Pertengahan Agustus 2019
Cerita atau narasi ini adalah apa yang saya lihat, alami dan terlibat sendiri dalam aksi solidaritas pada Senin, 19 Agustus 2019 di Kota Jayapura. Aksi ini adalah untuk menolak tindakan rasis yang dialami oleh mahasiswa Papua di Kota Malang, Surabaya, Jawa Timur, pada 15-18 Agustus 2019.
Pada Kamis, 15 Agustus 2019, pemuda, pelajar, masyarakat Papua dan mereka yang peduli akan kemanusiaan Papua menggelar aksi damai menggugat dan menolak Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 di Amerika. Bagi siapa saja yang belajar tentang sejarah kelam Papua, narasi Perjanjian ini menjadi bagian penting dalam perjalanan Manusia dan Alam Papua. Peristiwa ini adalah salah satu peristiwa kelam dan diyakini sebagai salah satu sejarah kerusakan dan kehancuran alam dan manusia Papua, atau para pegiat HAM menilai salah satu Perjanjian yang membuka kran pelanggaran HAM di Tanah Papua sampai saat ini.
Ketika berada di Tanah Papua, saya sendiri selalu mendengarkan dan mengikuti setiap tahun tanggal 15 Agustus, Mahasiswa, Pemuda dan Masyarakat Papua pasti menggelar aksi untuk menolak serta meminta pihak-pihak yang terlibat dalam Perjanjian New York tersebut bertanggung jawab dan menuntaskan segala pelanggaran HAM yang terus terjadi di Tanah Papua. Terlebih pada kerusakan alam karena tambang PT Freeport, intimidasi serta penghilangan nyawa manusia Papua.
Pada tahun 2019, aksi untuk menolak dan meminta pihak yang terlibat dalam Perjanjian New York untuk bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM di Tanah Papua, kembali digelar dan dilaksanakan. Aksi ini digelar di beberapa daerah. Di Tanah Papua, para mahasiswa, pemuda Papua di Kota Jayapura yang peduli akan sejarah suku bangsanya menggelar aksi. Aksi ini dibubarkan oleh pihak kepolisian. Bukan saja dibubarkan tetapi yang terlibat dalam aksi ini ditangkap dan digiring ke Polresta Jayapura. Berdasarkan laporan pendampingan yang dikeluarkan oleh LBH Papua, PAHAM Papua serta solidaritas yang tergabung dalam aksi tersebut, sekitar 65 orang masa aksi yang ditangkap dan dimintai keterangannya oleh pihak kepolisian. Para masa aksi baru dipulangkan setelah ada pendampingan dari LBH dan PAHAM Papua. Di dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh LBH dan Paham Papua, terlihat jelas bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum itu harus dihargai. Penangkapan dan pembubaran yang dilakukan oleh pihak kepolisian adalah melanggar UU No.9 tahun 1998. Tindakan penangkapan dan pembubaran adalah tindakan yang membungkam ruang demokrasi di Negara Indonesia yang menganut paham demokrasi ini.
Di tempat lainnya, di luar Papua, mahasiswa dan pemuda Papua yang mengerti tentang sejarah suku bangsanya, yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar aksi, di Kota Malang dan Ternate. Aksi ini bukan saja oleh AMP tetapi juga ada kelompok solidaritas lainnya dari luar Papua yakni Front Rakyat Indonesia untuk West Papua atau yang biasa disingkat dengan FRI West Papua. Di dua tempat ini juga terjadi penangkapan, intimidasi bahkan lebih parah yang dialami oleh mahasiswa dan pemuda di Kota Jayapura. Mahasiswa di Kota Malang bukan saja berhadapan dengan pihak militer (TNI Polri) tetapi harus berhadapan dengan Ormas di Kota Malang. Dari beberapa video dan foto yang dikirim oleh AMP yang tersebar di Media Sosial (Face Book dan Whatsapp), saya sendiri menyaksikan bagaimana masa aksi damai diperlakukan. Bagian wajah dari beberapa masa AMP di Kota Malang mengalami bengkak dan berdarah. Walaupun demikian mereka tetap berjuang, berdebat dengan pihak kepolisian dan terus bersuara akan pelurusan sejarah suku bangsanya. Mereka akhirnya ditangkap dan digiring ke Polrestabes Surabaya. Sejak tanggal 15 – 18 Agustus 2019, mahasiswa Papua yang berada di Kota Malang, Surabaya, harus hidup dalam suasana tekanan. Mahasiswa Papua yang berada Asrama Papua, di Jln. Kalasan Malang, Surabaya, ‘digerebek’ seperti teroris. Bukan saja pihak militer tetapi Ormas di Kota Malang juga hadir dan mendukung aksi dari Negara tersebut. Peristiwa penangkapan ini juga dialami oleh masa aksi di Kota Ternate, Maluku. Periistiwa ini dilakukan bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI, Negara yang menjujung tinggi asa Demokrasi. Peristiwa yang sama juga dialami oleh mahasiswa Papua yang berada di Asrama Papua Tegal, Wareng, Semarang, 18 Agustus 2019.
Di beberapa media online seperti jubi.co.id, tirto.id, kompas.com, suarapapua.com, cnnindonesia.com memuat berita peristiwa tersebut. Walaupun demikian, saya secara pribadi melihat dan membaca ada beberapa media yang menampilkan berita yang memojokan mahasiswa Papua. Saya sendiri tidak tahu apa kepentingan yang membocengi beberapa media tersebut. Dari beberapa video dan foto serta laporan, saya menilai bahwa mahsiswa Papua yang melakukan aksi pada 15 Agustus 2019 adalah aksi damai demi pelurusan sejarah kelam suku bangsanya. Di Malang, Surabaya, mahasiswa Papua selalu diperhadapkan dengan Ormas yang ada. Pertanyaan yang sering saya melintas dalam benak, mengapa selalu demikian? Apakah pihak kepolisian yang adalah penegak hukum sengaja membiarkannya? Padahal menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak setiap manusia dan hak ini diatur secara resmi oleh hukum internasional dan di Negara Indonesia.
Narasi lainnya adalah nyanyian dari Ormas yang hadir di Asrama Papua, Malang tersebut. Video yang tersebar di media sosial, mengungkapan bahwa mahasiswa Papua dan masyarakat Papua secara umum tidak dihargai. Video yang diberi judul “Nyanyian Merdu”, yang beredar di media sosial, menggambarkan bahwa manusia Papua tidak dihargai. Bukannya membangkitkan lagi rasa kemarahan tetapi hanya mengulangi saja apa yang terdengar dalam rekaman video tersebut,
“Usir-usir Papua sekarang juga” dan juga menyebut Papua adalah ‘Monyet’. Dari pertanyaan di atas terkait “sengaja dibiarkan” mungkin benar karena dari rekaman video tersebut, pihak kepolisian bersama dengan Ormas atau masyarakat dalam satu kelompok. Namun, pihak kepolisian tidak mengambil tindakan untuk menghentikan “Nyanyian Merdu” tersebut.
‘Kemarahan’ Orang Papua
Pasca peristiwa pembungkaman ruang demokrasi, pengepungan dan beredarnya “Nyanyian Merdu” tersebut, banyak pihak dari Tanah Papua mengecam tindakan tersebut. Baik itu para pejabat publik Papua, pegiat HAM, kelompok mahasiswa dan lain sebagainya. Hari Senin, 19 Agustus 2019, sepengetahuan saya, di Kota Jayapura dan Manokwari ada aksi dari masyarakat asli Papua dan mereka yang mencintai Papua, melakukan aksi bersama. Aksi solidaritas itu juga terlihat jelas dari akun Medsos yang ada pada saya (FB dan Whatsapp). Baik orang pendatang dan asli mengutuk apa yang dilakukan oleh Ormas atau entah siapa, yang mengeluarkan kata-kata rasis dan usiran terhadap mahasiswa Papua.
Saya sendiri terlibat dalam aksi bersama di Kota Jayapura. Aksi ini dimotori oleh mahasiswa yang tersebar di Kota Jayapura. Masa aksi bersepakat melumpuhkan Kota Jayapura. Masa aksi yang terlibat dalam aksi solidaritas dari berbagai usia, dari anak sampai orang tua. Benar bahwa aktivitas sepanjang jalan utama dari Ekspo Waena ke Kota Jayapura, tepatnya di Kantor Gubernur Provinsi Papua menjadi lumpuh. Aksi ini memang dikawal oleh pihak militer (TNI Polri). Terdengar jelas suara nyanyian merdu dari masyarakat Papua “Papua Bukan Merah Putih, Papua Bintang Kejora, Baru Ko Bilang Merah Putih”. Selain itu teriakan yang selalu diperjuangkan, “Papua….Merdeka….Papua…Merdeka…” Saya menilai bahwa suara ini adalah suara dari ketulusan hati yang mereka dendangkan dan perjuangkan.
Sebelum mengikuti aksi damai di Kota Jayapura, saya menerima kiriman video tentang aksi yang sama di Kota Manokwari, Papua Barat. Di Manokwari, masyarakat membakar ban di jalan utama Kota Manokwari. Ketika menontonnya, terlintas pernyataan, “wajar memang masyarakat Papua marah. Tindakan ini adalah tindakan untuk memberitahukan kepada yang lainnya, bahwa harga diri itu sangat penting dan harus kalian hargai”. Pikiran ini terdengar jelas ketika saya bersama dalam masa aksi. Terungkap jelas dari mulut para masa aksi “kami punya harga diri dan jati diri yang sama dengan kalian. Kenapa kalian bisa menghina kami Papua seperti itu. Kami hanya pergi menuntut ilmu, tetapi kalian ke tanah kami untuk mencari makan dan hidup. Kalian bisa maju, menjadi sukses, menjadi kaya itu di tanah kami, bukan di tanah kalian. Kami orang Papua memberi kalian tanah, hidup baik dengan kalian di Tanah Kami. Walaupun kadang kami diteror, diintimidai, lahan kami dirampas bahkan kami dibunuh di atas tanah kami sendiri. Biarlah kami menentukan nasib sendiri. Biarlah kami merdeka agar tidak ada konflik di antara kita lagi”.
Aksi ini diikuti juga oleh Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, beberapa pegawai pemerintahan. Ketika sampai di Kantor Gubernur Provinsi Papua, banyak dari pegawai pemerintahan terlibat dalam mendengarkan segala orasi yang disampaikan oleh masa. Gubernur dan petinggi pemerintahan provinsi lainnya juga hadir dan mendegarkan segala rintihan hati yang disampaikan oleh masa aksi. Bukan saja orang asli Papua tetapi dari luar Papua juga mengutuk tindakan rasis yang dilakukan oleh orang-orang di Kota Malang. Lembaga Bantuan Hukum Surabaya mengeluarkan pernyataan dan mengecam tindakan penyerangan dan represif terhadap Mahasiswa Papua Surabaya.
Setelah mengikuti aksi damai tersebut, saya menyempatkan diri untuk melihat dan menonton berita yang ditayangkan terkait aksi di Tanah Papua. Apresiasi buat Gubernur Jawa Timur yang meminta maaf atas perlakukan masyarakat Surabaya. Tetapi dari pernyataan Gubernur Jawa Timur itu dapat ditelaah. Gubernur menyebutkan bahwa tindakan rasis itu dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Pertanyaannya, bagaimana mungkin oknum-oknum tertentu, padahal orang yang terlihat dalam video itu jumlahnya banyak dan pihak kepolisian juga bersama dalam kumpulan orang-orang tersebut. Walaupun demikian, dari pemberitaan yang ada di televisi, hampir semuanya menyoroti dugaan pelecehan Bendera Merah Putih oleh mahasiswa Papua. Yang pada akhirnya tetap menyudutkan mahasiswa Papua dan Masyarakat Asli Papua pada umumnya. Di akhir dari cerita ini, mengutip apa yang disampaikan oleh beberapa masa aksi, “sebaiknya kami merdeka. Papua memang beda dengan wilayah Indonesia lainnya. Kalian memaksa kami untuk menjadi Indonesia tetapi sebenarnya kami tidak sama dengan kalian. Kalian telah usir kami, kalian bilang kami monyet. Apakah kalian pernah lihat manusia itu hidup baik dengan moyet. Jadi itu dengan sendirinya kalian tra mengakui kami bergabung bersama kalian”
Tanah Tabi, Jayapura, Agustus 2019
Bernard Koten