“Papua adalah ‘surga’ untuk kehidupan bertoleransi”

“Saya sendiri islam, saya punya tanggung jawab di keluarga. Kami yang tidur bangun di rumah sini. Kami di rumah sini Katolik satu orang, dari Gereja Pentakosta dua orang, Kingmi dan saya islam. Makan tidak makan, kami tetap hidup bersama-sama. Segala idealism yang ada sebaiknya berangkat dari kehidupan sehari-hari. Kebanyakan orang sekarang bicara saja, padahal di kehidupan keluarga mungkin tidak seperti yang mereka bicarakan”

Begitulah ungkapan Ustad Ponto Yelipele, pria asal Uelesi, Kabupaten Jayawijaya yang juga sebagai Ketua Ikatan Keluarga Uelesi Jayapura pada pertemuan Jaringan Keragaman Papua di kediamannya, Rabu (22/7). Ponto mengatakan hal tersebut menanggapi aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok terkait peristiwa Tolikara, 17 Juli 2015. Lebih lanjut Ponto mengatakan, kejadian di Tolikara semacam sebuah akumulasi apalagi ada beberapa kelompok mendramatisasi peristiwa ini. Kehidupan toleransi antar umat beragama sudah terbangun lama di Papua. Saling menghargai dan menghormati antar satu agama dengan agama yang lainnya sangat kuat dan tumbuh subur di Papua. Hal ini dipertegas oleh Pendeta Kliong Tomhisa perwakilan KPKC Sinode GKI Papua. Menurut Pendeta Kliong, aksi-aksi yang dilakukan oleh orang-orang di luar Papua sangat berlebihan. Peristiwa Tolikara, 17 Juli harus dilihat secara menyeluruh. Keberpihakan yang adil terhadap korban juga perlu menjadi perhatian bersama.

“Kita di Papua sini, kehidupan bertoleransi sangat dijaga. Kalau kita dibandingkan di Jakarta karena orang begitu sibuk, akhirnya tidak saling menyapa satu dengan yang lain. Tetapi di Papua, orang saling menyapa walaupun tidak mengenalnya. Terkait dengan korban di Tolikara bukan hanya umat muslim tetapi umat Kristen yang lainnya. Ada warga yang menjadi korban penembakan dan itu belum diperhatikan. Pemerintah atau kelompok manapun yang hendak membantu korban di Tolikara harus secara adil dan bijaksana sehingga tidak menimbulkan pandangan yang negative dari masyarakat di Tolikara. Proses penyelesaian konflik di Papua biasanya di lakukan di rumah adat atau para-para adat/pinang. Baik itu dia itu Kristen dan muslim, masalah besar ataupun kecil, semuanya diselesaikan di para-para adat. Tradisi ini sudah dihidupi selama ini kita di Papua. Tetapi hal ini sepertinya diabaikan oleh Pemerintah Pusat yang datang ke sana,” jelas Pdt. Klion.

Peristiwa Tolikara, 17 Juli harus dilihat secara bijaksana oleh semua orang. Reaksi dari Pemerintah Pusat pun kadang tidak memperhatikan institusi dan kearifan lokal yang ada. Terkesan bahwa Pemerintah Pusat mengabaikan peranan dari Pemda Papua dan Pemda Tolikara serta pihak adat dan tokoh-tokoh Agama dan Gereja setempat. Selain itu, informasi yang tersebar di luar Papua semakin mengaburkan fakta-fakta yang sebenarnya. Pada kesempatan yang sama, menurut Direktur Ilalang Hardin Halidin, informasi dan pemberitaan yang beredar di berbagai media semakin memperkeruh dan merusak kehidupan toleransi umat beragama yang sudah dibangun dan dihidupi selama ini baik itu di Papua maupun di Negara Indonesia.

“Terkait dengan peristiwa Tolikara, kita di Papua tidak terlalu menanggapi berlebihan. Rupanya di luar sana (Papua) semakin liar dan rusuh. Baru-baru ini saya dapat informasi bahwa ada apel siaga solidaritas umat islam untuk umat islam Tolikara, Papua, menyusul di Yogjakarta, Poso dan Purworejo. Informasi yang disampaikan ke publik juga kadang tidak berdasarkan fakta yang terjadi. Informasi yang disebarkan akhirnya menjadi upaya provokatif. Seperti ada informasi bahwa shalat Ied sudah dilakukan di Tolikara sejak tahun 1945. Logikanya shalat Ied berarti bukan satu dua Jemaah tetapi pasti banyak Jemaah. Apakah umat Muslim sudah banyak di sana sejak tahun itu? Sedangkan Gereja saja baru tahun sekitar tahun 1950-an di sana”, ungkap Hardin.

Fakta dan penyebab dari konflik di Tolikara harus digali secara jeli dan bijaksana. Menurut Pater Goklian PH, OFM, keganjilan-keganjilan sebelum, pada saat dan setelah kejadian sengaja diabaikan dan dilupakan. Sebaiknya keganjilan-keganjilan terkait peristiwa tersebut harus dilihat bersama untuk mengungkapkan mengapa peristiwa tersebut terjadi dan reaksi yang sangat luar biasa terhadap peristiwa tersebut.

“Sepertinya ada keganjilan-keganjilan yang perlu kita bersama sebelum kejadian, mengapa tidak ada tindakan preventif dari Pemda dan keamanan setempat. Selain itu, ketika pada peristiwanya mengapa begitu cepat informasi tersebar di luar Papua. Sedangkan kita tahu bersama di Karubaga jaringan internetnya tidak baik. Sesuatu yang terjadi di sudut Papua, begitu cepat tersebar dan begitu cepat reaksinya. Dan reaksi Pemerintah Pusat begitu cepat seperti menginstrusikan beberapa pejabatnya ke Tolikara. Kasus-kasus yang sama juga terjadi di tempat lain, mengapa dan kenapa. Terkait dengan korban, korban sebenarnya bermacam-macam. Ada korban dari umat muslim, ada korban yang memiliki kios dan masyarakat asli setempat dan korban penembakan. Dan mengapa reaksi berlebihan hanya pada satu aspek atau kelompok saja. Selain itu tindakan dari aparat keamanan juga cenderung kasar dan mengeluarkan tembakan”, jelas Pater Goklian, OFM.

Beberapa fakta temuan dari Jaringan Keragaman Papua:

  • Benar bahwa ada surat edaran dari GIDI yang dikeluarkan oleh BPW GIDI Tolikara dan pada tanggal 15 Juli ada diskusi terkait isi surat tersebut. Ada kesepakatan bahwa umat muslim diperbolehkan beribadat tetapi tidak menggunakan alat pengeras suara.
  • Fakta bahwa ada papan nama masjid, tetapi izin yang diberikan adalah pembangunan Musolah jadi yang terbakar bukan masjid tetapi Musolah.
  • Ada korban penembakan dalam peristiwa tersebut.
  • Korban yang mengungsi bukan karena penyerangan tetapi karena kios dan rumahnya terbakar. Masih ada umat muslim atau pendatang yang rumahnya tidak terbakar dan kembali tinggal di rumahnya.
  • Rillis yang disampaikan oleh Dompet Thuafa yang menyebutkan idul fitri dilaksanakan sejak tahun 1945 adalah keliru atau patut dipertanyakan.

Untuk menanggapi situasi ini Jaringan Keragaman Papua dan Cipayung mengeluarkan pernyataan sikap sebagai berikut.

 

Tolikara: Refleksi untuk Indonesia
JARINGAN KERAGAMAN PAPUA DAN KELOMPOK CIPAYUNG

Papua tempat yang aman untuk semua umat manusia. Adat dan leluhur orang Papua selalu ramah terhadap sesama dan senantiasa mengajarkan cinta kasih. Toleransi sudah tumbuh subur di Papua sejak zaman leluhur. Peristiwa kemanusiaan yang terjadi di Tolikara, pada 17 Juli 2015 telah melukai kerukunan dan toleransi di antara sesama umat manusia di Papua.
Hingga seminggu pasca kejadian, belum ada satu pun lembaga resmi negara yang mengumumkan hasil investigasinya. Sementara berita-berita di media semakin liar dan tidak terkendali, membakar kemarahan satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Karena itu, kami sangat menyayangkan reaksi negatif di luar Papua yang berasal dari informasi yang bias, tendensius, tidak berimbang dan cenderung mengaburkan fakta yang sesungguhnya.
Pada saat yang sama upaya penyelesaian konflik oleh pemerintah pusat dilakukan dengan tidak konprehensif dan mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan. Selain itu, pemerintah pusat juga telah mengabaikan proses penyelesaian konflik berbasis budaya dan lalai melibatkan instrumen-instrumen lokal dalam penyelesaian kasus. Proses ini jelas-jelas semakin menjauhkan masyarakat yang terlibat dalam konflik untuk membangun rekonsiliasi.
Karena itu, Jaringan Keragaman Papua (JKP) bersama kelompok Cipayung (GMKI Cabang Jayapura, HMI Cabang Jayapura dan PMKRI Cabang Jayapura), menyampaikan sikap sebagai berikut:

  1. Hentikan propaganda informasi melalui media yang provokatif dan tidak memberikan kontribusi terhadap penyelesaian kasus di Tolikara.
  2. Mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk bekerjasama dalam menyelesaikan konflik secara tuntas dan menangani korban secara berimbang.
  3. Mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong penyelesaian konflik dengan mengedepankan kearifan lokal yang ada di Tolikara.
  4. Mendorong pimpinan adat dan agama untuk melakukan upaya rekonsiliasi.
  5. Meminta kepada segenap komponen masyarakat untuk tidak terpengaruh dengan informasi-informasi provokatif yang hendak merusak toleransi dan keragaman yang selama ini terpelihara dengan baik.

Jayapura, 22 Juli 2015

Jaringan Keragaman Papua & Kelompok Cipayung

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *