Memoria Passionis: Mei & Juni 2017

Oleh: Theo van den Broek

Dalam catatan ini, Penulis mengangkat sejumlah kejadian yang mempunyai arti cukup besar untuk perkembangan di Papua dewasa ini. Informasi terkait kejadian atau peristiwa tersebut lebih pada pemberitaan media di Kota Jayapura. Setelah menyebutkan isi berita secara singkat, Penulis juga mencatat sejumlah hal yang merupakan ‘pendapat pribadi’.

Media 30 Mei 

Media lokal memberikan perhatian pada inisiatif PGGP (Persatuan Gereja-Gereja Papua) yang melakukan aksi damai melawan Radikalisme dan Menjunjung Pancasila. Demo bersama ini diadakan pada 29 Mei 2017. Ajakan kepada umat katolik untuk berperan serta ternyata memicu protes yang diarahkan kepada Uskup Keuskupan Jayapura. Sebenarnya bukan karena hal yang mau diangkat tidak penting, namun karena Gereja terlalu lama diam selama masyarakat Papua menderita penindasan, pembunuhan, penangkapan dst. Frustrasi selama beberapa tahun terungkap hingga mau memboikot demo damai yang direncanakan. Yang dapat dicatat [1] ungkapan kekecewaan terhadap peran Gereja yang mungkin sudah lama mau diungkapkan, maka diharapkan bahwa reaksi ini menjadi titik bangkit peranan kenabian Gereja-Gereja; [2] dapat disesali bahwa inisitatif ini tidak langsung melibatkan para pemimpin agama, bukan saja pemimpin beberapa gereja saja; [3] disesali juga bahwa tiga gereja (anggota PGGP!) – Kingmi, Baptis dan Gidi – tidak ikut serta dalam inisiatif ini. ‘Perpecahan intern ini’ memperlemah suara Gereja sekarang dan di kemudian hari; [4] yang perlu diutamakan oleh lembaga keagamaan adalah peranan sebagai ‘pembela nilai’ dan bukan sebagai ‘pembela suatu bentuk politik’, maka sebaiknya unsur “menjaga keutuhan NKRI” dikeluarkan dari ‘tujuan’ demo; [5] dengan adanya kritik hebat, dapat disesali bahwa unsur positif demo ini serta nilai-nilai yang mau dibela tenggalam dan kalah perhatiannya.

Media 3 Juni

Jubi, mengabarkan bahwa Gubernur Papua Lukas Enembe menilai “KNPB mengajarkan demokrasi di Papua”. Sudah tentu penilaian ini cukup diberikan perhatian, apalagi karena perbandingannya dengan FPI (Front Pembela Islam); kata Gubernur: “seharusnya keberadaan FPI ini yang harus dicegah. Jangan orang-orang mengejar KNPB –Komisi Nasional Papua Barat-, padahal mereka mengajarkan demokrasi yang bagus, dari pada kelompok muslim radikal ini” . Pernyataan ini cukup menarik perhatian, karena dukungan terhadap KNPB tidak pernah dinyatakan Gubernur dengan begitu jelas. Mengingat stigmatisasi serta diskriminasi terhadap KNPB memang sangat penting bahwa pimpinan Provinsi Papua mengangkat suaranya. Memang juga perlu dicatat bahwa pernyataan ini diadakan sesaat Gubernur mulai sangat sibuk merebut perhatian dan dukungan dari segala lapisan penduduk Papua menjelang pemilihan Gubernur tahun 2018.

Media 5 Juni

Cepos, memberikan perhatian pada peluncuran “Polisi sahabat sekolah” oleh Kapolda; maksud Polisi akan ‘masuk sekolah’ demi pengukuhan mengenai Pancasila dan Gerakan Permen Pancasila Manis (Pesrsatuan Elemen Republik Mengamalkan Esensi Nilai Pancasila Menjaga Arah Negera Indonesia Selamat). Inisistaif ini disambut hangat Dinas Pendidikan. Muncul pikiran: [a] kenapa Polisi begitu berniat masuk sekolah; [b] apakah Polisi tidak salah sasaran, yakni sebaiknya mereka membantu para guru untuk memiliki informasi secukupnya mengenai perkembangan di Indonesia maka merekalah, yakni para guru, dapat mengamalkan Nilai Pancasila pada murid-muridnya; [c] anak-anak sekolah berhak untuk diajar oleh tenaga yang secara professional dilatih untuk mengajar, yakni para guru, bukan sembarang petugas polisi.

Jubi, Budi Hernawan di dalam refleksinya kepada Jubi yang berjudul “kenapa terdapat pembunuhan politik terhadap aktivis KNPB di Papua?” secara reflektif yang cukup didukung data dan sedang mengangkat salah satu hal yang sangat aktual di Papua. Kesan bahwa sudah terdapat suatu pola strategis pihak keamanan untuk ‘mematikan total gerakan KNPB’. Bacalah pernyataan anggota DPRD Papua Deerd Tabuni, di JUBI 29 Mei. Lihat juga penangkapan puluhan aktivis di Timika dan Merauke, masing-masing 30 dan 31 Mei 2017, serta laporan dari pihak keamanan mengenai peristiwa 25 Mei (pembakaran buku agama di Padang Bulan) dimana tanpa bukti atau investigasi apapun dinyatakan bahwa KNPB adalah pemicu persoalan ini, alias provokator. Lihat juga catatan dalam surat Gembala tiga gereja (Kingmi, Baptis, Gidi) – 29 Mei 2017 – dimana diskriminasi terhadap KNPB diangkat (berhubungan dengan salah satu pembunuhan di depan RS Dian Harapan tgl. 26 Mei 2017).

Kutipan menarik: disebutkan dalam pernyataan 3 gereja (Kingmi, Baptis, Gidi) pada 29 Mei 2017, bahwa pada 15 Mei 2017  “setelah dilantik sebagai Kapolda Papua yang baru, Kapolda menetapkan 12 program prioritas, salah satu diantaranya adalah membasmi organ-organ radikal di Tanah Papua dengan menyebut secara khusus nama KNPB”.

Media 7 Juni 

Jubi, mengangkat lagi soal ‘diskriminasi KNPB’: “320 political arrests throughout May 2017”, sumber: humanrigthspapua.org. Tabel sbb:

 

Tgl Dispersed demonstration/ assemblies/activities Location(s) Arrests Reported violations
01.05.2017 Commemoration of 1st May organized by KNPB Sentani, Jayapura Regency 200 Unlawful arrests, torture/ill-treatment
03.05.2017 Demonstration for the opening of West Papua for foreign journalists Timika, Mimika Regency 30 Unlawful arrests, and prohibition of peaceful demonstration
05.05.2017 Distribution of leaflets for the upcoming election of new local KNPB board Manokwari City, Manokwari Regency 6 Unlawful arrests
30.05.2017 Prayer session celebrating the election of the new board of the KNPB Timika branch Timika, Mimika Regency 7 Unlawful arrests, torture/ill-treatment
31.05.2017 Prayer session celebrating the election of the new board of the KNPB Merauke branch Merauke City, Merauke Regency 77 Unlawful arrests

 

Jubi, memberikan perhatian pula pada dampak masalah penangkapan BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) oleh KPK. Ternyata sejumlah petinggi di wilayah-wilayah lainnya (termasuk Papua) tidak menjadi tenang dan mulai mengangkat suara untuk menyatakan bahwa memang “hasil WTP –wajar tanpa pengecualian – adalah hasil kerja keras dan bukan karena ‘pembelian’”. Walau sejumlah pejabat cepat-cepat mau menutupi segala macam isu, tidak dapat disangkal bahwa ada sejumlah tokoh yang mempertanyakan praktiknya di Papua (lihat JUBI, tgl 5 Juni, hlm 2).

Media 10 Juni

Ternyata gerakan kritis terhadap peran kenabian gereja, khususnya gereja katolik, masih sangat hidup. JUBI mengangkat pengadaan demo protes terhadap lima Uskup Gereja Katolik, seusia para Uskup mengadakan rapat bersama di Susteran di Waena. Memang kekecewaan di kalangan umat katolik, secara khusus para aktivis HAM, besar sekali. Tidak dapat disangkal bahwa ‘sikap diam’ selama tahun–tahun terakhir ini sangat berkontras dengan vokalnya suara Gereja Katolik selama beberapa tahun (1995 – 2005) sebelumnya. Entah kenapa? Sudah tentu suatu refleksi diri sangat dibutuhkan di segala tingkat umat maupun pimpinan agama-agama.

Kompas, sekali lagi memberikan perhatian kepada peranan Panitia Angket KPK. Ditengah segala macam masalah nasional lainnya (munculnya radikalisme, persekusi, korupsi, kehilangan pegangan nilai/ moral  dst.) KOMPAS sangat prihatin dengan peranan Panitia Angket KPK, hingga judul berita di halaman pertama berbunyi “KPK Dihabisi”.  Panitia ini dibentuk – walau tidak sesuai prosedur DPR sebenarnya – karena sejumlah anggota DPRD, termasuk ketuanya dikaitkan dengan korupsi anggaran untuk pengadaan e-KTP.  Alissa Wahid dikutip: “Dalam kondisi banyak anggota DPR yang diduga terlibat korupsi, paniatia angket menjadi bias. Sulit untuk netral dan bebas dari konflik kepenringan”. Dalam Tajuk Rencananya Kompas menulis: “Ketika hak angket digunakan DPR, bisa ditebak prosesnya adalah mendelegitimasi dan mendekonstruksi KPK”. Memang sangat memprihatinkan bahwa salah satu lembaga utama demokrasi di Indonesia begitu menodai diri, karena berupaya ‘menyelamatkan sejumlah koruptor’ dan ‘menjaga nama partai politiknya’; baunya nama itu boleh dipertanyakan. Kenyataan demikian sangat mengganggu ditengah suasana dimana pemerintah perlu begitu banyak tenaga dan kerjasama yang sejati untuk menangani sejumlah masalah lainnya yang mengancam Indonesia sebagai “habitat yang ramah manusia karena nilai-nilai dasar, termasuk kejujuran dan kebenaran, dijaga dan dijunjung tinggi”. Sudah dapat diprediksa bahwa mentalitas yang sangat tidak benar yang ditunjukkan DPR serta para partai politik akan mempunyai dampak besar di Papua pula.

Media 13 Juni 

Jubi, mengangkat pernyataan Komisi V DPR Papua bahwa diduga ada scenario gagalkan perdasus kependudukan. “Kami menduga ada persekonkolan pihak eksekutif sendiri untuk menggagalkan penerapan perdasus ini. perdasus sudah ditetapkan, tinggal sosialisasi tapi hingga kini tidak berjalan. Penjelasan dari dinas tidak substantial”. Yang dimaksudkan Perdasus Nomor 16 Tahun 2008. Syukur bahwa ada yang mengangkat kenyataan ini, walau perlu dicatat bahwa kesadaran akan ketidakpenerapan perdasus ini sangat lambat muncul dikalangan DPRD; perlu hampir 10 tahun untuk menyadarinya. Fungsi kontrol DPRD ternyata kurang dijalankan. Namun masih lebih baik sekarang ada daripada tidak pernah disadari. Perdasus ini sangat penting dalam perkembangan di Papua, mengingat bahwa hanya melalui suatu kebijakan praktis proses minoritasasi Orang Asli Papua (AOP) di tanahnya sendiri dapat dibatasi/dikendalikan. Memang sangat menyedihkan bahwa soal perkembangan kependudukan mendapat begitu sedikit perhatian selama sepuluh tahun terakhir ini baik dari pemerintah sipil maupun lembaga-lembaga perwakilan masyarakat. Sementara waktu posisi minoritas sudah menjadi suatu kenyataan yang membawaserta suatu peningkatahn signifikan marginalisasi masyarakat asli Papua. Harapan supaya kali ini DPRD bukan hanya bicara saja sesaat, namun menindaklanjutinya secara efektif. Kalau tidak, sejumlah pengamat betul dibenarkan sewaktu mereka mempertanyakan: apakah pembiaran proses kependudukan di Papua dengan sengaja diterapkan oleh pemerintah pusat maupun provinsi supaya masalah Papua akan diselesaikan secara otomatis? Soal waktu saja.

Media 14 Juni 

Jubi, memuat suatu berita mengenai penghentian izin beroperasi buat 10 perusahaan oleh Bupati Merauke. Alasannya: mereka selama 4 tahun tidak aktif. Tanah akan dikembalikan kepada masyarakat setempat (yang mempunyai haknya). Syukurlah tindakan demikian diambil oleh Bupati dan masyarakat setempat senang menerima kembali tanahnya walau tanahnya sudah dihancurkan –deforestasi. Syukurlah juga kalau tindakan ini berarti bahwa pemerintah kabupaten akan lebih mengutamakan pengembangan ekonomi rakyat, apalagi pada saat masyarakat dapat kembali tanahnya untuk dikembangkan. Harapan juga supaya contoh ini diikuti para pejabat tinggi yang berwewenang baik di Kabupaten Merauke maupun di Kabupaten lainnya. Akhirnya diharapkan supaya tidak terulang apa yang terjadi di wilayah Mimika beberapa tahun lalu. Disana Bupati juga mencabut izin beroperasi suatu perusahaan yang operasinya telah mengakibatkan banjiran di wilayah masyarakat Kamoro yang sebelumnya tidak pernah mengalami pembanjiran tanahnya. Bupati sempat dipuji karena mencabut izin perusahaan yang bersangkutan. Namun beberapa minggu kemudian Bupati mengizinkan perusahaan untuk beropearasi lagi; ternyata tindaken demikian diambilnya setelah beliau menghadiri suatu pertemuan di Jakarta….

Cepos, memberikan perhatian pada keterangan pers di Kantor Dewan Adat Papua tentang 16 tahun Peristiwa Wasior Berdarah. Sudah sekian tahun lalu namun soal ini tidak pernah sampai diselesaikan, walau berkas pengadilan sudah lengkap disiapkan KomNas HAM. Kejaksaan Agung tetap menolak untuk menanganinya dan tiap kali sempat mencari kekurangan berkas supaya tidak perlu di ‘meja hijau’-kan. Keluhan mengenai soal ketidakpenyelesaian sejumlah pelanggaran HAM di Papua sudah menjadi ‘lagu lama’ karena segala ‘upaya pemerintah’ termasuk Tim MenPolHukam (dengan segala janji tahun 2016) ternyata tidak serius. Kesimpulannya: selama tidak ada ‘political will’ di pihak pemerintah segala pelanggaran HAM di Papua tidak akan diselesaikan, sebaliknya akan bertambah saja. Satu hal lain yang muncul dalam pertemuan di Kantor Dewan Adat Papua adalah pernyataan dari Ketua Adat Meepago John N. B. Gobai, dimana dia memperjelaskan sebagai berikut: “Lalu terkait dengan Polda dan Kodam kami pikir perlu menghentikan keterlibatan prajuritnya terlibat dan menjadi tameng pengamanan perusahaan. Banyak perusahaan di daerah yang menggunakan aparat keamanan yang akhirnya resisten dengan masyarakat. Memangnya TNI Polri ini pesuruhnya perusahaan?” Pihaknya mengharapkan peranan dari Gubernur untuk mencabut izin beroperasinya setiap perusahaan yang terlibat dalam praktik pengamanan tadi. Sangat tepat catatan dari Jhon Gobai ini karena selama ini sering terdengar bahwa justru di wilayah yang jauh dari mata wartawan atau pengamat, masyaralat lokal menderita karena tindakan dari pihak keamanan yang disewa oleh perusahaan. Harapan supaya pengangkatan suara ini masih bisa didengar oleh Gubernur (dan para petinggi lainnya) ditengah segala kesibukannya untuk menyakinkan kita supaya sebaiknya beliau terpilih ulang tahun depan.

Media 16 Juni 

Jubi, memperlihatkan Gubernur Papua selaku calon gubernur sedang mengambil formulir di Partai Gerindra. Setelah memiliki dukungan dari Partai Demokrat (yang sebenarnya sudah cukup untuk memenuhi persyaratan dukungan minimal untuk menawarkan diri sebagai calon Gubernur dalam pemilihan 2018), ternayata Gubernur sangat berniat mendapat dukungan dari cukup banyak partai lainnya. Selain sudah mengambil formulir lagi di PDI-P sekarang juga di partai Gerindra. Ada satu hal yang memprihatinkan, yang terungkap dalam praktik ini bahwa dukungan yang dicari bukan berdasarkan program salah satu partai, namun berdasarkan ‘cari banyak saja entah apa program atau filsafat latarbelakangnya’. Sudah tentu bahwa seorang yang menjadi aktivis di salah satu partai memilih partai itu karena program dan visinya. Maka dalam kerjasama dengan partai lainnya juga melihat dulu apakah isi programnya sama atau sangat berdekatan dengan program partainya sendiri. Sudah tentu juga bahwa partai yang berlainan sekali programnya akan ditolak. Soal harga diri! Nah, ada dua kemungkinan: entah semua program punyai program yang kira-kira sama saja, maka tidak terlalu perbedaan antara partai-partai, maka juga bagi pemilih juga tidak menarik lagi karena toh semua sama saja. Atau, dalam politik praktis, walau ada perbedaan visi,  sudah tidak ada minat lagi untuk betul menonjolkan suatu arah kebijakan tertentu dengan menolak kebijakan yang sangat berlainan; pokoknya menjamin suatu kedudukan kuat saja. Entah bagaimanapun juga, dalam kedua hal ini kita akan mengalami lagi suatu proses pemilihan yang lebih mengutamakan slogan-slogan serta retorika daripada penawaran suatu program yang menjawab kebutuhkan masyarakat. Kekwatiran saya: pendewasaan para politisi kita masih jauh daripada diharapkan.

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *