“Sebelum Berbicara, Sebelum Bawa Injil, Minum dulu dari Kami”
Cuaca pada siang itu tidak terlalu panas. Langit di atas Kapela Yesus Pilamo Angkasa, Jayapura sedikit berawan. Kapela yang juga merupakan hasil inisiatif dan karya dari seorang tokoh disyukuri hari ini. Terlihat ribuan umat berada di halaman Kapela Yesus Pilamo Angkasa, Jayapura, pada Sabtu, 26 Oktober 2019. Kebanyakan dimayoritasi oleh Umat Suku Hubula/Huwula yang berada di Tanah Port Numbay dan Kenambai Umbay. Mereka hadir untuk bersyukur bersama dengan tete (kakek), orang tua dan Pater mereka, Pater Frans Lieshout, OFM. Pater Frans Lieshout, OFM akan pergi ke Kampung Halamannya Montfoort, Belanda. Berdasarkan kabar yang tersiar, Pater Frans akan pulang ke Belanda dan tidak kembali lagi ke Papua, khususnya ke Lembah Balim.
“Tadi ada yang sugesti seakan-akan saya akan kembali lagi. Memang ada kekahwatiran saya sebagai warga Negara Indonesia pergi tinggal di Belanda. Karena saya pergi tanpa izin tinggal di situ. Dengan bahaya bahwa saya akan diusir kembali ke Indonesia. Semoga itu tidak terjadi. Bukan karena apa, tetapi murni karena kesehatan saya menuntut hal itu”, penjelasan yang disampaikan oleh Pater Frans dalam sambutannya terkait kepulangannya ke Belanda.
Penjelasan yang diselingi senyum dan tawa dari umat yang hadir mengisyaratkan bahwa kemungkinan besar Beliau tidak akan kembali lagi ke Papua, Lembah Balim.
Walaupun demikian, umat yang hadir, khususnya Hubula/Huwula tidak merasa bahwa Pater Frans akan meninggalkan mereka. Mereka yakin apa yang telah ditaburkan dan diberikan Pater Frans akan hidup dan diteruskan oleh umat secara keseluruhan, khususnya umat Suku Hubula/Huwula yang tersebar di luar Lembah Balim dan Lembah Balim sendiri.
“Pater Frans sudah berbuat banyak untuk kami, umat di Intan Jaya, Timika dan kami di Hubula/Huwula, Lembah Balim. Secara fisik atau tubuh, Bapa boleh pergi tetapi semangat dan apa yang Bapa telah berikan dan tinggalkan, tetap hidup bersama kami. Kami akan jaga dan rawat itu selalu. Dia telah menjadi Garam dan Terang di Tanah Papua. Dia sebagai Ap Kainsek, Ap Kainsok, Guru, Bapa, Gembala, Tete dan Saudara bagi kita semua. Pater telah menghasilkan ribuan anak yang sebagai penyelamat di Tanah Papua ini,” kata Bapak Markus Haluk dalam sambutannya.
Hal senada juga disampaikan oleh Bapak Wasuok Siep yang mewakili orang tua dari Hubula/Huwula untuk menyampaikan pesannya.
“Bapa tidak pergi meninggalkan kami. Tubuh Bapa tidak ada bersama kami, tetapi segala benih dan kebaikan yang telah Bapa berikan itu akan hidup dan terus merasakan kehadiran Bapa bersama kami,” kata Bapa Wasuok Siep dalam sambutannya.
Ketua Kasuhokta Jayapura Bapak Jimi Siep juga mewakili umat Hubula/Huwula juga menyampaikan hal yang sama.
“Hari ini kita tidak boleh sedih. Kita harus bahagia. Kita tidak usah menangis. Karena Bapa Frans tidak pergi meninggalkan kita. Perayaan ini bukan perpisahan tetapi perasaan syukuran terhadap segala yang kita alami dan rasakan bersama dengan Pater Frans,” ungkap Bapak Jimi Siep dalam sambutannya.
Pater Frans Lieshout, OFM menginjakkan kakinya di Tanah Papua pada tahun 1963. Setahun kemudian, 1964, Pater Frans Lieshout ke Lembah Balim, Jayawijaya. Dengan segala keterbatasan (komunikasi), Pater Frans mau tidak mau pergi ke Lembah Balim, Jayawijaya untuk hidup dan mewartakan Injil bagi Umat di Suku Hubula/Huwula, Lembah Balim.
“Kaka Misionaris saya Pater Frans Fermanen, OFM, waktu dia mulai berkarya di daerah Kurulu (Lembah Balim), ia bertemu dengan kepala suku Kurulu sendiri. Mereka berdua berdiri dalam sebuah kali dan Pater Frans Fermanen mengatakannya untuk bisa tinggal dan berkarya di daerah itu. Waktu itu kepala suku Kurulu itu membungkun dan menimba air dan memberikan kepada Pater Fermanen untuk meminumnya. Sepertinya ia (kepala suku Kurulu) mau mengatakan bahwa sebelum mulai omong, sebelum mulai membawa Injil atau apapun, minum dulu dari kami. Hal ini juga yang dimaksudkan oleh Uskup Staverman, OFM waktu dia mengutus saya ke Lembah Balim. Bapak Uskup pesan ke saya, terjunlah ke masyarakat, belajarlah dari mereka dan dengar mereka. Manusia Balim,” cerita Pater Frans Lieshout, OFM ketika awal mula bermisi di Lembah Balim.
Lanjut Pater Frans Lieshout dalam kesannya.
“Manusia Pegunungan, begitu kaya dengan kebudayaan, yang punya karakter, punya banyak kelebihan untuk hidup bersama. Sekarang sudah mulai hilang. Orang tidak hidup bersama lagi. Mereka punya suatu pegangan. Honai wene. Baru-baru saya pergi kunjungi Wamena. Semuanya hancur di Wamena. Apa yang terjadi, tidak bisa dipahami. Apakah itu orang gunung yang buat ka? Atau ada setan yang bekerja di sana? Pembunuhan, sadisme, itu semua terjadi. Apakah Injil dan Honay Wene sudah hilang ka?”, cerita Pater Frans yang kelihatan meneteskan air matanya.
Situasi saat ini di Tanah Papua, khususnya di Lembah Balim mendorong Pater Frans walaupun dalam proses check up kesehatannya, Pater Frans menyempatkan diri berkunjung ke Lembah Balim. Dalam kesannya Kota Wamena saat ini hancur pasca kejadian tanggal 23 September 2019.
“Dua minggu lalu saya kunjungi Wamena hanya tiga hari. Kota Wamena hancur. Apa yang terjadi, susah dipahami. Apakah itu dilakukan orang Gunung ka? Atau ada setan yang bekerja? Pembunuhan, sadisme, itu semuanya terjadi. Apakah Injil dan Honai Wene sudah hilang ka?”, cerita Pater Frans dalam sambutannya.
Dalam cerita Pater Frans, kurang lebih 26 tahun di Lembah Balim – karena pater juga berpindah tugas di Intan Jaya, Timika, Byak dan Jayapura – Pater Frans sangat dekat dengan umat di Lembah Balim. Dia mempelajari dan mendengarkan apa yang ada dan apa yang dirasakan umat di Lembah Balim. Hal itu terlihat dengan jelas bagaimana Pater Frans fasih menggunakan bahasa Hubula/Huwula, menulis catatan refleksi tentang kekayaan kebudayaan Lembah Balim, menginkulturasikan budaya Hubula/Huwula ke dalam Gereja Katolik dan menulis Kamus Bahasa Balim. Pater Frans juga dikenal sebagai tokoh pemersatu dengan merelakan diri hadir dan bersedia mendamaikan pihak-pihak yang bermusuhan, khususnya dalam perayaan 50 tahun Gereja Katolik masuk di Lembah Balim. Pater dan beberapa orang tua Lembah Balim lainnya bersedia hadir dan terlibat aktif dalam proses rekonsiliasi dengan keluarga dari Alm. Agustinus Kabes (guru yang dibunuh pada tahun 1962). Peristiwa ini diyakini sebagai awal mula bertumbuhnya benih-benih panggilan anak-anak muda Suku Hubula/Huwula menjadi imam, biarawan/biarawati. Pasca rekonsiliasi ini, benih panggilan menjadi imam tertahbis dan biarawan/biarawati tumbuh subur di Lembah Balim. Sudah sekitar 20-an anak muda Lembah Balim yang menjadi imam, biarawan/biarawati dan dalam prose pembinaan saat ini.
“Proses rekonsiliasi yang dilakukan oleh Bapa telah memecahkan misteri yang selama ini menjadi pergumulan kami di Suku Hubula/Huwula, Lembah Balim. Proses rekonsiliasi tersebut memberikan harapan baru bagi kami, khususnya anak muda yang bersedia menjadi seoarang Pater, bruder dan suster,” jelas Bapak Markus Haluk.
Presiden Persekutuan Gereja Baptis Papua Pendeta Socrates Sofyan Yoman yang hadir pada kesempatan itu juga memberikan kesannya tentang Pater Frans.
“Saya juga mendapat berkat dari Pater Frans. Bukan saja umat katolik saja tetapi saya juga mendapatkan berkat dan inspirasi sebagai anak gunung dan lembah. Saya mendapat inspirasi dari komentar dan buku-buku yang ditulis oleh Pater Frans. Bapa Frans merupakan suatu anugerah dari Tuhan kepada kami umat di Papua, khususnya kami di Pegunungan dan Lembah Balim. Bapa telah mendapatkan kemenangan besar. Malaikat di Surga bersukacita karena Bapak sudah menjadi wajah Tuhan yang nyata di sini, kepanjangan tangan Tuhan, lidahnya Tuhan dan matanya Tuhan di sini, di Papua dan di Lembah Balim. Saya sampaikan terima kasih banyak. Bapa datang ke Papua dengan kemenangan besar dan pulang juga dengan kemenangan besar. Bapa sudah membawa banyak jiwa kepada Kristus, termasuk saya yang dari Gereja Baptis. Karena kita percaya pada Kristus yang sama” ungkap Pendeta Socrates Sofyan Yoman dalam sambutannya.
Acara syukuran ini diawali dengan Perayaan Ekaristi bersama. Pater Roby, Pr bersama ke-7 imam yang lainnya sebagai selebran dalam Perayaan Ekaristi tersebut. Enam imam selebaran tersebut merupakan benih yang tumbuh pasca peristiwa rekonsiliasi yang dilakukan oleh Pater Frans Lieshout, OFM pada tahun 2008 silam. Perayaan ini dimotori oleh semua umat Hubula/Huwula. Perayaan syukur ini diselingi juga dengan fragmen singkat tentang perjalanan awal Gereja Katolik masuk di Lembah Balim. Fragmen ini diperankan oleh Ikatan Pemuda, Pelajar, Mahasiswa Katolik Dekenat Jayawijaya di Jayapura. Selain itu ungkapan syukur dan perpisahan, orang tua dan anak-anak Suku Hubula/Huwula diungkapkan dalam ratapan. Moment dimana semuanya terlarut dan Pater Frans Lieshout juga harus meneteskan air matanya. Diujung ratapan tersebut, semuanya menyanyikan lagu “Injil Masuk di Lembah Balim”.
Sekilas tentang Pater Frans Lieshout, OFM
Lahir di Kota Montfoort, Belanda, 15 Januari 1935.
April-Juli 1963 masa penyesuaian di Waris
Agustus 1963-April 1964 Sekretaris II Keuskupan Jayapura
April 1964-Mei 1967, Pastor Paroki di Musatfak, Lembah Balim
Mei 1967-Juli 1973, Pastor Paroki di Bilogay Suku Moni, Intan Jaya
Juli 1973-Agustus 1983, Rektor SPG Taruna Bhakti Waena, Jayapura
Agustus 1983-Oktober 1985, Pastor Koordinator 3 paroki (Paroki Katedral, APO dan Argapura)
Oktober 1985-Agustus 1996, Pastor Dekan Dekenat Jayawijaya, Balim
Agustus 1996-Agustus 2002, Pastor Paroki Katedral Jayapura
Agustus 2002-Januari 2007, Pastor Paroki Byak
Januari 2007-Oktober 2019, Pensiun dan menulis buku serta membantu tenaga pastoral di Lembah Balim
Pater Frans Lieshout, OFM berada di Tanah Papua selama 56 tahun dan selama 25 tahun 9 bulan melayani umat di Lembah Balim, Dekenar Jayawijaya.