Catatan Kritis atas Pelaksanaan UU Otsus Papua
Oleh: John NR Gobai
Pengantar
Proses penyelesaian masalah dalam masyarakat sudah biasa dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun, sebelum ada Negara dan segala lembaga yudikatifnya. Dalam penyelesaian masalah dalam masyarakat adat juga kita memiliki cara untuk melakukan pembuktian secara adat. Dalam masyarakat ada orang yang memang mempunyai kharisma atau dipercaya dapat menyelesaikan masalah. Dalam masyarakat juga terdapat norma norma adat yang kemudian jika dilanggar maka ada sanksi yang dijatuhkan kepada pihak yang melanggar norma tersebut. Setelah adanya Negara, dengan badan yudikatifnya seperti; Pengadilan, Kejaksaaan dan Kepolisian, kami menyadari bahwa apa yang dahulu dan sekarang masih dilakukan Masyarakat Adat Papua, itulah yang disebut dengan proses Peradilan Adat. Bedanya adalah dalam Masyarakat Adat dapat dilakukan semua fungsi oleh satu kelompok atau satu orang yang dipercaya dalam memecahkan masalah dan adil dalam mengambil keputusan. Dalam Masyarakat Adat di Papua, beberapa suku menyebut mereka adalah Tonowi (Suku Mee), Menagawan (Suku Amungme), Sonowi (Suku Moni), Ondoafi (Sentani), Mananwir (Biak), dll.
Pengakuan Pengadilan Adat
Pengakuan oleh Negara Indonesia secara jelas dan tegas dibuat dalam UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua (Pasal 50 (2) dan pasal 51 UU 21/2001) dan Perdasus Papua No. 20/2008 tentang Peradilan Adat di Papua dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh beserta aturan pelaksanaannya baik berupa Perda maupun Qanun, Sedangkan di daerah lain keberadaan peradilan adat diatur melalui Perda atau Peraturan Gubernur seperti; (Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 16 tahun 2008). Menurut Tandiono Bawor, dalam tulisannya Posisi Peradilan Adat dalam RUU KUHAP, Menulis saat ini kita juga harus jujur bahwa keberadaan peradilan adat sangat berperan dalam berbagai kondisi diantaranya, terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada, masih di daerah terisolasi dan masih memiliki tradisi hukum yang kuat dalam memecahkan permasalahan hukum yang terjadi. Hal ini merupakan realitas dimana tradisional atau “custom” masih berlaku di banyak tempat. Ini adalah realita dimana perubahan masyarakat kadang kala terbentur batas wilayah, dan bahwa hal ini juga merupakan kenyataan dimana terdapat daerah-daerah yang masih “steril” keberlakuan sistem hukum formal. Tipe pemecahan masalah yang ditawarkan sistem hukum formal terkadang memperoleh pandangan yang berbeda dan dianggap kurang memadai dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kurang memadainya infrastruktur dan sumber daya yang dimiliki oleh sistem hukum formal menyebabkan kurangnya daya adaptasi dalam menyerap kebutuhan rasa keadilan masyarakat setempat. Keberadaan hukum adat terus hidup dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Di Indonesia hukum adat mulai tampak hidup dan tumbuh di berbagai daerah sejalan dengan bergulirnya masalah Otonomi Khusus (Otsus). Sejak diberikan Otsus bagi Provinsi Papua berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU No. 35 tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 2001 menjadi Undang-Undang, maka bagi Provinsi Papua akan dibentuk dan diberlakukan peradilan adat untuk menyelesaikan perkara adat di samping adanya badan peradilan umum yang berlaku secara nasional selama ini.
Dimana Pengadilan Adat di Papua
Dalam Perdasus No. 20 Tahun 2008 disebutkan Pengadilan Adat merupakan pengadilan perdamaian dalam masyarakat adat, hal ini tentunya benar sebab dalam proses peradilan adat kadang kala menghasilkan sebuah perdamaian. Siap pihak diberikan keleluasaan untuk berbicara, sehingga secara psikologis ada kepuasan untuk para pihak. Dalam prosesnya peradilan adat juga merupakan sarana untuk saling memberikan peringatan atau nasehat dari masyarakat secara umum tetapi terlebih lagi dari orang yang terpercaya atau terpandang atau pimpinan adat dalam masyarakat adat. Pelaksanaan Peradilan Adat di Papua selama ini berjalan dengan istilah yang dipergunakan oleh masing-masing masyarakat adat berbeda istilah atau nama, misalnya di Biak dikenal dengan lembaga adat Kainkain Karkara Mnu (di tingkat Kampung) dan Kainkain Karkara Biak (wilayah Suku Biak), Lembaga adat di Kota dan Kabupaten Jayapura disebut dengan istilah Para-Para Adat, di Suku Mee Paniai disebut dengan Emawa, dan di Kampung Sailolof Pulau Salawati Selatan Raja Ampat (sekarang menjadi Wilayah Provinsi Papua Barat) dikenal dengan istilah Rat Hadat. Selain itu di Suku Amungme Timika dikenal dengan istilah LEMASA sebagai Isorei bagi masyarakat adat suku Amungme, di Suku Moi Sorong dikenal dengan istilah Malamoi, di tempat lain, biasanya diselesaikan oleh Dewan Adat, LMA, BMA atau Kepala Suku atau Ketua Kerukunan keluarga besar daerah asal.
Penutup
Mengakhiri tulisan ini kemudian saya ingin bertanya Dimana Pengadilan Adat di bangun untuk Orang Papua dalam kerangka Otsus Papua? Harusnya ada Gedung Megah dan difasilitasi operasionalnya di kota-kota yang heterogen seperti; Kota Jayapura, Nabire, Mimika, Merauke oleh Pemerintah. saya lihat hanya Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama yang dibangun megah dengan dana APBN. Ini jelas sebuah pengabaian hak masyarakat dan kelalaian Pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya seperti yang disebutkan dalam Perdasus No 20 Tahun 2008, Pasal 12 disebutkan Pengadilan adat dalam pengurusan perkara adat, dapat bekerjasama dengan lembaga Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota di Papua. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan dukungan teknis dan finansial berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi penyelenggaraan peradilan adat di Papua.
sekilas melihat Catatan bung John NR Gobai disini Saya ingin membuka sedikit wacana tentang kondisi dilematis nya pengadilan adat.
Pertama, bahwa : eksistensi peradilan-peradilan adat,yg dahulu kala dijaman kolonial masih diakui dan dikenal dgn istilah peradilan swapraja/desa/adat kemudian setelah Indonesia merdeka dan berdaulat sendiri maka dihapuslan kewenangan dari Peradilan desa/swapraja itu. Yang akibatnya ialah, hingga sekarang dan kapanpun Kekuasaan Negara ini tidak mengakui lagi keberadaan Peradilan adat.
Kedua : bahwa dari sudut pandang Sistem dan Hierarki urutan perundang-undangan sebuah Negara semisal Indonesia, peradilan Negara dilahirkan melalui suatu UU bukan melalui Kep.Pres/Men/Gub./Bup. dan lain-lain, sehingga dengan demikian peradilan negara tercakup dlm perencanaan anggaran dan pembiayaan ber-skala nasional sedangkan peradilan adat hanya setingkat Daerah, dan masih banyak lagi aspek lain. Oleh karena itu maka harus diperjuangkan dulu Regulasi-nya di tingkat Negara, barulah kita bisa melihat dampaknya yg signifikan.
terima kasih
terima kasih sarannya bung..sukses selalu