“Ibarat tanaman, kalau waktu bertumbuh miring dan tidak diperbaiki maka akan terus bertumbuh miring. Tetapi kalau diperbaiki maka tanaman itu akan tumbuh lurus”
Cerita perjuangan yang dialami kedua guru beda generasi ini menunjukan bahwa persoalan pendidikan hampir saja dan selalu sama. Untuk mengubahnya dan mencari solusinya adalah tanggung jawab besar dibebankan kepada para gurunya. Cerita yang ditampilkan di bawah ini adalah kisah pergumulan Guru Muda Ibu Tri Ari Santy dan Guru Tua Ibu Maria Hurulean. Mereka menceritakan perjuangannya di masing-masing tempat tugas perutusannya.
Ibu Tri Ari Santy
Ibu Guru Tri Ari Santy atau Ibu Ari, begitulah sapaan akrabnya. Dia menginjakkan kakinya di Distrik Saminage pada 22 Agustus 2016. Di Distrik ini, dia tinggal di Kampung Heleroma dan mengajar di SD Inpres Saminage yang terletak di Kampung Pona. Sekolah Dasar Inpres ini merupakan SD induk, karena lengkap dari kelas 1 sampai dengan 6. Sekolah Dasar ini menampung siswa dari 9 kampung dan 2 sekolah paralel. Dua sekolah paralel terletak di Kampung Ibelak dan Kampung Helenga. Kedua SD ini hanya menampung siswa kelas 1 sampai 3 saja. Selanjutnya kelas 4 sampai 6 akan bersekolah di sekolah induk yakni SD Inpres Saminage. Tenaga pendidik atau guru yang mengabdi, berdasarkan jumlahnya sekitar 7 orang. Lima orang relawan (3 relawan dari luar Saminage dan 2 orang dari Saminage, Ibu Tri Ari dan seorang Kepala Sekolah).
“Pertama saya datang ada seorang relawan pengajar di sana (SD Inpres Saminage) di Kampung Pona, Distrik Saminage, Kabupaten Yahukimo. Pertama kami datang, kami bersihkan rumput dulu di halaman sekolah. Awalnya kami bertiga, setelah itu yang satunya turun ke Kota Wamena dan tidak kembali lagi. Selanjutnya hanya kami berdua saja. Kepala Sekolah dan guru di situ datang pas saat ujian sekolah atau ujian akhir saja. Kepala Sekolah dan tiga guru relawan dari luar itu datang waktu ujian saja. Ada juga dua relawan di kampung itu tapi saya bahkan tidak melihat mereka. Yang bertahan untuk mengajar di sana saya dan seorang frater (petugas pastoral Gereja Katolik). Bahkan baru-baru ini ujian akhir tahun 2017, dia (kepala sekolah) tidak ke sekolah tetapi tunggu di kampung sebelah, di Distrik Pasema karena hasil Ujian nanti dikumpulkan di sana. Saya meminta bantuan seorang relawan untuk menemani anak-anak ke Distrik Pasema untuk mengikuti ujian. Saya tidak bisa jalan karena saya juga menemani para petugas medis di sana. Mereka (para petugas medis) juga tidak mau saya keluar. Kebetulan saya yang datang lebih dulu dan sudah mengenal masyarakat di situ”, tutur Ibu Tri Ari ketika menceritakan pengalamannya di Kantor SKPKC Fransiskan Papua, pada 31 Juli 2018.
Awalnya tiba di Kampung Heleroma dan mengajar di SD Inpres Saminage, Ibu Ari harus mulai belajar banyak hal baru dan mengenal karakter masyarakat serta anak-anak didiknya. Ibu Ari secara perlahan-lahan menemukan cara yang tepat untuk membantu anak-anak sekitar SD Inpres Saminage.
“Awalnya saya datang dan mulai mengajar. Saya belajar karakter anak-anak di sana. Ternyata mereka selalu mengikuti apa yang dilakukan oleh guru mereka. Saya sengaja mebaca buku dan mereka mulai perlahan mengambil buku dan membuka buku bacaan,” ungkap Ibu Ari.
Pemenuhan buku bacaan dan perlengkapan belajar mengajar merupakan salah satu syarat untuk mengajak dan mengajarkan anak-anak untuk bisa menulis, membaca dan mengenal huruf-huruf dan angka.
“Tiga bulan pertama di Saminage, tidak ada buku dan alat tulis. Saya binggung dan tidak tahu minta bantuan kemana. Saya ke Dinas Pendidikan di Dekai, saya ketemu dengan Sekretaris Dinas untuk minta perlengkapan. Tetapi dia jawab ke saya, bisa tapi harus bayar 8 juta. Saya jawab ke dia, tidak bisa karena saya sendiri adalah voluntir, tidak ada dana untuk itu. Setelah itu saya kembali ke Wamena dan bertemu dengan teman yang menghubungkan saya dengan Yayasan Kristen Wamena (YKW). Yayasan ini membuat buku pendidikan yang kontekstual Wamena. Syukurlah mereka langsung jawab ke saya, butuh buku berapa. Mereka kasih ke saya gratis. Kalau buku itu dibeli diperkirakan sekitar 5o juta”, cerita Ibu Ari.
Sebelum mengajar di Saminage, Ibu Ari bekerja di sebuah toko di Kota Wamena. Karena perkenalannya dengan seorang temannya di Rumah Bina Wamena, dia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya itu.
“Saya tiba di Wamena tahun 2015. Karena belum mengenal orang, saya kerja di sebuah tokoh. Dalam perjalanan saya mengenal seorang teman yang sering belanja di toko kami. Dia tinggal di Rumah Bina Wamena. Dia akhirnya mengajak saya untuk berkenalan dengan pater Jhon supaya dapat membantu mengajar di daerah Saminage. Saya putuskan langsung untuk berhenti bekerja di toko saat itu juga. Saya senang karena bisa mengajar lagi, bisa menjalankan tanggung jawab sebagai seorang guru”, jelas Ibu Ari.
Peran guru, masyarakat dan dinas terkait sangat membantu proses pendidikan itu berjalan di sekolah. Dinas Pendidikan melalui badan pengawasnya seharusnya menjalankan tugasnya untuk melihat segala proses yang terjadi. Hal ini berbeda dengan yang dialami oleh Ibu Ari. Selama dua tahun dia mengajar di Saminage, tidak ada pengawas atau dari dinas pendidikan yang melakukan kunjungan atau pengawasan di sana.
“Saya sempat bertanya ke pengawas tetapi pengawas menjawab bahwa mereka tidak pernah menginjakkan kakinya di Saminage. Bahkan yang lucunya adalah ada pengawas yang tidak tahu sekolah di Saminage”, Ibu Ari menceritakan.
Cerita pilu tentang pendidikan di SD Inpres Saminage terus bertambah ketika Ibu Ari menjelaskan bagaimana proses yang dilakukan oleh atasannya pada saat ujian akhir.
“Contohnya pada tahun lalu, 2017, yang saya tahu adalah anak sekolah yang bisa ikut ujian adalah 3 orang saja. Tetapi di dalam data kepala sekolah dan dinas ada 18 murid yang mengikuti ujian. Yang 8 orang adalah anak usia sekolah yang tidak pernah aktif. Dan sisanya adalah usia orang tua. Kebanyakan mereka membeli ijazah yang disediakan oleh kepala sekolah. Ini sepertinya bisnis pendidikan dan proses pembodohan kepada masyarakat. Sebenarnya bukan di Saminage tetapi hampir kebanyakan terjadi di daerah pedalaman. Bahkan di data untuk laporan dijelaskan sampai 350 anak. Padahal yang saya lihat dan alami di lapangan adalah 50 anak saja. Mereka menaikan data untuk mendapatkan bantuan dana BOS dan lain sebagainya. Ini memang gila sekali”, tutur Ibu Ari.
Ibu Ari juga punya harapan pendidikan awal di daerah pedalaman Papua, khususnya di Saminage adalah pendidikan sesuai konteks murid bukan konteks guru.
“Kita tidak perlu memaksa segala hal kepada anak-anak. Kita perlu perlahan-lahan mengikuti konteks anak murid belajar. Yang terpenting dan pertama adalah membangun karakter anak terlebih dahulu”, jelas Ibu Ari.
Ibu Maria Hurulean
Perjuangan dan pergumulan Guru Muda Ibu Tri Ari Santy tersebut sudah dan selalu dialami oleh mereka yang terlebih dahulu menjadi guru di daerah pedalaman Papua. Salah satunya adalah Ibu Maria Hurulean. Ibu Maria berasal dari Kei, Maluku Tenggara. Ibu Maria dilahirkan di Asmat. Pengalamannya menjadi seorang guru dimulai pada tahun 1986 di SD Inpres Basin, Distrik Fayith, Asmat. Selama 17 tahun Ibu Maria dan suaminya Romanus Meak mengabdikan dirinya di SD Inpres Basin tersebut. Apa yang dialami oleh Ibu Ari, sudah dialami oleh Ibu Maria Hurulean. Awalnya Ibu Maria dan suaminya harus berjuang keras membantu anak-anak di Basin untuk bisa membaca.
“Awalnya kami mengajar, anak-anak yang sudah duduk di bangku kelas 5 SD belum bisa membaca dan menulis. Kami berusaha untuk menyelesaikan persoalan dasar ini. Kami berbagi peran. Saya menangani kelas kecil (1-3), sedangkan suami saya menangani kelas besa (4-6). Yang kami kerjakan di tahun-tahun awal adalah menuntaskan 3 M. Kami mau agar anak murid kami bisa melakukan 3 M itu yakni bisa Membaca, bisa Menulis dan bisa Menghitung”, cerita Ibu Maria Hurulean, Kamis (13/9), di rumahnya Kampung Yufri.
Apa yang dikerjakan di SD Inpres Basin, juga diterapkan di SD YPPK St. Yohanes Pemandi Yufri, Distrik Joerat, Asmat. Kedua pasangan suami istri ini berusaha melaksanakan tugas perutusannya.
“Waktu kami tiba dan mengajar di SD Yufri sini, kami juga menerapkan hal yang sama. Kami perlu menuntaskan hal-hal mendasar itu yakni 3 M yang saya jelaskan tadi. Persolan penolakan masyarakat sangat biasa di dalam perjalanan kami sebagai guru. Tetapi kami berdua tidak patah semangat dan putus asa. Kami memberikan dan membiasakan anak-anak untuk membaca bacaan yang sederhana. Proses selanjutnya adalah tanya jawab dan jawaban mereka itu coba kami ajak mereka untuk menulisnya. Hal ini kami lakukan secara terus menerus. Karena kami tahu di rumah belum tentu mereka belajar. Kesempatan belajar kebanyakan di sekolah. Kami pernah tidak mendaftarkan diri untuk ikut ujian karena muris-murid kami belum siap. Kami tidak mau menipu diri. Hal ini terjadi pada tahun ajaran 2008/2009. Kalau kita membantu mereka ujian itu berarti kita membunuh anak-anak kita”, cerita Ibu Maria.
Apa yang disampaikan oleh Ibu Maria juga diamini oleh Suaminya Pak Guru Romanus Meak. Pak Romanus adalah salah satu guru yang juga ‘keras kepala’ karena tidak mau mengikuti sistem pendidikan yang diturunkan secara lurus dari pusat.
“Sistem pendidikan itu selalu berubah. Satu mentri yang naik, ganti sistemnya. Untuk kita di pedalaman Papua, tidak perlu memaksa yang lebih banyak. Itu boleh menjadi pengetahuan guru tetapi tidak serta merta menerapkannya kepada anak murid kita. Kami tidak mau menipu diri kami. Bagi kami adalah anak kami bisa membaca, menulis dan menghitung. Saya tidak bicara sombong tetapi kalau menguji anak-anak SD di Asmat sini yang bisa baca dengan baik, kami dari Yufri sudah bisa. Belum ada anak SD di Pedalaman Asmat sini yang bisa membaca bacaan kitab suci selain kami dari Yufri. Itu juga kerena pengakuan dari para pastor yang melayani kami di Asmat sini”, tutur Pak Romanus Meak di Yufri.
Pengenalan akan budaya setempat memang sangat penting. Dengan demikian nilai-nilai budaya dapat dimasukan di dalam proses belajar mengajar di sekolah. Ibu Maria menjelaskan bahwa mereka juga melibatkan penjaga sekolah yang adalah orang seniman. Penjaga sekolah tersebut diminta bantuan untuk memberikan pelajaran bagaimana proses memahat dan mengukir potongan kayu menjadi sebuah patung yang bagus dan indah.
“Kami melibatkan Pak Anton Awareb untuk membantu anak-anak di SD Yufri tentang bagaimana memahat dan mengukir sebuah patung. Kami melibatkan orang di sini karena mereka sangat tahu tentang budaya dan kebiasaan masyarakat di sini”, jelas Ibu Maria.
Proses belajar mengajar di sekolah tidak terlepas dari proses shering antar guru terhadap segala persoalan yang dihadapi. Di SD YPPK Yufri, Ibu Maria selalu mengajak para gurunya untuk bertukar pikiran setiap akhir bulan. Hal ini dimaksudkan agar dapat melihat bersama segala kesulitan dan secara bersama pula mencari solusinya. Di tahun 2018, SD YPPK Yufri mendapat tambahan dua tenaga guru. Jumlah guru yang mengajar di SD YPPK St. Yohanes Pemandi Yufri adalah 5 orang ditambah satu penjaga sekolah yang adalah guru seni pahat dan ukir.
Ibu Maria Hurulean sangat yakin bahwa karakter dan kebiasaan anak-anak bisa dibentuk untuk sesuatu yang baik dan yang memang berguna bagi masa depan mereka. Ibu Maria menjelaskan ibarat tanaman kalau tumbuh miring dan tidak diperbaiki maka akan tumbuh miring. Tetapi kalau diperbaiki dengan baik maka ia akan tumbuh lurus.
“Membangun pendidikan di Papua adalah apakah kita punya hati atau tidak untuk anak-anak kita. Salah satu indikator bahwa kita tidak punya hati adalah anak-anak tidak bisa membaca. Itu berarti gurunya tidak punya hati untuk membantu anak-anak didiknya”, ungkap Ibu Maria.
Ibu Maria Hurulean dan Ibu Tri Ari Santy dua guru yang beda generasi yang berusaha menjawab tuntutan pendidikan. Mereka berdua berusaha meyakinkan orang lain bahwa anak didiknya harus mampu dan bisa bersaing dengan yang lainnya, yang penuh dengan perlengkapan sarana dan prasarana pendidikan. Mereka tidak banyak mengeluh tetapi mereka terus berbuat, mencari solusi yang terbaik untuk masa depan anak didik mereka.