“Realitas perutusan dan pelayanan kita pun bisa dibilang seperti ‘serigala’ yang sering menampilkan keangkeran dan ketidakbersahabatan, sehingga banyak kali menakutkan, menyeramkan dan bahkan mengancam suara kenabian dan nyawa kita”
Begitulah penggalan materi rekoleksi atau pendalaman iman yang disampaikan oleh Pater Aven Jenaru, OFM di dalam rekoleksi di Pantai Harlin, Distrik Depapre, Jumat (20/11). Menjadi pelayan dan menjadi seorang nabi di zaman sekarang, setiap orang dituntut untuk terus berjuang dengan pendekatan kedamaian. Selain itu setiap pelayan diajak untuk mampu menemukan pendekatan-pendekatan kebijakan dan melihat kejinakan dari dunia atau penguasa. Dimensi kejinakan ini harus terus disentuh.
Dunia dan kehidupannya pada zaman sekarang ini memang harus dilawan. Kemampuan lainnya harus dimiliki di dalam diri seorang pelayan atau nabi adalah memiliki kecerdikan dan ketulusan. Menurut Direktur SKPKC FP Yuliana Langowuyo, kecerdikan dan ketulusan sudah semestinya ada di dalam diri seorang pelayan atau nabi pada zaman sekarang ini.
“Perutusan ini sama dengan perutusan domba ke tengah-tengah serigala. Menjadi nabi yang mewartakan injil, kabar sukacita, menegakan keadilan, kebenaran itu kita berada di tengah-tengah kandang serigala. Hal ini saya alami ketika berkarya di KPKC Fransiskan Papua. Oleh karena itu kita harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Pada mulanya Yesus sudah mengingatkan kepada para murid-Nya. Menyadari pekerjaan dan pelayanan ini adalah perutasan sebagai seorang nabi khususnya bagi orang yang terpinggirkan, dalam konteks ini adalah orang-orang Papua”, kata Yuliana.
Lebih lanjut Pater Aven menjelaskan bahwa Paus Paus Fransiskus dalam Dokumen Evangelii Gaudium menggambarkan situasi zaman ini dalam beberapa tampilan seperti, individualisme; menyebabkan orang hanya berpikir dan peduli dengan kepentingannya sendiri. Orang lain tidak dipedulinya, apalagi orang-orang miskin dan tak berdaya. Kedua, konsumerisme yang melahirkan kekeringan dan keggelisahan. Memang tidak dapat disangkal bahwa konsumerisme hanya dapat membangkitkan perasaan kebutuhan namun tidak pernah memberikan solusi tuntas bagi kebutuhan pokok manusia— apalagi dalam aspek spiritual. Kekosongan rohani yang diakibatkan oleh konsumerisme menimbulkan sifat ketamakan. Ketamakan berkaitan erat dengan self-interest yang berlebihan. Ketiga, hedonism merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan utama hidup dan tindakan manusia. Hedonism membuat orang hanya berpikir tentang kesenangan dan kenikmatan semata. Orang tidak peduli dengan sesamanya apalagi dengan Tuhan. Hedonism juga membuat orang tidak peduli dengan nilai-nilai moral, nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama, nilai-nilai sosial dan lain sebagainya. Orang berbuat apa saja yang penting memberikan kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya; bahkan kadang-kadang sesama, agama diperalat hanya untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan baginya.
Pada kesempatan yang sama Korneles Siep menambahkan dinamika umum yang terjadi sekarang seperti yang dikatakan oleh Bapak Paus dalam ensiliknya. Dinamika tersebut bukan lagi dihidupi oleh orang-orang yang hidup di kota tetapi sekarang sudah merembes sampai ke kampung-kampung.
“Ini merupakan tantangan dan harus kita hadapi. Kita perlu ilmu dan strategi. Ada istilah ‘Strata’ (strategi dan taktik). Untuk itu setiap orang harus punya seni dalam hal ini. Kalau berangkat dari semangat Injil seperti kata Yesus, apa yang kamu lakukan untuk orang yang paling hina ini, itu kamu lakukan untuk Aku. Kalau berdasarkan pengalaman Santo Fransiskus Assisi seperti ia menjinakan serigala di Gubio. Saya melihat ini adalah sebuah seni dan pendekatannya. Selain itu Santo Fransiskus Assisi juga memandang semua manusia dan alam adalah saudara. Nilai-nilai yang dihidupi oleh Santo Fransiskus Assisi ini sepertinya sama dengan apa yang telah kami hidupi, khususnya kami orang Suku Hubula di Lembah Palim,” ungkap Neles Siep.
Ilmu dan pengetahuan yang diperoleh harus dipraktekan dan dikonritkan di dalam pelayanan. Menurut Fr. Andika, OFM, setiap ilmu dan pengetahuan yang diperoleh harus diterapkan dan diimplementasikan di dalam kehidupan real demi kebaikan dan kedamaian bersama.
“Segala ilmu yang saya peroleh ketika di bangku pendidikan atau kuliah tidak ada gunanya kalau saya tidak menerapkannya di dalam kehidupan dan pelayanan saya. Saya belajar tentang Tuhan, manusia dan alam. Saya belajar bagaimana menempatkan diri di dalam dunia dan kehidupan ini. Semuanya itu harus dinyatakan di dalam perjalanan dan pelayanan saya,” kata Fr. Andika, OFM