Masyarakat adat suku Yerisiam mengatakan PT Nabire Baru, perusahaan kelapa Sawit, melakukan pembohongan hukum hingga pencaplokan atas tanah masyarakat adat. Perusahaan bohong lantaran datang dengan alasan mengolah kayu merbau atau masyarakat menyebutnya kayu besi.
Karena itu, masyarakat mengira perusahaan akan keluar usai mengambil kayu. Kenyataan mengatakan lain kepada masyarakat adat. Perusahaan malah mengunakan surat izin mengolah kayu untuk mengurus izin penanaman kelapa sawit di atas lahan hutan yang suda bersih.
“Kita hanya tahu izin olah kayu tetapi perusahaan diam-diam mengurus alih fungsi lahan,”ungkap Imanuel Monei kepala sub suku Wauha, suku Yerisiam saat menghadiri sidang gugatan atas Surat Keputusan (SK) Gubernur Papua tentang Isin Usaha Perusahaan PT Nabire di Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN) Jayapura, Selasa (19/1/2016).
Kata Monei, pegurusan alih fungsi lahan itu sama sekali tanpa persetujuan masyarakat adat, atau tanpa surat pelepasan adat, perusahaan mengklaim membeli 17 ribu hektare tanah. Luas lahan klaim itu yang gubernur Papua, barnabas Suebu tetapkan dalam menerbitkan surat izin usaha perusahaan (SIUP), per 31 Desember 2008.
“Surat ini yang kini masyarakat adat Yerisiam gugat. Gubernur Papua harus cabut Surat yang melegitimasi pencaplokan ini,” tegasnya.
Luas lahan yang tertulis itu kurang dari fakta lahan kelapa sawit. Kalau melihat fakta, Kata Monei, perusahaan mencaplok dan menanam kelapa sawit di atas lahan 20 ribu hektare. Atau, luasnya bisa lebih dari pekiraan itu, ungkap Monei.
Kata Monei, pencaplokan itu tidak hanya alih fungsi usaha kayu menjadi kepala sawit tetapi juga, lebih dari itu perusahaan mengalih fungsikan dusun sagu, tempat berburu, tempat mencari ikan dan tempat keramat masyarakat adat menjadi lahan kelapa sawit. Masyarakat adat sudah kehilangan sumber ekonomi dan kepercayaannya. Masyarakat sudah tidak bisa berburu, tokok sagu, dan memetik sayur lagi dari hutan.
Menurut Monei, pengerusakan yang berlangsung disertai teror dan intimidasi terhadap warga masyarat pemilik hak ulayat. Ketika masyarakat mempertanyakan keabsahan usaha, perusahaan mengerakan dan mengunakan aparat keamanan mengintimidasi masyarakat adat. Ada masyarat yang ditodong dengan senjata, dipukul dan dianiaya.
Pemukulaan itu menyebabkan ada anggota keluarga suku yang indra pendegarannya tidak berfungsi. “Adik saya itu menjadi tuli sampai saat ini akibat permukulan saat kami menolak perusahaan. Mereka memukul kami dengan stigma ini dan itu di atas tanah negeri kami,” tegasnya dalam wawancara di siang terik di depan PTUN Jayapura itu.
Melianus Duwitau, aktivis Forum Indepen Mahasiswa (FIM) yang memimpin demontrasi damai mendukung masyarakat adat Yeresiam yang sedang mengugat SK Gubernur tentang SIUP mengatakan perusahaan sangat tidak tahu malu terhadap masyarakat adat.
“Sudah mencaplok, mencuri, mengintimidasi masyarakat lagi dengan mengerakkan aparat keamanan. Perusahaan tidak tahu menghargai hak masyarakat adat dan ini sangat memalukan. Lebih memalukan lagi, aparat penegak hukum membela yang illegal itu,” tegasnya.
Kata dia, perilaku perusahaan yang mencari untung dengan menekan masyarakat adat ini tidak akan berubah kalau tidak ada perlawanan. Masyarakat adat akan terus menjadi korban atas nama perusahaan dan keutungannnya sendiri. Karena itu, perlu upaya melindunggi diri.
“Kita akan habis, akan mati kalau tidak ada perlawanan. Kita tidak lawan juga akan mati. Lebih baik kita lawan mendesak, mengusir PT Nabire Baru keluar dari tanah Yerisiam supaya masyarakat adat hidup,” tegasnya.