Membangun Kesadaran Bersama “Papua Bukan Tanah Kosong”

Diskusi dan Launching Buku

Peluncuran buku “Papua Bukan Tanah Kosong” dari SKPKC Fransiskan Papua pada Jumat, 25 Oktober 2019 di Aula Kampus STFT “Fajar Timur” membangun kesadaran semua pihak bahwa manusia Papua dan tanahnya menjadi urgensi perhatian masa kini. Krisis yang terjadi dalam semua segi kehidupan di Papua menjadikan Papua masuk dalam “Zona Darurat Kemanusiaan”. Perjuangan tentang keadilan dan perdamaian seolah-olah menemukan ‘jalan buntu’. Penyelesaian pelanggaran HAM tidak pernah memuaskan pihak korban. Selain kasus HAM yang berlum pernah tuntas, manusia Papua juga diperhadapkan dengan deforestasi alam yang mengakibatkan manusia Papua kehilangan sumber kehidupan dan perekonomiannya. Semua lahan dimonopoli oleh elit. Jika melihat peta pembangunan jalan dan konversi lahan yang dimiliki oleh perusahan-perusahan besar, maka dua pertiga lahan di Papua telah diambil dan dialihkan menjadi ladang bisnis. Penguasa dan pengusaha memainkan perannya demi kepentingan pribadi disamping itu rakyat tetap menderita karena kehilangan dusun tempat mereka mencari makan, tempat mereka mengolah tanah dan tempat mereka memupuk kehidupan barunya.

Dalam kegiatan diskusi dan launching buku ini, SKPKC Fransiskan Papua menghadirkan tiga orang penanggap buku. Mereka adalah Gustav Kawer, SH. M.Si. Ia adalah seorang Pengacara HAM di Papua dan Ketua Perkumpulan Advokat HAM Papua (PAHAM). Penanggap kedua, Nelius Wenda yang merupakan seorang aktivis mahasiswa, juga sebagai anggota GEMPAR (Gerakan Mahasiswa Pemuda Rakyat Papua). Penanggap ketiga, Ibu Elfira Rumkabu, S.Ip, M.St, dari Akadamisi Universitas Cenderawasih Jayapura. Elfira juga sebagai kordinator dari ‘Solidarity of Indegenous Papuan Autoship’ (SIP). Selain ketiga pemateri ini, para peserta yang hadir juga adalah kelompok LSM dan aktivis yang ada di Kota Jayapura, juga para mahasiswa-mahasiswi dari beberapa kampus.

Diskusi tentang buku “Papua Bukan Tanah Kosong ini, Bernard Koten mewakili tim penulis buku memaparkan bahwa buku seri No. 37 ‘Memoria Passionis’ ini bercerita tentang suasana PAPUA selama tahun 2018. Di dalamnya dipaparkan beberapa kejadian penting selama tahun 2018 yakni mulai dari Kejadian Luar Biasa di Kabupaten Asmat (Kasus Gizi Buruk) Hingga tumbuhnya kelompok radikalisme di tanah Papua (studi kasus hadirnya kelompok Jafar Umar Talib).

“Kami menulis buku ini dengan tujuan supaya kita bangkit dari tidur untuk merebut segala yang mulai hilang. Kami memilih judul buku Papua Bukan Tanah Kosong, karena judul ini menarik dan sudah dikampanyekan sebelumnya oleh teman-teman GEMPAR. Oleh sebab itu tujuannya juga untuk menyadarkan setiap kita bahwa manusia Papua dan Tanahnya harus dihargai. Tanah Papua milik orang Papua, oleh sebab itu siapa saja yang masuk dan hidup di atas tanah ini harus menghargai pemiliknya dan alamnya”, ungkap Bernard.

Dalam tanggapannya mengenai diskusi buku ini, Nelius Wenda sebagai aktivis mahasiswa mengatakan bahwa buku ini luar biasa, menantang mahasiswa untuk memiliki data ketika berorasi.

“Buku ini menurut saya, ditulis supaya orang di luar Papua juga tahu bahwa kehidupan manusia Papua di atas tanahnya sendiri itu sangat memprihatinkan”. Secara khusus pada bab kedua dari buku ini yang berbicara mengenai demokrasi yang dibungkam. Tindakan aparat yang represif hingga masuk dalam lingkungan kampus menjadi catatan penting baginya. Banyak aparat yang tidak mengerti undang-undang, mereka hanya menjalankan perintah. Saya merasa ada diskriminasi dari aparat terhadap kami pengunjuk rasa orang asli Papua. Kalau di Papua tindakannya beda dengan teman-teman yang orasi di luar Papua. Kebanyakkan di Papua aparat tidak pernah mengikuti prosedur yang ada ketika membubarkan demo. Juga soal hutan dan alam yang terus dieksploitasi. Ketahuan sekali bahwa para elit dan kaum kapitalis hanya menginginkan hutan Papua tetapi tidak untuk manusianya. Mereka mengabaikan manusianya dan itu sudah terjadi sejak dulu. Saya kira mungkin ini catatan-catatan penting dari saya dalam menanggapi isi buku ini”, jelas Nelius.

Selanjutnya Gustav Kawer menegaskan mengenai persoalan HAM di Tanah Papua yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Hal ini dikarenakan pemerintah pusat tidak membentuk KPP HAM. Ia mengatakan bahwa KPP HAM harus segera dibentuk agar mekanisme proses penyelesaian HAM menjadi jelas. Selain itu juga ia sangat menyayangkan tindakan institusi sipil negara yang bertindak tidak sesuai dengan regulasi yang ada. Baik regulasi yang berlaku di OTSUS maupun di UUD.

“Semuakan ada regulasinya tetapi tidak digunakan sehingga banyak proses menjadi kacau dan terbengkalai. Mengemukakan pendapat di depan umum itu juga diatur dalam OTSUS tetapi tidak dijalankan. Mengapa? Karena semuanya dipolitisir, mereka mengatakan tindakan sekecil apapun itu ujung-ujungya pasti minta merdeka, kita beribadat saja dibilang kegiatan politik mau merdeka. Kalau sudah bangun persepsi seperti ini sulit untuk ada proses penyelesaian masalah. Apa lagi kebebasan berekspresi selalu dikaitkan dengan pasal makar”, kata Gustav Kawer.

Selain itu juga Gustav menyoroti tentang Komnas HAM dan Institusi sipil yang dibuat oleh Negara Indonesia. Menurut Gustav, mereka tidak melindungi hak masyarakat kecil. Hal ini misalnya yang terjadi di Nduga.

“Institusi sipil dan Komnas HAM menurut saya mereka tertidur. Sangat disayangkan kasus ini harus terjadi dan banyak masyarakat yang menderita. Dalam regulasi jelas bahwa penambahan aparat harus terjadi kalau ada izin dan permintaan dari kepala daerah setempat tetapi ini tidak terjadi. Mereka tidak masuk melalui regulasi yang ada sehingga menjadi tidak tertib”, tegas Gustav ketika menanggapi isi buku ini.

Ibu Elfira Rumkabu, Penanggap Buku

Kesempatan berikutnya buku ini ditanggapi oleh Elfira Rumkabu. Elfira mengatakan bahwa secara pribadi judul buku ini menarik karena isinya berkaitan dengan diversitas isu. Banyak kasus yang diangkat dalam buku ini. Ada kekerasan militerisme, kekerasan strukturalisme dan kekerasan kultural yang berkaitan dengan perampasan tanah. Kebijakan yang dibuat pemerintah pusat ini tidak pernah mempertimbangkan dan tidak pernah memperdulikan manusia yang mendiami tanah ini. Pemerintah terlihat memainkan pola kekerasan struktural. Sehingga Papua dan kemanusiaannya dilucuti. Selain itu juga ia menyoroti demokrasi yang dibungkam di tanah Papua. Ada perbedaan penanganan. Kita di Papua ini demo damai selalu dibubarkan secara paksa, banyak teman-teman mahasiswa yang dipersekusi, mengalami kekesaran dan disiksa.

“Saya berharap bahwa hal ini tidak mengurangi semangat perjuangan kita. Saya melihat ada dampak positif bahwa pembungkaman justru memotivasi pemuda Papua untuk terus maju. Ada transformasi aktor”, ungkap Elfira.

Menutup tanggapannya, Elfira berharap bahwa persoalan Papua jangan terus mengalami stagnasi tetapi harus ada progres. Gerakan pemuda harus bisa membuat persoalan Papua ini membias ke luar sehingga membukakan mata banyak orang untuk melihat persoalan Papua. Juga berkaitan dengan dunia akademisi ia berharap bahwa kampus atau para mahasiswa perlu banyak menulis juga untuk mengangkat persoalan-persoalan Papua di mata dunia ini.

Sejalan dengan para penanggap buku, banyak peserta yang berharap bahwa diskusi buku ini perlu menghadirkan aktor-aktor pemangku kebijakan sehingga mereka betul-betul merasakan apa yang sedang terjadi di atas tanah papua ini. Banyak juga yang mengapresiasi isi buku ini selain itu juga mereka menyadari bahwa tindakan hukum yang berlaku di atas tanah ini juga menjadi catatan penting untuk perlu dilihat kembali. Benar adanya bahwa penanganan hukum selalu berbeda bagi orang Papua dan itu adalah sebuah tindakan ketidakadilan.

 

Catatan Kritis: Membangun Kesadaran Bersama

Menanggapi persoalan Papua yang memiliki tingkat kompleksitas yang sangat tinggi perlu adanya kesatuan dan penyadaran secara bersama bagi semua masyarakat yang mendiami tanah ini. Semua elemen pemangku kebijakan dan masyarakat perlu menyadari bahwa kondisi kemanusiaan di tanah ini sangat memprihatinkan. Buku “Papua Bukan Tanah Kosong” menyoroti beragam peristiwa yang terjadi di tahun 2018 yang lalu. Buku ini jelas bertujuan untuk menegaskan bahwa di atas tanah ini ada pemiliknya. Ada orang yang mendiaminya. Ada orang yang mempunyai lahan, hutan sagu, tempat mencari makan, dan tempat mereka bertahan hidup. Jika anda ada di atas tanah ini maka hargailah semua yang ada di sini tanpa terkecuali. Hargailah manusia dan tanahnya. Jelas bahwa pesan ini merupakan pesan yang menyoroti persoalan di tanah ini. Buku ini juga menyadarkan kita bahwa saat ini manusia Papua menuju kepada keteransingan di atas tanahnya sendiri.

Dengan demikian komitmen dan niat baik untuk membangun Papua ke arah yang lebih baik harus menjadi kesadaran bersama. Semua tak perlu takut. Semua orang mulai dari akar rumput hingga pemangku kebijakan perlu menyadari persoalan ini. Berani menerima kritik dan saran, mengakui segala keterbatasan serta memiliki komitmen yang teguh untuk memperbaiki wajah hak asasi manusia di atas tanah ini. Tanpa membeda-bedakan satu sama lain, apapun latar belakangnya, perjuangan tentang kebenaran, keadilan dan kesamaan martabat manusia harus menjadi tugas bersama kita untuk terus memperjuangkannya karena sebagai manusia kita adalah sederajat dan memiliki martabat yang luhur.

Selain itu hal penting yang dilakukan adalah kita harus bergerak untuk mengubah cara pandang semua orang bahwa Papua memang bukan Tanah Kosong. Kita mengubah stigmatisasi yang sedang merebak. Kita perlu menunjukkan kepada mereka (dunia) bahwa kita sedang memperjuangkan martabat kita, kita sedang mempertaruhkan hidup kita demi tanah dan kekayaan alam kita. Perlu menyadarkan elit negara yang semakin diam dan bahagia melihat segala penderitaan masyarakat kecil. Mereka selalu datang sebagai “pemadam kebakaran” yang kerjanya adalah ‘tunggu api menyala dulu kemudian mereka datang untuk memadamkannya’. Tunggu ada korban jiwa dulu baru bergerak dan bersuara. Ini adalah metode yang destruktif karena membuat korban semakin banyak berjatuhan dan sangat disayangkan bahwa hal ini terus menerus terjadi.

Menarik bahwa dalam buku ini ditulis: Negara dan elitnya semakin diam dan bahagia melihat segala penderitaan yang dialami oleh masyarakat kecil. Segala janji ‘dihambur’ demi menahan amukkan kemarahan si penderita atau korban. Persoalan tidak akan berhenti, segala janji terus dibunyikan, niat baik disingkirkan, kematian dan kehancuran terus dan selalu menjadi cerita indah yang tak terlupakan para korban. Dan mereka yang kesakitan. Mari bersatu dan melawan segala kebobrokan dan kerakusan mereka yang menginginkan Tanah dan Manusia hancur.

Ulasan di atas jelas memperlihatkan ketidakpedulian negara terhadap rakyatnya. Ketika ada persoalan maka pola pendekatan yang digunakan selalu sama yakni dengan menggunakan pendekatan keamanan. Hal ini tentunya menguburkan gerakan Papua tanah damai yang pernah dideklarasikan. Anak-anak, orang muda dan masyarakat Papua telah menjadi korban tindakan kekerasan dan kesewenang-wenangan. Segala bentuk kekerasan merebak ke berbagai penjuru dari kampung hingga ke kota. Semua orang merasa tidak aman dan terancam.

Oleh sebab itu, kesadaran bersama akan hal ini perlu terus didorong. Semua elemen harus menunjukkan komitmennya yang serius dalam menangani persoalan ini. Persoalan kemanusiaan harus dikendepankan dari pada kepentingan elit dan pribadi. Keegoisan dan gengsi harus diruntuhkan. Pemerintah jangan ragu untuk menyentuh jantung masalah papua yaitu politik aspirasi kemerdekaan atau penentuan nasib sendiri yang disuarakan dan dikehendaki oleh rakyat Papua karena banyak rakyat papua yang sudah menyadari sejarah politik mereka. Jangan menjadi tidak peduli lalu mengatakkan bahwa persoalan ini sudah final dan mengangkat persoalan kesejahteraanlah yang menjadi akar masalah sehingga pembangunan dinilai sebagai cara dan strategi penyelesaian konflik. Hemat saya, solusi ini akan semakin membuat hak asasi manusia Papua terancam dan konflik itu kan terus menerus berlangsung. Hingga sampai kapan? Kita tidak pernah tahu.

 

Oleh Fransiskus Batlayeri, Pr

Mahasiswa Pasca Sarjana STFT Fajar Timur

You May Also Like

2 thoughts on “Membangun Kesadaran Bersama “Papua Bukan Tanah Kosong”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *