“Hampir selalu setiap merayakan pesta Natal, kami di Papua selalu diberikan kado pahit dari Negara ini”
Perayaan Natal 25 Desember bagi umat Kristiani di seluruh dunia merupakan perayaan syukur dan rahmat karena diyakini sebagai kelahiran Sang Penyelamat, Pembawa Damai yakni Yesus Kristus. Semua umat kristiani menyambutnya dengan berbagai persiapan dan kegiatan. Ada yang mendirikan kadang natal (sebagai tempat lahirnya Sang Juru Selamat, Sang Pembawa Damai), bagi-bagi hadiah dan kunjungan Santa Klaus, perayaan natal bersama dan lain sebagainya. Suasana natal yang penuh damai ini hampir selalu menjadi air mata di Bumi Papua. Beberapa kasus yang terjadi seperti penembakan yang korbannya adalah orang asli Papua masih terus terjadi. Perayaan Natal sepertinya masih menjadi ‘cambuk’ bagi orang asli Papua. Sebut saja kasus penembakan setahun silam 8 Desember 2014 di Paniai yang menewaskan 4 pemuda/pelajar. Sebelum tahun 2014 juga terjadi kasus serupa di daerah lainnya di Papua. Natal bukan memberikan kedamaian bagi orang asli Papua dan mereka yang tinggal di Papua melainkan natal menjadikan orang bersikap was-was, takut dan hari dimana nyawa manusia menjadi tidak berharga.
Pada Rabu, 9 Desember 2015, sekelompok gerakan mahasiswa melakukan aksi berkabung untuk Papua. Mereka berusaha menyadarkan orang lain, pemerintah, para pelaku penembakan dan Negara bahwa bulan desember sepertinya suatu masa yang kelam bagi Papua. Forum Independen Mahasiswa (FIM), Forum Peduli Papua (FPP) dan Gempar Papua bersepakat untuk mengenakan pakaian hitam dan membawa bendera hitam berjalan dari Perumnas III Waena menuju Expo dan finish di Lingkaran Abepura, Kota Jayapura, Papua. Walaupun dengan sedikit orang, tetapi mereka terus mengingatkan kepada publik bahwa di Papua sebenarnya kedamaian hidup sangat sulit diperoleh. Beberapa kasus yang terjadi di Papua selama tahun 2015 yang menewaskan orang asli Papua dan mereka yang tinggal di Papua menunjukan bahwa air mata masih terus membasahi Bumi Papua.
“Aksi yang kami yang lakukan hari ini adalah aksi berkabung. Kami mengingatkan Negara bahwa Papua masih penuh pembunuhan. Kami sedih dan kecewa karena sampai saat ini Negara mengganggap hal itu biasa. Buktinya bahwa para pelaku penembakan dibiarkan saja. Tidak diadili. Selain itu mengajak semua orang untuk berkabung dan berpakaian hitam pada peringatan Hari HAM internasional 10 Desember,” jelas Koordinator FPP Mario Yumte.
Hal ini dipertegas lagi oleh anggota Gempar Samuel Womsiwor bahwa aksi yang dilakukan tersebut mau mengingatkan semua orang yang hidup di Kota Jayapura dan Papua pada umumnya agar tidak melupakan saja peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
“Kami mau agar orang yang hidup dan tinggal di Papua tidak melupakan kasus-kasus atau peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Selain itu kami mau mengingatkan kepada Negara dan meminta kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan kuasa penyelesaian pelanggaran HAM di Papua kepada dunia internasional. Kami kecewa karena Negara Indonesia tidak mampu menyelesaikannya”, ungkap Samuel.
Aksi jalan damai dengan berpakaian hitam mungkin dilihat sebagai aksi yang biasa tetapi bagi mereka yang mengalami ketidakadilan dan kekerasan di Papua sepertinya menjadi api untuk terus membakar semangat juang demi keadilan, kebenaran dan kedamaian di Papua.