Orang Papua Monyet?

(Menyelesaikan Akar Persoalan Papua)

Oleh Pater Alexandro Rangga, OFM

Terlepas dari adanya indikasi bermain di air keruh oleh pihak-pihak tertentu baik untuk menganyang kesatuan Negara Republik Indonesia maupun untuk Papua Merdeka, ujaran diskriminatif dan stigmatif terhadap orang Papua bukan baru terjadi seminggu terakhir ini. Dalam seluruh aspek kehidupan manusia Papua mereka diperlakukan diskriminatif, dalam bidang sipil, politik, ekonomi, social budaya, hingga sepakbola. Jika bertanding di luar Papua, mereka selalu diteriaki monyet, kera bahkan dilempari buah pisang.

Reaksi kemarahan orang Papua di beberapa Kabupaten (Manokwari, Timika, Jayapura, Fakfak, Sorong, Byak, Kepulauan Yapen ) di Papua hari-hari ini hanyalah akumulasi sekaligus buah dari perjuangan selama bertahun-tahun. Hal ini didukung oleh makin terbukanya akses teknologi dan komunikasi. Advokasi bisa dilakukan dengan cepat lewat grup media sosial maupun WhatsApp.

Tanpa terjebak pada persoalan diskriminatif-stigmatif dan anarkis, saya pikir sudah saatnya pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Jokowi mengambil sikap. Jika Komunikasi Konstruktif ala Presiden SBY tanpa arah, Dialog Jakarta-Papua dicueki, Pemetaraan Pembangunan ala Jokowi dianggap angin lalu, saya pikir sudah saatnya Jokowi perlu membuka telinga dan hati untuk orang Papua dan tidak lagi menyederhanakan persoalan Papua semata-mata persoalan Ekonomi dan pemerataan pembangunan.

Sebagian besar pemerhati Papua sepakat bahwa persoalan mendasar antara Indonesia dan Papua persoalan politik, dalam hal ini ialah PEPERA. Sayangnya, menjadikan agenda PEPERA sebagai agenda atau tema dialog Jakarta-Papua adalah hal yang mustahil karena PEPERA dinilai sarat isu separatis oleh pemerintah Indonesia.[1]

PEPERA merupakan singkatan dari Penentuan Pendapat Rakyat. Pepera terjadi di Papua pada tahun 1969. Tujuannya ialah penentuan status Papua Barat oleh orang Papua: Merdeka atau bergabung dengan Indonesia. Setelah melalui tahapan-tahapan, orang Papua memilih bergabung dengan Indonesia. Bertahun-tahun kemudian, hasil PEPERA 1969 ini digugat oleh Orang Papua hingga hari ini.[2] Hasil ini digugat karena PEPERA sebagaimana diamanatkan oleh New York Agreement 1962 dinilai cacat dalam pelaksanaannya. Cacat karena tidak melibatkan seluruh rakyat Papua dewasa, baik laki-laki maupun perempuan dalam proses pemilihan. Hanya sekitar 1.022 (atau 1025 menurut sumber lain) orang Papua yang terlibat dari populasi 800.000 jiwa saat itu. Itupun dalam prosesnya, orang Papua diteror dan diintimidasi. [3]

Akan tetapi, menurut salah satu Tokoh pejuang PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969, Ramses Ohee, keberadaan Papua sebagai bagian dari NKRI adalah final. “Ada sekitar seribu lebih tokoh adat Papua dari pantai, lembah, dan gunung turut dalam PEPERA 69 itu, termasuk saya. Kemudian hasil PEPERA itu dibawa ke PBB selanjutnya disahkan. Ini artinya final, kita sudah merdeka,” katanya.[4] Pernyataan Ohee ini setidaknya didukung oleh salah satu pemerhati Papua, Ridwan Al-Makkassary. Menurutnya, terlepas dari cacat hukum dan klaim adanya intimidasi, PEPERA telah disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi 2504. Lebih lanjut Ridwan menyebut, ketidaksetujuan atas hasil PEPERA 1969 hanyalah bentuk pragmatisme politik orang Papua, yang “akan loyal jika ada kekuasaan, dan akan memberontak jika kehilangan kekuasaan.” [5]

Pertama, Ridwan sepertinya belum membaca 11 dokumen rahasia yang dirilis 9 Juli 2004. [6] Atau setidak-tidaknya membaca catatan kritis yang dibuat oleh peneliti yang lain semisal Cipry Paju Dale.[7] Atau jika sejenak mau berdiri pada pihak orang Papua, tanpa memandangnya nasionalis Papua atau nasionalis NKRI, dengar cerita-cerita lisan dari para saksi sejarah semisal Filep Karma atau Jusuf Wanandi, asisten Letnan Jenderal Ali Moertopo.[8] Kedua, siapakah orang Papua yang termasuk dalam frasa ‘pragmatisme politik’? Apakah termasuk Ramses Ohee? Saya kira tidak. Ini lebih pada soal filosofi hidup, menikmati apa yang sudah seharusnya menjadi hak mereka. Ketiga, seperti kebanyakan orang, terlalu menyederhanakan persoalan Papua sebagai persoalan ekonomi. Maka pembangunan digenjot di mana-mana. Pertanyaannya, siapa yang menikmati pembangunan tersebut? Yang jelas bukan orang Papua.[9]

Dalam 11 dokumen rahasia termaksud, PEPERA 1969 memang tidak berdasarkan Act of Free Choice tetapi merupakan permainan kepentingan Amerika Serikat (atas Freeport) dan aneksasi lewat kekerasan militer Indonesia terhadap warga Papua. Menurut laporan dalam dokumen tersebut, karena kelalaian, korupsi dan penindasan di tangan pihak berwenang Indonesia, pengamat Barat sepakat hampir dengan suara bulat bahwa “Indonesia tidak dapat memenangkan pemilihan terbuka” dan bahwa sebagian besar penduduk Irian Barat mendukung kemerdekaan.[10] Itu sebabnya Pemerintah Indonesia dengan tegas menolak kemungkinan “one man, one vote” dan bersikeras pada serangkaian ‘konsultasi’ lokal dengan lebih dari 1.000 pemimpin suku terpilih (dari perkiraan populasi 800.000). Namun konsultasi tersebut disertai dengan penyebaran sekitar 6.000-10.000 pasukan militer Indonesia. Operasi militer Indonesia sebelum Pepera, yang mengakibatkan kematian ratusan, mungkin ribuan warga sipil, telah merangsang ketakutan dan desas-desus tentang genosida terhadap orang Irian.[11]

Gugatan terbaru berkaitan dengan Pepera 1969 dilayangkan oleh Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Rakyat Papua. Koalisi telah mendaftarkan permohonan uji materi terhadap konstitusionalitas penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat yang berkaitan dengan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua ke Mahkamah Konstitusi. Kita patut menunggu hasil akhir karena sebagaimana dikatakan oleh Yan Warrinussy, Juru Bicara Koalisi, “hutang politik sejarah integrasi Papua ke dalam bingkai Indonesia lewat Pepera yang bermasalah ini merupakan akar konflik utama di Papua. Langkah hukum ini kami tempuh guna bisa memberi rasa kebenaran dan keadilan bagi rakyat Papua dengan meluruskan sejarah integrasi tersebut yang merupakan persoalan hukum yang menjadi topik penting dalam penyelenggaraan Kongres Papua II tertanggal 29 Mei hingga 4 Juni 2000 di Jayapura, Papua.”[12] Dengan demikian, “selain bagi orang Papua, kami juga berharap langkah ini bisa membuka mata rakyat Indonesia tentang asal muasal dari akar konflik di tanah Papua yang tak kunjung selesai,” ujar Yarangga.[13]

Akhirnya, jika Pemerintah Indonesia mengkalim bahwa Pepera 1969 sah, apa salahnya dibuat Pepera ulang. Jika dahulu memang orang Papua (atau 1.022 perwakilan Papua) ingin bergabung dengan Indonesia, sudah pasti sekarang orang Papua juga akan bergabung lagi dengan Indonesia. Indonesia tidak perlu takut. Toh, politik divide et impera sudah lama dijalankan di Papua. Ada gap antara Papua gunung dan Papua Pantai. Ada celah bagi Papua untuk tetap bersatu dengan Republik Indonesia. Sebaliknya jika tidak, toh kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Sudah banyak Sumber Daya Alam Papua yang dikeruk dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk Indonesia. Mungkin sudah saatnya mereka memilih lagi.

 

[1] Adriana Elisabeth, dkk, Agenda dan potensi damai di Papua, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 2005, hal. 229.

[2] Indonesia’s 1969 Takeover of West Papua Not by “Free Choice”, lihat https://nsarchive2.gwu.edu/NSAEBB/NSAEBB128/

[3]Penentuan Pendapat Rakyat, lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Penentuan_Pendapat_Rakyat.

[4] Edy Siswanto, Tokoh Pejuang Pepera Tegaskan Papua Bagian dari NKRI, lihat https://news.okezone.com/read/2017/11/29/340/1822287/tokoh-pejuang-pepera-tegaskan-papua-bagian-dari-nkri

[5] Ridwan Al-Makkassary, Pro dan kontra Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Papua, lihat https://lintaspapua.com/2019/05/14/pro-dan-kontra-penentuan-pendapat-rakyat-pepera-1969-di-papua/

[6] Indonesia’s 1969 Takeover of West Papua Not by “Free Choice”, Ibid. The Indonesian government firmly rejected the possibility of a one-person, one-vote plebiscite in West Irian, insisting instead on a series of local ‘consultations’ with just over 1,000 hand selected tribal leaders (out of an estimated population of 800,000), conducted in July 1969 with between 6,000-10,000 Indonesian troops spread throughout the territory. While “past abuses had stimulated intense anti-Indonesian and pro-independence sentiment at all levels of Irian society, suggesting that “possibly 85 to 90%” of the population “are in sympathy with the Free Papua cause.” Moreover, recent Indonesian military operations, which resulted in the deaths of hundreds, possibly thousands of civilians, “had stimulated fears and rumours of intended genocide among the Irianese.”

[7] Cypri Paju Dale, Babak baru persoalan Papua di PBB, lihat https://indoprogress.com/2016/10/babak-baru-persoalan-papua-di-pbb/

[8] Petrik Matanasi, Pepera, cara Indonesia siasati potensi keok saat referendum, lihat https://tirto.id/pepera-cara-indonesia-siasati-potensi-keok-saat-referendum-b6eH. Baca juga, Bersama Indonesia atau mati, lihat https://historia.id/politik/articles/bersama-indonesia-atau-mati-vXj7Y, atau Cahyo Pamungkas, Sejarah lisan integrasi Papua ke Indonesia: pengalaman orang Kaimana pada masa Trikora dan Pepera, lihat https://www.researchgate.net/publication/276087433_SEJARAH_LISAN_INTEGRASI_PAPUA_KE_INDONESIA_PENGALAMAN_ORANG_KAIMANA_PADA_MASA_TRIKORA_DAN_PEPERA.

[9] Bandingkan studi kasus pembangunan di Kabupaten Keerom. Lihat Cypri Dale dan John Djonga, Paradoks Papua, YTHP – foker LSM Papua, 2012.

[10] Indonesia’s 1969 Takeover of West Papua Not by “Free Choice”, Ibid. “Because of neglect, corruption and repression at the hands of Indonesian authorities, Western observers agreed almost unanimously that “Indonesia could not win an open election” and that the vast majority of West Irian’s inhabitants favored independence.”

[11] Indonesia’s 1969 Takeover of West Papua Not by “Free Choice”, Ibid.,

[12] Gugat Pepera Papua, UU No. 12 Tahun 1969 Akan Diuji Materi di MK, lihat https://www.teras.id/news/pat-20/149573/gugat-pepera-papua-uu-no

[13] Ibid.,

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *