaga non Pemerintah dan pengacara.
“Saya bicara dulu dengan Sekretariat keadilan dan Perdamaian keutuhan ciptaan Fransiskan Papua, dan Sekretariat Keutuhan keutuhan alam ciptaan GKI tanah Papua dan pengacara,”tegasnya.
Tidak ada yang kalah dan Menang
Ketua Dewan Adat Paniai John NR Gobay mengatakan dalam putusan itu tidak ada istilah kalah dan menang.
“Kita semua menang, sebagai momen pembelajaran bagi semua pihak yang terlibat dalam perkara ini,”ungkap Gobay di depan PTUN usai mendengarkan putusan.
Kata dia, yang ada hanyalah proses pembelajaran. Pemerintah, masyarakat adat, perusahaan, dan pengadilan belajar bagaimana dalam memproses suatu izin usaha. Pemerintah harus mengeluarkan izin usaha setelah Kordinasi dengan masyarakat dan perusahaan.
Perusahaan pun harus belajar bahwa tidak hanya masuk caplok tanah masyarakat adat tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Perusahaan harus mendengar semua masyarakat, bukan sepihak demi mencari keutungan dengan eksploitasi alam.
Kata Gobay, karena Perilaku perusahaan asal caplok, Pemerintah asal keluarkan izin membuat semua ribut. Ada masyarakat yang menerim dan membela perusahaan. Ada yang menolak perusahaan karena kehadiran perusahaan tidak sesuai dengan harapan.
“Masyarakat ribut, gugat tetapi ini menjadi pelajaran bagi masyarakat, Pemerintah dan perusahaan semua tidak asal proses izin usaha,”ungkap Gobay.
Melianus Duwitau, menilai majelis hakim memutuskan perkara dengan intervensi pihak lain. Pemerintah dan perusahaan terkesan mengintervensi putusan hakim.
“Masa Pemerintah jelas-jelas salah, keluarkan surat izin usaha sebelum analisa dampak lingkungan. Amdalnya keluar setelah satu tahun. Kami tahu itu jelas salah,”ungkapnya.
Tepati , kata dia, majelis hakim tidak menyoal itu. Majelis hakim lebih banyak menyoal waktu gugatan lebih dari 90 hari setelah keputusan ditetapkan.
“Jelas sekali Hakim mengiring masalah untuk menolak gugatan. Itu jelas ada intervensi,”tegasnya.