Kebudayaan Balim II

Sebuah refleksi

Oleh: Pater Frans Lieshout, OFM

Bekas Kaki Allah

Gereja Kingmi termasuk Gereja-Gereja yang menilai suku asli Papua sebagai karya Iblis dan berhala. Namun seorang tokoh Gereja tersebut, Dr. Benny Giyai, pada tahun 2001 telah menemukan suatu keyakinan kuat dalam masyarakat di Ilaga (Kabupaten Puncak), bahwa Allah sejak dahulu telah menyertai serta turut menggumuli masalah hidup mereka. Ia adalah pencipta semua manusia dan seluruh alam sekitarnya. Maka mereka menolak pandangan para penyiar Injil di masa lalu yang memandang keberadaan masyarakat Papua melalui kaca mata hitam dan “memposisikan orang Papua sebagai penganut agama kafir yang harus ditinggalkan dan dibuang”. Tuhan benar-benar sudah hadir dan bekerja di Pegunungan Tengah Papua sebelum Injil masuk pada tanggal 20 April 1954. Dalam sebuah artikel yang berjudul “Bekas Kaki Allah”, Dr. Benny Giyai menulis antara lain: “Allah tidak hanya duduk di surga sana untuk menantikan penyiar Injil dan Gereja datang mengajar dan berteologi. Walaupun Allah menginginkan agar Injil Kristus dibawa kepada mereka, Ia tidak segan-segan memulai pekerjaan-Nya untuk menebus mereka, dengan hadir di tengah-tengah mereka sebelum penyiar Injil datang ke sana”.

Kebudayaan Suku Hubula 

Dalam tulisan ini, kebudayaan suku yang saya maksudkan adalah seluruh warisan fisik dan spiritual serta pengungkapannya dalam kehidupan sehari-hari (bahasa, seremoni-seremoni adat, tarian, kesenian, dll). Saya tidak mempunyai pretensi sudah sungguh memahami kebudayaan Balim, tetapi apa yang saya tahu, ingin saya lihat secara positif untuk dapat menemukan di dalamnya ‘sinar-sinar kebenaran’ sebagai bukti dari kehadiran Allah di tengah-tengah mereka.

Misteri dan Rahasianya

Waktu kami baru datang di Lembah ini, kami mendapat kesan bahwa masyarakat tidak mengenal Allah dan juga tidak menyembah atau berdoa kepada suatu  dewa lain. Mereka nampak gagah dan berani, sering melakukan perang saudara, tetapi di lain pihak mereka hidup sangat teratur dan berusaha untuk hidup baik. Berdasarkan apakah mereka melakukan itu?

Pada suatu hari seorang rekan misionaris menjelaskan kepada sekelompok orang mengenai Kisah Kejadian dari Kitab Suci. Pada malam harinya seorang kepala suku datang kepada pastor itu dan mengatakan, bahwa apa yang ia telah jelaskan itu merupakan suatu misteri yang tidak boleh dibicarakan dengan suara lantang, harus dirahasiakan, dan tidak bisa diketahui oleh sembarangan orang. Kisah tentang asal-usul manusia dan alam sekitarnya merupakan suatu misteri kehidupan yang sakral dan keramat. Oleh karena itu mereka merahasiakannya agar sungguh dihargai. Dalam hal ini dipakai istilahwalhobak dan elalin yang kurang lebih berarti: ‘tiba-tiba terjadi, tidak diketahui siapa yang membuatnya’. Para leluhur orang Balim sejak dahulu tentu sudah merefleksikan kehidupan mereka, termasuk asal-usul dan tujuan manusia berdasarkan pengalaman, harapan, dan dugaan mereka. Mereka telah mengungkapkan keyakinan mereka mengenai asal-usul manusia dalam suatu Mitos yang dirahasiakan untuk masyarakat biasa.

Kalau menanyakan mitos itu kepada masyarakat biasa, mereka tidak tahu atau hanya sedikit mengetahuinya karena menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral. Baru pada tahun 1989 kaum tua-tua adat di Maima bersedia untuk menceriterakan seluruh Mitos itu kepada saya dalam suasana khusus. Masyarakat biasa tidak boleh hadir, apalagi kaum perempuan. Menurut Mitos itu, manusia muncul dari  bumi, yaitu dari sebuah telaga kecil berwarna biru di Maima. Karena tidak tertulis, maka mitos itu memiliki beberapa versi. Sebagai tempat kejadiannya juga disebutkan beberapa tempat lain yaitu Yalimo dan Seinma. Kalau ditanya apakah atau siapakah yang menyebabkan sehingga manusia muncul keluar dari bumi? Apakah mereka mengenal seorang Pencipta? Maka  mereka tidak mengetahui atau tidak berani mengatakannya. Tetapi seorang bapa tua pernah membisik di telinga saya bahwa nama itu adalah “Apuk”.  Yang menarik adalah, bahwa Dr. Beny Giyai telah menemukan di Ilaga suatu nama yang mirip dengan nama Apuk, yaitu “Bok” atau “Mbok”, yang berarti Pencipta bumi. Rupanya nama itu sangat dirahasiakan dan dianggap sebagai suatu misteri. Maka kita boleh mengatakan bahwa orang Balim menduga atau yakin bahwa ada suatu wujud yang lebih tinggi dari pada manusia, yang telah menciptakan manusia serta alam sekitarnya. Dengan dugaan itu mereka sudah menyentuh pada misteri yang amat sakral dan rahasia, yang mereka hampir tidak  berani sebutkan. Pada waktu orang-orang Balim mulai mengenal Yesus dan Injil-Nya, mereka amat senang mendengar bahwa “Allah” yang selama itu jauh dan tersembunyi itu ternyata dekat dan penuh belas kasihan. Maka nama Ninopase: Allah Bapa kita selalu disebut dalam setiap doa mereka. Tetapi saya juga tetap terkesan oleh kebiasaan dulu, untuk tidak berbicara dengan sembarangan mengenai ‘Allah’ karena Ia amat suci (rahasia). Bangsa Yahudi mempunyai kebiasaan yang sama. Kita, para pastor, pendeta, dan pejabat Pemerintah terlalu gampang dan sering menyebut nama Allah, seakan-akan Ia milik kita. Mungkin kita harus lebih berhati-hati kalau berbicara mengenai Allah sebab Ia Mahakudus dan Mahabesar.

Leluhur dan Kaneke

Kalau Sang Pencipta kurang dikenal dan dianggap sebagai misteri, sebaliknya para leluhur orang Balim dialami sebagai lebih dekat pada manusia dan juga lebih dekat dengan Sang Pencipta. Tokoh Mitos,Naruekul atau Nakmarugi adalah manusia pertama yang muncul keluar dari bumi. Dalam Mitos dikisahkan bahwa oleh karena ia mengetahui lebih banyak daripada orang lain, ia dibunuh oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi setelah beberapa waktu, keluarlah dari kuburnya berbagai kebutuhan manusia seperti ubi, tebu, pisang, dan semua makanan lain. Selain itu tokoh tersebut juga telah memberikan petunjuk-petunjuk untuk hidup baik dan bahagia. Maka orang Balim menyadari bahwa ia adalah seorang manusia yang istimewa yang patut dihormati. Mereka selalu berusaha untuk memelihara relasi baik dengan dia, bahkan leluhur tersebut, dan juga leluhur-leluhur lain, mereka lambangkan dengan benda-benda tertentu yang disebut KanekeKaneke disimpan di suatu tempat (kakok) di dinding belakang honai adat atau Pilamo.

Menurut ceritera dalam Mitos, pada waktu manusia menyebar dari Maima kearah barat, tiap klen membawa sepotong tulang dari Naruekul dan menyimpannya dalam honai adat masing-masing. Tetapi sesungguhnya kaneke terdiri dari satu atau beberapa benda atau batu tertentu. Penjelasan mengenaiKaneke sendiri sebenarnya cukup rumit. Dengan jelas Kaneke harus dilihat sebagai lambang atau simbol dari para leluhur. Para leluhur itu adalah manusia yang sangat dihormati namun tidak disembah sebagai dewa. Kita bisa membandingkan Kaneke dengan suatu gambar atau suatu benda lain milik leluhur, atau makamnya (orangtua, opa atau oma), yang disimpan dan dihormati oleh keluarganya sebagai sesuatu yang keramat bagi mereka. Jikalau Kaneke diperlakukan dengan tidak semestinya, maka hubungan manusia dengan leluhur akan terganggu. Hanya orang-orang tertentu boleh membuka Kaneke dan mengatur atau melakukan upacara penghormatan terhadapnya, misalnya dengan mengolesnya dengan lemak babi. Seperti telah dikatakan di atas, Kaneke ini oleh pihak-pihak tertentu diidentikkan dengan Iblis dan berhala. Di masa yang lalu, mereka telah membakar dan memusnahkan banyak Kaneke dan benda-benda sakral lainnya. Tetapi memusnahkan kaneke berarti memusnahkan pula warisan-warisan berharga dari para leluhur, termasuk semua petunjuk untuk hidup baik. Kemerosotan moral masyarakat sekarang ini disebabkan oleh banyak faktor, tetapi barangkali salah satu faktor di antaranya adalah pemusnahan tersebut dan mungkin harus dikatakan pula bahwa Gereja dan Pendidikan Formal (Persekolahan) telah meremehkan warisan para leluhur serta memisahkan generasi muda dari orangtua mereka. Dengan demikian generasi muda dipotong dari akar-akar budaya mereka sementara mereka belum mempunyai suatu alternatif sebagai petunjuk dan pegangan hidup yang kuat seperti Injil Yesus.

Yang menarik adalah bahwa di kalangan umat katolik, ada orang-orang yang secara spontan membandingkan tokoh Mitos dengan Yesus. Yesus adalah Putera Allah dan Pengantara antara Allah Bapa dan manusia. Ia juga dibunuh oleh masyarakat-Nya sendiri dan menjadi sumber rahmat dan keselamatan. Yesus selalu disebutNinoe (Kakak kita) yang artinya sebenarnya lebih dalam dari pada arti ‘kakak’ biasa. Yesus adalah Pemimpin dan Penunjuk jalan kepada Bapa dan Ia melindungi serta memberikan bekal dalam perjalanan mereka. Berkaitan dengan nama-nama untuk Yesus; pada tahun 1980 dan 1990-an di mana-mana umat Balim membangun kapela-kapela dan mereka merasa bangga kalau bisa mencari sendiri suatu nama untuk kapela mereka. Mereka melakukan itu dalam suatu pertemuan komunitas mereka yang sekaligus menjadi suatu katekese umat (semacam Hari-hari Persaudaraan). Maka banyak kapela diberikan nama asli Balim yang merupakan ungkapan iman mereka kepada Yesus dan caranya untuk memberikan suatu tempat istimewa kepada-Nya dalam kehidupan suku mereka. Sejumlah kring seperti di Kama dan Sunili, memilih nama Yesus Ninoe yang artinya sudah dijelaskan di atas. Ada juga Yesus Natiparilukun yang berarti Yesus adalah kalung di leher kami atau Yesus Penyelamat (Waga-Waga, Kulagaima atas); Yesus Ninapelamo  yang berarti Yesus adalah pusat dan sumber bagi kami (Milima, Muliama); Yesus Ninakanekeyang berarti Yesus adalah Kaneke kita (Isonik); Yesus Ninom Welago yang berarti Yesus bersama kita (Honelama, Helepelagem); Yesus Nit Mente yang berarti Yesus adalah kita punya (Yorna) dan lain sebagainya.

Persembahan Yerebo

Saya akan coba menjelaskan pengertian Yerebo  secara sederhana sebagai berikut: pada berbagai kesempatan orang Balim memberikan suatu persembahan (Yerebo) kepada para leluhur mereka, yang dilambangkan dengan Kaneke dalam honai adat. Kebanyakan Yerebo terdiri dari bagian-bagian tertentu dari babi-babi yang disembelih dan dimasak, dan yang hanya boleh dimakan oleh orang-orang tertentu.Yerebo sebagai persembahan kepada para leluhur ini dinilai oleh pihak-pihak yang kurang mengerti adat, sebagai persembahan kepada manusia atau penyembahan berhala. Padahal sebenarnya Yerebo adalah suatu pemberian khusus untuk memelihara relasi dengan leluhur mereka. Artinya kurang-lebih sama seperti kita memberikan suatu hadiah atau kado kepada seseorang yang berhari ulang tahun atau pada suatu kesempatan istimewa lain. Dengan Yerebo mereka menyatakan juga  persatuan dengan sesama warga klen mereka itu.

Pada waktu beberapa orang katolik yang sudah dibaptis meninggal dunia, umat membicarakan dan merefleksikan hal itu, khususnya sehubungan dengan Yerebo. Mereka menyadari bahwa orang-orang katolik sekarang mempunyai suatu relasi dengan Yesus Kristus yang adalah Penyelamat. Maka untuk menyatakan relasi dengan Yesus, mereka sekarang sering membawa Yerebo kepada orang-orang khusus, yaitu mereka yang dianggap sebagai yang mewakili Yesus, yaitu Pastor Paroki, wenewolok dan lain sebagainya. Inilah suatu contoh inkulturasi yang datang secara spontan dari umat sendiri.

bersambung….

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *