Sebuah Refleksi
Oleh. Mecky Mulait, Pr
Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia yang ditetapkan pada 10 Desember (2018) secara Internasional, cukup diwarnai oleh beragam aksi dari beberapa kelompok orang di Papua. Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) “Fajar Timur” di bawah payung Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) juga mengambil bagian dalam memperingati hari HAM tersebut. Mahasiswa STFT melakukan aksi “diam”. Dalam spanduknya ditampilkan 5 tuntutan. Pertama, memintah negara menyelesaikan 4 kasus pelanggaran HAM berat di Papua yakni Biak berdarah (1998), Wamena berdarah (2000), Wasior berdarah (2010) dan Paniai Berdarah (2014). Kedua, hentikan segala kekerasan dan pembunuhan di Papua. Ketiga, negara dan Investor menghargai hak haka masyarakat adat di Papua. Keempat, Pemerintah bertanggungjawab terhadap pemerataan akses pelayanan pendidikan, kesehatan di Tanah Papua. Pada poster-poster yang ditampilkan menuntut supaya negara membuka ruang demokrasi dan rasa aman di tanah Papua. Aksi ini merupakan kerja sama dengan Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua yang merupakan satu lembaga Gereja Katolik yang mengurus tentang pelanggaran dan perlindungan HAM di Tanah Papua.
Solider dengan Korban Pelanggaran HAM
Mahasiswa STFT “Fajar Timur” secara umum sama dengan mahasiswa lain dari Universitas dan Perguruan Tinggi (PT) yang ada di sekitar Kota Jayapura dan Papua umumnya. Secara akademik mahasiswa dijamin oleh UU dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Begitupula dengan serangkaian tiga tugas dan tanggungjawab sebagai mahasiswa yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Meskipun begitu, mahasiswa STFT juga memiliki kekhususan karena mereka bukan hanya mahasiswa biasa atau pada umumnya tetapi mereka adalah calon pelayan Gereja dalam Gereja Katolik disebut imam atau pastor (gembala). Sebagai calon pastor, cara menyampaikan pendapat dan protes (kritik) terhadap ketidakadilan dan pelanggaran HAM di Papua seringkali sangat berbeda dengan mahasiswa dari perguruan tinggi lain yang cenderung turun jalan. Mahasiswa STFT selama ini lebih banyak memilih menyampaikan pendapat melalui tulisan di media cetak seperti Cepos, Jubi maupun media lokal lainnya. Namun, kali ini mereka lebih memilih untuk turun jalan.
Mengapa mahasiswa STFT “Fajar Timur” memilih turun jalan?
Pembungkaman ruang demokrasi di Papua dan kekerasan pelanggaran HAM yang terus mewarnai gerak hidup masyarakat Papua belakangan ini menjadi suatu keprihatinan yang mendorong mereka turun jalan. Reaksi dan aksi ini merupakan sinyal bahwa Papua kini sudah masuk pada sona darurat HAM. Ribuan kasus pelanggaran HAM di Papua belum tersentuh oleh hukum secara adil, baru saja kita dikagetkan dengan pembunuhan 24 pekerja dari PT Istaka Karya kabupaten Nduga yang sedang mengerjakan proyek pembangunan jembatan (Jubi.com, 4/12). Menanggapi aksi pembunuhan yang disinyali oleh pihak Tentara Nasional Papua Barat (TPNPB) yang oleh pemerintah melalui aparatnya diberi nama Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), pihak aparat memberi reaksi yang cukup serius menanggapi aksi pembunuhan belasan tenaga kerja tersebut. Presiden Jokowi langsung memerintahkan panglima untuk turun lapangan memastikan sebelum melakukan operasi militer. Ketika pihak aparat mengambil tindakan operasi sudah dipastikan bahwa akan menambah korban dan menambah deretan pelanggaran HAM karena yang akan menjadi korban adalah pihak sipil. Setelah dua hari tanggapan diberikan oleh pihak militer dengan dalil mengejar pelaku, beberapa media memberitakan bahwa dari pihak masyarakat sipil sudah mengalami korban 3 orang. Satu diantaranya seorang majelis dari Gereja kemah injil. Rasa aman dan jaminan kehidupan sungguh memprihatikan di Papua. Oleh karena itulah mahasiswa STFT “Fajar Timur” yang adalah calon pelayan Gereja turun jalan untuk menunjukkan bahwa Papua memang sudah menjadi zona merah kasus pelanggaran HAM dunia. Masyarakat Papua yang adalah korban pelanggaran HAM oleh negara melalui aparatnya perlu dilindungi dan suaranya harus diteruskan.
Aksi Menggunakan Jubah
Aksi diam yang dilakukan mahasiswa STFT “Fajar Timur” sebagian besar terutama para calon pastor projo menggunakan jubah berwarnah putih dan hitam. Mereka juga mengikat kepala dengan potongan kain hitam. Tanda duka atas matinya HAM di Papua. Pertanyaannya mengapa sebagian mahasiswa STFT menggunakan jubah? Bukankah jubah digunakan saat ibadat atau misa di Gereja saja? Dengan demikian mereka salah tempat menggunakan jubah? Betul bahwa jubah memang termasuk satu bagaian dari pakaian liturgis sehingga paling sering digunakan saat upacara liturgis baik sabda maupun ekaristi (perjamuan). Namun kalau kita melihat lebih jauh, penggunaan jubah saat upacara liturgis itu bagian dari pelayanan kepada umat. Seorang imam atau calon imam menggunakan jubah dalam melayani “mewartakan sabda dan mempersembahakan ekaristi”. Seorang pelayan berusaha menggunakan jubah supaya identitas sebagai imam atau pastor yang merupakan pancaran dari Kristus itu sungguh dirasakan oleh umat yang dilayaninya.
Lalu pertanyaannya mengapa dengan para calon imam (pastor) menggunakan jubah turun jalan untuk membela dan melayani mereka yang ditindas dianiaya dan hak suara dibungkam, harkat dan martabatnya diinjak-injak. Kalau jubah itu melekat dengan jati diri seorang calon maupun pastor, maka ketika dimanapun ia pergi melayani, kepada siapapun dia, jubah memberikan suatu kekuatan tersendiri kepada umat yang dilayani bahwa Kristus yang diimaninya itu masih berbicara, masih ada bersamannya. Mungkin saja banyak orang beranggapan bahwa mereka menggunakan jubah supaya mendapat keamanan atau tampil beda dari mahasiswa lainnya yang barangkali melakukan aksi pada hari yang sama. Namun, sejauh yang dapat kami refleksikan bahwa motivasi utama adalah dengan jubah identitas jelas dan memberikan harapan kepada pihak korban pelanggaran HAM di Papua yang seringkali kehilangan harapan bahkan tidak kurang menimbulkan pertanyaan teodice (apakah Tuhan ada dan kalau ada mengapa ada kejahatan bahkan sampai pada batas yang sungguh tidak manusiawi dan tidak masuk diakal)? Dengan kehadiran seorang berjubah harapan hidup itu dibangkitkan. Paus Farnsiskus pemimpin Gereja Katolik universal, meminta para pengikutnya untuk tidak takut kotor atau mengotori diri. Kotor yang dimaksudkan oleh paus adalah berani membela keadilan dan kebenaran. Bapa Paus Fransiskus tahu bahwa ketika kita berani bicara banyak orang yang akan menilai secara negatif. Oleh karena itulah paus meminta supaya kita lebih berani diberikan label yang tidak mengenakan namun demi kebenaran dan kebaikan kita tetap berani.
Makna Fragmen Kekerasan
Dalam aksi itu, masa aksi mempertunjukan fragmen tentang tindakan kekerasan aparat yang sering dilakukan kepada masyarakat Papua. Dua aparat melakukan tindakan kekerasan (menendang, mendorong, memukul) di bawah ancaman popor senjata kepada dua orang. Satu orang menggunakan baju biasa dan satu lagi menggunakan jubah. Yang menggunakan baju biasa pesannya jelas ditujukan kepada rakyat biasa yang menjadi korban selama ini oleh pihak militer. Tetapi yang menggunakan jubah ini agak abstrak karena kekerasan yang dilakukan pihak aparat terhadap kaum berjubah tidak begitu nampak seperti korban kekerasan di Amerika Latin maupun di Afrika. Orang lain yang menyaksikan atraksi itu memang sulit menangkap pesannya karena seturut dengan itensi “aksi diam” atraksi itu pun dilakukan tanpa penjelasan dari seorang orator yang lasim digunakan.
Sebagai mahasiswa filsafat dan teologi, mereka tentu memiliki metode yang berbeda dalam menyampaikan pembelaan terhadap harkat dan martabat manusia atau dalam bahasa agama adalah keselamatan jiwa-jiwa. Mahasiswa lain seturut dengan disiplin ilmunya seringkali menyampaikan orasi-orasi politik ketika turun jalan, tetapi mahasiswa STFT justru membawa dan menyampaikan pesan teologis. Dalam fragmen, mereka menampilkan siksaan pada Yesus yang dilakukan oleh tentara Yahudi dengan dalih merongrong kekuasaan pemerintahan setempat karena pesan-pesan damai dari Yesus sangat berpengaruh kuat pada ancaman otoritas. Itulah sebabnya para pemuka agama dan penguasa setempat menjatuhkan hukuman yang tidak adil kepada Yesus. Yesus menanggung penderitaan sampai pada kematian di kayu salib, namun bangkit dalam kemuliaan-Nya. Yesus telah menyelesaikan tugas pembebasan itu pada 2000 tahun yang lalu di tanah Palestina, namun tindakan keji dan tidak manusia terus terjadi di tanah Papua. Banyak orang tidak bersalah terus disiksa, dihukum bahkan dibunuh di atas tanah Papua seperti Yesus sendiri kecuali dalam hal dosa. Jaminan hak hidup dan masa depan masyarakat asli Papua di negerinya semakin hilang karena Negara melalui alatnya (TNI dan Polri) seringkali bertindak sewenang-wenang untuk mengamankan kepentingan investor dan keamanan atas nama kedaulatan negara. Oleh karena itu, melalui fragmen tersebut, mahasiswa filsafat dan teologi itu mengajak kepada sesama yang lain sebagai pengikut Yesus Kristus untuk bersama-sama menanggung beban berat yang ditanggung oleh pihak korban HAM dalam rasa solidaritas dan persaudaraan sebagai sesama manusia sambil terus mengkritik Negara yang melakukan tindakan kekerasan dan kejahatan. Dengan harapan cita-cita Papua aman, damai dan adil itu sungguh-sungguh terlaksana.