Oleh: Pater Gonsa Saur, OFM
Pergumulan Para Murid Yesus
Suasana batin para murid setelah peristiwa kematian tragis Yesus diwarnai oleh banyak citarasa. Ada rasa takut yang besar pada orang-orang Yahudi: ‘jangan-jangan kami juga akan diperlakukan seperti Yesus: ditolak dan digantung pada Salib’. Selain itu, para murid juga diliputi oleh perasaan sedih karena kehilangan orang dekat yang memberi semangat hidup bagi mereka. Ada rasa malu pada orang-orang karena mereka dianggap orang gagal dan tertipu. Ada rasa bersalah karena tidak setia bersama Yesus dalam penderitaan-Nya (ada pengkhianatan dan penyangkalan). Ada rasa putus asa karena apa yang mereka harapkan mengenai Yesus menjadi seorang pemimpin tidak terwujud oleh kematian-Nya di Salib.
Dalam suasana ketakutan, kesedihan, malu, bersalah dan keputusasaan para murid ini, Yesus yang bangkit menampakkan diri dan berkata: “Damai Sejahtera Bagi Kamu!” Salam ini tentu bermaksud memberikan peneguhan kepada para murid yang ada dalam ketakutan, kesedihan, malu, bersalah dan putusasa akan masa depan. Ketakutan, kesedihan, rasa malu, rasa bersalah dan keputusasaan membuat mereka kehilangan “damai sejahtera”.
Cara Yesus memperkenalkan diri-Nya menarik untuk direnungkan. Ia membimbing para murid-Nya untuk kembali kepada penderitaan dan kematian yang mereka takuti. Ia justru memperkenalkan diri-Nya kepada para murid dengan menunjukkan kepada mereka tangan dan lambung-Nya yang pernah dipaku dan ditikam karena betapa besar Cinta-Nya bagi keselamatan manusia. Yesus mau mengajarkan kepada para murid bahwa Dia yang menderita dan mati itulah yang sekarang bangkit. Kematian dikalahkan oleh hidup dan dosa manusia diampuni. Keyakinan inilah yang mendatangkan damai sejahtera.
Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itu menghidupkan mereka (para murid) kembali. Mereka bersukacita. Ketakutan mereka lenyap dan yang tertinggal adalah Damai Sejahtera.
Setelah Yesus berbicara tentang ‘Damai sejahtera bagi kamu’, Ia berbicara tentang pengutusan: “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikianlah juga sekarang Aku mengutus kamu” dan Ia menghembusi mereka dengan Roh Kudus dan mengajak mereka tentang pengampunan dosa.
Yesus menyadari bahwa keberhasilan sebuah perutusan hanya dimungkinkan lahir dari jiwa yang damai karena kekuatan Roh Kudus. Maka tugas pertama yang Dia lakukan adalah memulihkan kedamaian batin-jiwa para murid-Nya. Ia menunjukkan bekas-bekas luka pada tangan dan lambungNya yang telah sembuh (meskipun masih ada bekas) kepada para murid bukan untuk membangkitkan rasa salah para murid tetapi hendak menunjukkan bahwa Ia penuh kerahiman dan pengampun dan mau mempercayakan mereka kembali untuk mewartakan Sabda-Nya kepada seluruh bangsa.
Pergumulan Umat Manusia
Kita pasti punya luka-luka batin yang membuat kita menderita dan juga membuat orang lain menderita. Dunia kita kacau dan penuh konflik karena dunia batin kita tidak memiliki kedamaian. Dunia kita dipenuhi oleh orang-orang yang terluka dan saling melukai satu sama lain. Selama luka-luka batin tidak disentuh dan disembuhkan orang akan terbelenggu dan menderita. Orang akan mudah takut, cemas, mudah tersinggung dan marah, dendam, tertutup dan menyendiri, tidak percaya diri, putus asa, dsb.
Pesan Injil menegaskan bahwa berjumpa dan percaya pada Kristus yang bangkit memberi kita damai sejahtera. Dan itu berarti kita hidup lagi, kita bangkit dan bersukacita untuk mewartakan Injil. Sukacita Injil lahir dari perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit kata Paus Fransiskus.
Ketika Yesus berjumpa dengan Thomas, hal pertama yang Tuhan lakukan adalah menunjukkan luka-lukan-Nya sendiri. “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah”. Tuhan merasa bahwa tidak perlu menyembunyikan luka-luka-Nya sendiri karena luka-luka itu merupakan bukti cinta-Nya kepada kita manusia. Luka-luka itulah yang mematikan, yang menyebabkan Gembala yang baik menderita untuk membela domba-domba-Nya dari serangan serigala. Tuhan mengundang Thomas untuk menyentuh luka-luka Tuhan ini.
Kenyataannya, bukan hanya Tuhan yang terluka, tetapi juga Thomas adalah seorang yang terluka. Dia terluka karena berduka, kesepian, ragu-ragu dan putus asa. Dalam derita ini ia ingin sendiri seperti kebanyakan orang ketika menderita tidak mau diganggu sehingga menjadi depresi. Meskipun luka-luka Thomas tidak kelihatan tetapi mereka sungguh nyata ada. Tuhan yang bangkit mampu melihatnya dan menyentuhnya. Dia yang bangkit itulah yang menyentuh luka-luka Tomas dan membuatnya pulih dan baik kembali. Dengan menyentuh luka-luka Tuhan dan disentuh oleh Tuhan yang bangkit, Thomas sembuh dari ketidakpercayaannya dan juga dari luka-luka lainnya.
Tentu tidak semua orang mudah untuk terbuka tentang luka-lukanya. Kita sering menipu diri sendiri dibalik derita yang kita alami dan hadapi. Kalau kita bertemu dengan seseorang dan tanya apa kabar, kita sudah terbiasa untuk menjawab ‘oh…. Kabar baik sekali, puji Tuhan… padahal…. (isi sendiri)’ kita sering menyembunyikan kebenaran sesungguhnya. Mungkin juga bisa dimengerti karena dunia kita mengalami krisis orang-orang yang mau mendengarkan, berempati dan mau merasakan derita orang lain. Hati manusia hanya bisa disembuhkan oleh kehadiran manusia lain yang mengerti penderitaan manusia.
Yang pasti dalam menghadapi luka-luka dan tiadanya damai sejahtera dalam hidup, kita butuh Tuhan yang bangkit. Tetapi juga kita butuh sesama yang lain yang menyentuh luka-luka kita melalui kesediaan untuk memahami, mendengarkan, berempati dan memberi support/dukungan. Kebangkitan Tuhan mesti mengasah kepekaan kita untuk “menyembuhkan” luka-luka kita sendiri dan luka-luka sesama yang lain sehingga Damai Sejahtera memenuhi hati kita, keluarga kita dan dunia semesta ini.
Semoga Tuhan Memberimu Damai Sejahtera!!!