Oleh Bernard Koten
Bulan itu adalah April, tanggal 25 April 2019, sebulan setelah Bencana alam Banjir Bandang melanda wilayah Doyo dan Kota Sentani, di Kabupaten Jayapura. Amukan air dari Gunung Dofonsoro/Dobonsolo atau yang sering dikenal dengan nama Gunung Cyklop, menewaskan lebih 100-an manusia yang berdiam di Sentani dan Doyo. Pasca bencana ini, jalanan masih berdebu, terlihat posko bencana, bantuan dari berbagai pihak disalurkan ke korban yang mengungsi di titik-titik tertentu yang sudah disiapkan.
Selain melihat dan mendengarkan ratapan para korban bencana alam, Banjir Bandang, pada 24 – 27 April 2019, di salah satu Aula yang terletak di atas bukit Kota Sentani, saya juga mendengarkan cerita atau narasi yang oleh para korban pelanggaran HAM dari beberapa daerah di Tanah Papua. Saya secara langsung mendengarkan kisah pahit yang mereka alami itu, karena saya dilibatkan dalam tim dokumentasi dari kegiatan tersebut.
Lewat beberapa bulan (3 bulan), karena beberapa kesibukan kantor, pada bulan Agustus 2019, saya akhirnya menyempatkan diri lagi untuk menyusun narasi pahit itu dalam sebuah video dokumentasi. Saya mengerjakan video itu karena saya ditugaskan dan dipercayakan oleh panitia. Di saat inilah saya mendengarkan secara baik kisah-kisah pahit yang Bapa, Mama, Kaka, Ade dan Masyarakat Asli Papua dorang (mereka) alami saat itu. Tulisan ini adalah salah satu cara saya untuk mengingatkan kepada semua orang, para pemangku kebijakan dan lebih lagi Negara Indonesia yang terkesan membiarkan jeritan hati, suara perjuangan akan keadilan, kedamaian dan kebebasan di dorang pu (punya) Tanah Papua ini. Walaupun pahit dan tidak etis menyebutkan dorang korban, tetapi begitulah yang terjadi di saat dorang alami. Saya mengikuti apa yang disampaikan salah Pegiat HAM Saudari Yuliana Langowuyo yang saat itu menyampaikan, “Saya tidak sopan memanggil dan menyebutkan Bapa, Mama, Kaka dan Ade dorang adalah korban, karena kalian semua sebenarnya sama dengan kami”.
Kita mulai cerita dari ide awal menggagas dan membentuk forum atau organisasi para korban pelanggaran HAM di Tanah Papua. Salah satu penggagas dan juga adalah korban Byak Berdarah, Mama Tineke Rumkabu becerita panjang lebar perjuangan mereka untuk bersuara sampai pada tahap menyatukan diri dalam sebuah forum. Siapa saja yang pernah mendengarkan, membaca atau menonton kisah pelanggaran HAM di Tanah Papua, Kasus Byak Berdarah pada tahun 1998, merupakan salah kasus Pelanggaran HAM berat yang sampai saat ini tak ada keadilan bagi korban dan keluarganya. Dari peristiwa ini, Mama Tineke terus bersuara bersama korban lainnya agar para pelakunya dihukum, diadili dan Negara Indonesia harus bertanggung jawab. Jawabannya jelas bagi siapa saja yang tahu tentang rekam jejak kasus Byak berdarah bahwa sampai saat ini kasus pahit tersebut yang memperlakukan manusia Papua secara tidak manusiawi itu, dibiarkan saja. Negara Indonesia merasa bahwa hal itu biasa saja. Salah satu Mama yang juga dari Byak bercerita bahwa “Tahun 2016, Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak sempat datang ke Byak. Masyarakat di Byak, khususnya di Byak Barat, mama-mama mereka yang menjadi korban pemerkosaan, korban DOM. Sebagian besar didata tetapi sebagian besar tutup diri. Kenapa mereka tutup diri karena suami mereka di hutan, mereka ada di pantai, mereka diperkosa dan diperlakukan tidak sewajarnya.
Forum persatuan para Korban Pelanggaran HAM di Tanah Papua yang saat itu disatukan dalam Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) terus mengorganisir diri dan berjuang. Perjuangan yang dorang lakukan dibantu oleh para simpatisan dan para pegiat HAM atau kemanusiaan, baik itu di tingkat Papua, Jakarta maupun internasional. Keterlibatan dari lembaga atau para pegiat HAM/kemanusiaan dan lembaga Gereja, menjadi tanggung jawab moril dalah penderitaan dan kepahitan yang dialami oleh Bapa, Mama, Kaka, Ade atau Masyarakat Asli Papua dorang. Sekretaris Panitia, Baguma Yarinap, ketika saya merekamnya, bahwa bantuan dari para lembaga dengan hadir dan mengadvokasi bersama setiap kasus HAM di Tanah Papua, sangat membantu, walaupun sampai saat ini Negara Indonesia tetap menutup telingannya dan menganggapnya itu hal yang biasa saja.
Cerita yang sama, diceritakan oleh Mama dari Timika, Mama Ema. Dia adalah satu korban penyiksaan dan pemukulan, ketika bersama dengan masyarakat adat berjuang melawan investasi besar di dunia PT Freeport terhadap tanah mereka. Akibat penyiksaan tersebut, dia tidak bisa duduk terlalu lama. Dia masih mengingatnya secara baik peristiwa pahit itu, dia menuturkan begini, “saya tidak terlalu tahu bahasa Indonesia, saya tahu sedikit-dikit tetapi saya bisa cerita apa yang saya ingat waktu itu. Tahun 1985, 1986, pdi Timika tidak ada orang, orang pendatang juga sedikit, masyarakat juga belum terlalu banyak. Baru kita tinggal begini, tentara dorang tedang, sepak, pukul dengan senjata, segala macam yang dorang (tentara) lakukan. Yosepa berdiri, Theresia berdiri, Elisabet berdiri, saya berdiri, kita empat ibu ini berdiri maju ke depan. Bapak-Bapak (TNI), itu anak-anak saya, saya yang melahirkan, kenapa Bapa-Bapa (TNI) pukul anak begini. Tidak boleh diancam, tidak boleh dibunuh. Sebaiknya kamu (TNI) bunuh kita mama-mama saja. Ko, pelanggaran besar. Kita berdiri di depan marah-marah dan tegur tentara dorang.”
Cerita lain adalah kasus Paniai, 8 Desember 2014. Keluarga korban yang pada saat itu hadir, Saudara Jones Douw memberikan kesan yang sama. Saudara Jones mewakili orang tua yang anak-anaknya ditembak pada saat itu menyampaikan bahwa, “Perisitwa Penembakan Paniai, 8 Desember 2014, itu adalah peristiwa baru. Anak-anak sekolah ditembak tanpa alasan jelas, tetapi pelaku penembakan dibiarkan sampai saat ini. Padahal Presiden Joko Widodo sempat berjanji di Lapangan Mandala pada 27 Desember 2014, untuk mengusut tuntas para pelakunya dan memberikan hukumannya. Tetapi itu semua tipu. Padahal sudah banyak barang bukti dan berbagai tim datang ke Enarotali, Paniai untuk mengecek kasus ini, bahkan Komnas HAM RI mengeluarkan pernyataan bahwa penembakan di Paniai itu adalah Kasus Pelanggaran HAM berat. Mana janji dan buktinya dari Negara Indonesia. Kami tidak percaya lagi”. Tentu saja ungkapan ini adalah ungkapan dari hati yang mendalam. Dari rekaman kamera terlihat jelas Saudara Jones berkaca-kaca menceritakan kasus itu.
Narasi lainnya adalah peristiwa perampasan tanah, lahan dari berbagai investor di Tanah Papua. Berbagai Perusahaan Sawit dan Tambang, terus merampas dan merusak hutan dan tanah milik masyarakat adat Papua. Bapa dorang dari Merauke menceritakan dengan sangat baik bagaimana perampasan lahan di sana (Merauke). Bapa Egidius bercerita tentang kampung dan lahannya di Suku Auyu, Boven Digoel, “Saya menceritakan secara garis besar apa yang kami alami di Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digoel, terkait masalah keadilan perusahaan-perusahaan bonafit yang ada di sana. Katanya kita ini Negara demokrasi dan ada undang-undang yang mengatur di sana. Tetapi kehadiran perusahaan ini tidak melalui mekanisme yang baik. Di sana itu tumpah tindih persoalan masalah tumpah tindih perizinan. Persoalan ini sampai saat ini. Kami mohon para lembaga yang hadir saat ini membantu kami untuk melihat kasus-kasus ini.”
Begitulah beberapa kisah mereka yang saya bagikan, ketika secara langsung merekam, mendengarkan apa yang Bapa, Mama, Kaka, Ade dan Masyarakat Adat Papua ceritakan yang dorang alami. Masih terlalu banyak kisah pahit yang Bapa, Mama, Kaka, Ade dan Mayarakat Adat Papua alami. Semuanya itu sampai saat ini dibiarkan. Cerita pembiaran ini juga dikisahkan oleh Bapak Zurkhi Ibrahim, salah satu korban penyiksaan dari Aceh, Bapak Ibrahim bercerita, “Ketika saya dan kami korban yang lainnya menuntut keadilan, kami diperhadapan dengan TNI. Kami digiring oleh TNI. Banyak janji muluk yang disampaikan kepada kami untuk menuntaskan segala pelanggaran HAM yang kami alami saat itu. Tetapi semuanya itu nol belaka.”
Keadilan dan kebenaran memang sangat susah. Tak perlu kita bicara tentang segala usaha pembangunan infrastruktur tetapi manusia Papua masih terus diperlakukan secara tidak adil, bahkan demi pembangunan itu, masyarakat Asli Papua harus kehilangan nyawanya, kehilangan lahannya, kehilangan sanak saudaranya.
Tanah Tabi, Jayapura, Agustus 2019