Sebuah Opini
Oleh Beni Pakage: Pemerhati Persoalan HAM di Papua
Pengalaman Duka Papua
Kisah ‘operasi militer’ di Kabupaten Nduga terkait penyerangan terhadap para pekerja jalan menjadi kisah yang mengejutkan semua orang di Tanah Papua dan Indonesia. Kisah ini membangkitkan ‘luka-luka atau ingatan’ akan beratus ribu kisah pahit yang dialami oleh Orang Asli Papua. Tulisan ini adalah sebuah catatan refleksi sebagai ungkapan hati dari salah satu Orang Asli Papua. Si Penulis memulai catatan refleksi dengan beberapa kisah yang terjadi terhadap Orang Asli Papua pada masa lalu yang sampai saat ini diabaikan dan dibiarkan oleh negara.
Pada waktu Pak Guru Roby Yogi yaitu seorang guru SD YPPGI Obano Paniai ditangkap dan diintreogasi oleh TNI 753 Nabire, dia diintrogasi dengan cara TNI mengiris-iris tubuh guru ini menggunakan silet atau pisau cukur. Karena kesakitan dia berteriak meminta tolong dengan alasan dia tidak terlibat sebagai TPN/OPM di Paniai, namun teriakan meminta tolong yang dikeluarkan dari mulut yang gementar ini tidak ditanggapi oleh anggota TNI dengan kasih sayang. Namun dibalas oleh TNI 753 dengan cara menusuk besi panas dari dubur atau anus menembus hati jantung hingga, diikuti tembakan dengan senjata sebanyak 3 kali menggunakan senjata AK 47. Sebanyak 5 peluruh menembus tubuhnya dan dia tewas tanpa dia bersalah. Kisah lain, sewaktu Ory Dronggi yang dituduh menyerang Polsek Abepura, dia diinterogasi oleh anggota Polisi di Markas Polres Kota Jayapura, sewaktu ditanya dia mengaku bahwa dia terlibat penyerangan Polsek tersebut tetapi, oleh introgator dia dipukul pakai balok ukuran 5×8 dan terakhir dia dihabisi menggunakan belakang skop oleh anggota Polisi sehingga dia mati tempat di dalam Polres Kota Jayapura. Kemudian, Yawan Weyani, seorang warga sipil yang pernah ikut dalam tim 100 meminta Merdeka di istana Negara Jakarta ditembak oleh Brimob sehingga tali perut terurai keluar, namun dalam situasi tinggal mati dia mengatakan,Tuhan akan memberi kemerdekaan kepada Bangsa Papua, namun Brimob yang menawan dia mengatakan, Tuhanmu itu tidak akan kasih kemerdekaan buat bangsa Papua dan diperjalanan dia mati terbunuh karena kehabisan darah. Kemudian sewaktu Tunawiwor Kiwo ditangkap karena dia dituduh sebagai TPN/OPM, dia diinterogasi oleh TNI 753 Nabire dengan cara mereka membakar kemaluannya menggunakan pontong rokok, dan karena sakit dia bertreriak agar diperlakukan dengan baik, namun TNI yang melakukan interogasi ini membakar kemaluan dia tanpa menghiraukan kesakitan yang sedang dialami Tunawiwo Kiwo,dan terakhir mereka mengeksekusi dia dengan 10 kali tembakan di seluruh tubuh dan dia tewas terbunuh.
Di atas kami tulis beberapa kasus dari sekian ribu kasus kekerasan yang dilakukan oleh TNI/Polisi atau Negara Indonesia tanpa memberi ampun atau menyelesaikannya. Di balik kisah tersebut, hati saya sedih setelah membaca; dua warga asli di Mbua, Endis Tabuni, yaitu seorang mantri Puskesmas Yigi dan Ekira Lokbere, salah satu pekerja PT Istaka Karya yang harus bertaruh nyawa selamatkan para pekerja yang bukan orang asli Papua dari serangan TPN/OPM di Nduga.
Kebaikan Orang Asli Papua di Nduga
Untuk menyelamatkan orang Indonesia yang diduga sebagai intelijen ini. Endis Tabuni dan Ekira Lokbere melakukan berbagai cara agar bisa menyelamatkan beberapa warga pendatang, termasuk pekerja PT Istaka Karya di Kampung Yigi, Distrik Mbua, Kabupaten Nduga, pada 1-2 Desember 2018. Dimana saat kejadian, Endis Tabuni sambil menggendong anaknya yang berusia 3-4 tahun bernama Martina Tabuni, mempertaruhkan nyawanya berusaha menyelamatkan dua pekerja proyek pembangunan rumah dokter di daerah itu. Bahkan Ekira Lokbere, juga ikut bertaruh nyawa menyelamatkan lima pekerja PT Istaka Karya, yang salah satunya adalah pimpinan Ekira bernama Jhoni Arung di PT Istaka Karya.
“Mereka melindungi para pekerja ini dengan mengatakan kepada TPN/OPM, jika kamu sentuh dia (para pekerja), bunuh dulu saya,” sebagaimana kata Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih, Kolonel Inf. Aidi menirukan salah satu warga asli Mbua yang harus bertaruh nyawa masuk hutan cari tempat aman bagi pekerja yang mereka selamatkan.
Adakah Orang Indonesia yang bisa melihat masalah Papua dengan bijak, tanpa tebuai dengan berbagai media propaganda yang menguntungkan kaum penguasa? Kami pikir sisi kemanusian yang ditunjukan oleh dua warga Mbua ini adalah sifat asli orang Papua selama ini. Tanpa menstigma orang pendatang sebagai monyet atau kete, tanpa mengusir orang dari daerah mereka seperti mahasiswa yang diusir karena kepentingan Politik tanpa menghargai demokrasi dan kebebasan untuk memberikan pendapat. Di Surabaya, Malang, Yogyakarta, masa reaksioner dan warga mengusir orang Papua hanya karena melakukan aksi meminta referendum kepada Indonesia. Apakah orang Papua pernah menngusir para pendatang yang sekian ribu hidup di tanah Papua dengan cara demikian? Negara malah membiarkan FPI (orang Indonesia) yang terus melakukan perlawanan kepada negara, membiarkan gereja ditutup dan diserang dan dibakar.
Dengan kejadian-kejadian tersebut, muncul pertanyan kepada Negara Indoneisa, khususnya Presiden Jokowi; Apakah orang Indonesia lebih manusiawi dari pada orang Papua? Dan kapan masalah mendasar dari konflik Politik di tanah Papua diselesaikan atau di kemudian hari sebagai presiden akan mengangkat pekerja yang korban menjadi pahlawan pembangunan tanpa arti sama sekali? Kelihatnya kita terbuai dengan berita dari media propaganda, media yang digunakan oleh penguasa untuk melindungi kekuasan yang penuh korup dan otoriter demi menjaga kekusaan dan selalu makan enak dan berfoya.
Sebagai pimpinan negara, Presiden Jokowi juga tidak melihat kebaikan yang dilakukan oleh kedua warga Mbua, yang dapat membantu terbangunnya kedamaian di negeri ini. Malah membalas kebaikan dua orang warga sipil Yigi dan Mbua dengan mengirimkan ribuan militer untuk membombardir dan memburuh warga di Nduga.
Stop Militerisme di Papua
Tepatnya tanggal 5 Desember 2018, Pukul, 07.30 Waktu Papua, TNI menggunakan Helikopter membombardir Yigi dan Mbua dari arah selatan ke timur dan pada pukul 10.20 WIB, Presiden Jokowi memberikan penghargaan kepada para pekerja. Namun Negara Indoensia menutupi kejadian saat TNI berusaha mengambil jenasah dan membombardir Yigi dan Mbua menggunakan helicopter dan menghamburkan peluruh dengan serangan bom sebanyak 5 kali di Distrik Mbua dan tujuh kali di Distrik Yigi. Empat orang warga sipil mengalami luka berat dan dua aparat desa meninggal. Kedua orang yang tertembak adalah aparat Desa Wuridlak dan Desa Kujondumu. Untuk memutarbalikkan fakta, Kapendam XVII/Cendrawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi memastikan bahwa sampai saat ini TNI dan Polri tidak menggunakan bom dan tembakan dari pesawat maupun helikopter.
Negara Indonesia mengorbankan warganya yang tak bersalah dengan mengirimkannya sebagai tenaga pembangunan. Orang asli Papua yang selama ini mengalami penindasan, tidak menghendaki pembangunan jalan. Bagi mereka, setelah jalan dibangun, akan masuk semakin banyak militer, orang pendatang, akan didirikan pos-pos militer sepanjang jalan tersebut. Dengan alasan menjaga keutuhan NKRI, Negara membunuh banyak orang. Dalam hal ini, Negara harus jujur apa sebenarnya yang direncanakan dalam proyek pembangunan jalan tersebut? Apakah untuk menguras segala sumber daya alam Papua? Walaupun Negara Indonesia memiliki Presiden dari warga sipil tetapi kekuatan militer tetap berkuasa di Tanah Papua.
Untuk Papua yang Damai, khususnya di Kabupaten Nduga, sebaiknya negara menarik semua pasukan militer.