Mengenang Enam Belas Tahun Otsus Papua

Oleh: Lamadi de Lamato; Pengamat Politik dan Otsus, Tinggal di Papua

 

Gubernur Papua, Lukas Enembe diujung masa bakhtinya (bulan maret tahun 2018 ia sudah diganti oleh Plt (pelaksana tugas Gubernur) ia menjadikan tanggal 21 November sebagai hari libur fakultatif di seluruh Papua. Libur fakultatif demi mengenang Otsus yang sudah berjalan 16 tahun. Apa yang dilakukan Gubernur Papua, membuat kita flash back pada masa silam sebelum Otsus diberlakukan. Otonomi Khusus untuk Papua oleh orang Papua dilihat secara beragam, “Otsus itu jalan tengah”, “Otsus itu hanya gula-gula Jakarta”, “Otsus itu tidak diberikan secara gratis tapi diperoleh dengan perjuangan dan darah!”

Bagi anda, sebutan mana yang cocok untuk menggambarkan Otsus yang sedang berjalan di Papua? Pilihan itu sepenuhnya adalah otoritas anda. Bagi saya, Otsus itu memang lahir tidak gratis, ia bukan sebuah pemberian tanpa reserve dari Jakarta. Ia bisa tiba di Papua lantaran sejarah, penderitaan dan pengorbanan nyawa orang Papua selama dalam wilayah NKRI. Usianya kini sudah 16 tahun pada tahun 2017 dan ia akan berakhir pada tahun 2026 atau sembilan tahun lagi ia akan finish. Prediksi banyak orang, sisa Otsus Papua yang tinggal sebentar lagi akan sangat berbahaya bagi APBD Papua.

Bila 16 tahun ini APBD “dimanja” oleh transfer/kucuran dana kekhususan yang ketika dihitung sudah mencapai 60 triliun rupiah lebih. Setiap tahun Otsus mampu menampung 41 persen anggaran APBD-nya berasal dari dana Otsus. Dari dana inilah orang asli Papua yang memiliki kekayaan alam yang melimpah tapi miskin dan terpinggir secara ekonomi, politik dan budaya diproteksi bisa bertumbuh. Misi besar Otsus Papua mirip politik etis Belanda saat mereka masih bercokol di Indonesia.

Dengan kosa kata “etis”; baik, bermoral dan “tidak menjajah” ia mengangkat harkat dan martabat kaum pribumi dengan sejumlah program politik etis yang ia bangun walaupun berbau manipulasi. Program ini sukses menciptakan kelas menengah pribumi dalam berbagai bidang dan sektor strategis. Otonomi Khusus yang dituding gagal membangun perekonomian orang di kampung-kampung tapi Otsus sukses menciptakan kelas menengah baru di level birokrasi pemerintahan. Untuk hal ini publik mengakui bahwa dana Otsus yang telah puluhan triliunan tersebut sukses melahirkan kelas menengah baru orang asli Papua.

Dari kabupaten dan kota di seluruh Papua dan Papua Barat, seluruh jabatan strategis dari lembaga legislasi, yudikatif hingga eksekutif diisi oleh orang asli Papua. Untuk hal ini, Otsus Papua sangat sukses bila kacamata yang kita gunakan adalah physik dan emprik. Berbeda bila kemajuan itu ditelisik secara kritis. Benarkah kelas menengah OAP yang sukses itu juga sejahtera secara bathiniah? Bila lokus pertanyaan itu, maka bisa saya pastikan mereka tidak bahagia karena kekuasaan, uang dan akses politik yang mereka miliki sesungguhnya adalah jebakan dilematis.

Uang Otsus membentuk anomali mulai dari level kampung sampai elit politik. Di kampung-kampung, komsumerisme tiba-tiba menjadi budaya baru karena berkebun, bercocok tanam dan beternak yang menjadi budaya produktif tiba-tiba mulai ditinggalkan masyarakat. Ubi, hipere dan daging dari kebun sendiri yang menjadi kehidupan mereka diganti dengan kehidupan baru yang cukup dengan “tanda tangan” uang Bansos, PMP Mandiri, Respek, Prospek dan lain-lain. Di level elit pun serupa walaupun tidak sama. Dengan jabatan, uang dan akses politik, prilaku elitnya pun semakin aneh.

Mereka rajin mengumbar ayat-ayat Tuhan pada rakyat tapi aksesori dan dandanannya mewah dan lux. Anda berbicara hidup sederhana dan produktif pada rakyat tapi prilaku yang ditunjukan boros dan menghambur-hamburkan uang. Sederhana dan produktif yang dianjurkan kepada rakyat harus dibarengi dengan contoh. Bila ucapan dan teladan berbeda maka jangan berharap ucapan itu akan diikuti oleh rakyat. Pemimpin dan rakyat mengutip Karl Manheim, dalam sosiologi pengetahuan seperti seekor anak ayam dengan induknya. Sang anak selalu melakukan proses imitasi pada induknya. Sikap konsumtif rakyat di kampung-kampung terhadap berbagai bantuan adalah hasil imitasi mereka terhadap kehidupan kelas elitnya sendiri.

Bila kacamata sosiologi seperti itu, lain halnya dengan kacamata politik. Rakyat Papua yang cerdas punya pandangan bahwa Otsus tidak benar-benar milik Papua. Otonomi Khusus diibaratkan tidak lebih seperti seekor ular dan remote. Kepalanya di Papua tapi ekor dan kontrol tetap masih dipegang oleh Jakarta. Undang-undangnya benar tertulis Otsus Papua tapi praktek politiknya masih mengacu pada undang-undang otonomi daerah yang sifatnya umum. Pandangan politik kontra itu dipicu oleh distrust sejarah masing-masing. Jakarta takut Otsus Papua dipakai sebagai politik clandestin ala Papua memerdekakan diri dengan kewenangan tanpa kontrol Jakarta.

Maklum Otsus Papua kelahirannya disebut-sebut tidak tertera dalam Tap MPRS dan tanpa draft. Dalam tap MPRS hanya Provinsi Aceh yang disebut memperoleh Otsus dengan draft yang jelas. Masuknya Papua dalam Otsus karena tsunami politik yang bersifat emergency dan tidak bisa ditunda. Aspirasi tuntutan kemerdekaan Papua yang sangat masif pasca reformasi tahun 1998 membuat Jakarta tidak punya pilihan lain selain memberi Otsus sebagai alat kompromi asal Papua masih berada dalam NKRI, yang saat itu ibarat manusia ia dalam kondisi “sakaratul maut”! Demonstrasi dan pembakaran dimana-mana, eksodus warga Tionghoa yang melalukan capital fly pada saat krisis moneter begitu marak dan masih banyak lagi.

Di tengah kondisi hampir kolaps itu, Otsus Papua diberikan dengan draft yang dicopy paste dari Aceh. Sementara draft kajian dari Papua ditolak karena dianggap isinya aneh dan berbahaya buat NKRI. Dalam draft asli, OAP ingin ada polisi lokal yang berbeda dari polisi NKRI, OAP juga mencantumkan partai lokal dan masih banyak lagi. Draft copy paste Aceh yang dipakai pemerintah sementara buatan Papua hanya MRP (Majelis Rakyat Papua) yang diakomodir. Sejarah itu sudah berlalu 16 tahun silam dan wajah Papua dalam politik etis ala Indonesia sudah bisa diukur; apakah sukses, amburadul atau stagnan?

Versi pemerintah yang sudah tiga kali berganti Gubernur, Yap Sallosa, Barnabas Suebu dan Lukas Enembe, Otsus Papua disebut sukses dalam angka-angka statistik. Klaim Lukas Enembe dengan skim Bangkit, Mandiri dan Sejahtera, Papua mampu menciptakan kemajuan yang signifikan. Konon angka kemiskinan yang diwariskan Barnabas Suebu diangka 31 persen mampu diturunkan menjadi 27 persen di era Lukas Enembe. IPM (Indeks Perbaikan Manusia) juga disebut makin bagus. Klaim sepihak tanpa pembanding ini patut diragukan. Pasalnya 5 program Lukas Enembe-Klemen Tinal yang disebut berciri pembeda dengan Gubernur sebelumnya juga dalam kondisi uncertainty.

Program pembeda itu diantaranya; pembangunan Smelter, PON 2020, Gerbangmas Hasrat Papua, Pembangunan Rumah Sakit Internasional dan bertaraf nasional di ibukota dan beberapa wilayah region dan Otsus Plus Papua. Dari kelima program itu tidak ada yang terealisasi di akhir jabatan pertamanya. Pembangunan Smelter di Timika, Gerbang Hasrat Papua, Otsus Plus Papua, pembangunan rumah sakit nyaris bisa saya sebut “mangkrak” untuk tidak menyebut gagal. Yang tersisa PON 2020 yang sedang dikebut tapi kritik dan saling tuding di internal pengurus KONI terhadap program ini sangat kencang. Tanda-tanda buruk PON 2020 bakal gagal dipicu oleh rente proyek daripada kedaulatan Papua sebagai tuan rumah penyelenggaraan olahraga nasional diabaikan sebagai isu prestasi Gubernur Enembe saat ini.

Otonomi Khusus Papua kembali diperdebatkan di tengah suasana politik Papua dalam sorotan internasional. Bagi pemain politik, kasus TPN-OPM yang saling baku tembak dengan TNI-Polri di area freeport adalah propaganda politik serta pra kondisi atas Otsus Papua yang sedang berada diujung pertarungan politik. Berita tidak benar bila diberitakan secara terus menerus ia akan dipercaya publik sebagai berita benar. Dan itu yang disebut dengan propaganda.

Pemberitaan media nasional yang memuji TNI dalam penyanderaan 1300 warga, yang terus menerus kini diapreseasi publik dan sejumlah pejabat pusat sebagai langkah heroik. Pujian media nasional itu ternyata berbeda karena dianggap opini sepihak oleh sebagian besar media lokal Papua maupun Medsos. Bagi media-media lokal, opini penyandraan tidak lebih sebagai media abuse yang diciptakan untuk kepentingan politik, diplomasi dan adu strategi internasionalisasi isu Papua di dunia.

Papua memang unik, lucu dan menggemaskan seperti seorang bayi yang sangat disayangi oleh ibunya. Di pangkuan ibu pertiwi NKRI, sejarah, bangsa hingga alamnya sangat unik. Disebut lucu karena para politisi dunia yang bermain di Papua pada tahun 1963 telah ditelanjangi seorang ilmuwan asal Australia Greg Poulgrain atas hasil penelitiannya tentang Papua selama 30 tahun dalam bukunya Bayang-Bayang Intervensi. Demi ingin mengambil kekayaan Papua, operasi CIA yang dikendalikan Allen Dulles sukses membunuh dua pemimpin besar dunia yang sangat mesra pada saat itu. Adalah Jhon F. Kennedy presiden AS mati tertembak dan disusul Sukarno sebagai presiden kharismatik Indonesia mampu ditumbangkan dengan isu PKI.

Allan Dulles adalah kepala CIA Amerika yang bermain cantik selama puluhan tahun itu akhirnya terdeteksi juga sebagai pelaku skandal politik masuknya Papua dalam NKRI. Otsus Papua selama 16 tahun seperti sebuah episode cerita dalam sebuah buku. Dalam buku itu, publik akan tahu para aktor besar yang sedang bermain di Papua. Bab tentang Allan Dulles telah terkuak. Dan Dulles-Dulles lain dengan pangkat dan jabatan strategis kemungkinan juga sedang memainkan isu Papua dalam politik divestasi 51 persen saham freeport, Otsus Papua, Pilgub 2018, Pilpres 2019 hingga pergantian panglima tinggi dalam waktu dekat ini.

Isu Papua yang berkesudahan dengan pertumpahan darah dan korban rakyat kecil yang terjadi di era Otsus Papua bukan barang baru. Konflik seperti hal yang lumrah dalam setiap episode politik yang terjadi di Papua. Wajah Papua adalah negeri yang penuh dengan kontroversi; disebut “zona damai tapi konflik selalu terjadi, ia disebut kaya tapi rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan Otsus Papua yang disebut jalan tengah tapi ia hanya menjadi instrumen berkembangnya klientilisme, sukuisme dan oligarki kelompok tertentu saja.”

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *