In Memoriam Saudaraku Pater Frans Lieshout, OFM

“Orang yang masuk ke dalam kandang domba … melalui pintu, dialah gembala domba. …dan domba-domba mengikuti suaranya pada waktu ia memanggil mereka dengan namanya masing-masing dan menuntun mereka keluar. … gembala itu berjalan di depan, dan domba–domba itu mengikuti dia sebab mereka mengenal suaranya” (Yoh. 10, 2-4).

Teks dari Injil Yohanes muncul di benak saya sewaktu saya menyaksikan kesedihan bercampur kebanggaan banyak orang Papua, lebih-lebih orang Lembah Balim, setelah mendengar bahwa Pater Frans Lieshout OFM telah meninggal dunia. Sudah tentu mereka merasa sedih karena kehilangan seorang Bapak, seorang Penuntun Jalan, seorang Tete, seorang yang mereka kenangkan sebagai “orang mereka punyai” dan yang telah melayani mereka selama puluhan tahun di Papua. Sosok fransiskan, Pater Frans, telah menandai hidup mereka! dan menjadi satu dengan mereka. Pater Frans menjadi gembala mereka yang memanggil mereka dengan nama masing-masing dan domba-domba mengenal suaranya. Saya turut merasa sedih sekaligus bangga karena sudah lama boleh saling bertemu dan membagi hidup sebagai Saudara.

Sudah tentu Pater Frans tidak dilahirkan sebagai ‘sosok gembala’ sebagaimana dimaksudkan di atas, namun melalui suatu sejarah perjalanan pribadinya untuk menjadi ‘sosok gembala’ itu. Dari suasana di rumah orang tuanya dia belajar bergaul dengan saudara-saudarinya, belajar hidup dengan cukup teratur dan disiplin, mulai memahami nilai-nilai, termasuk nilai religius, yang membuat kehidupan kita bersama baik dan saling membangun. Dari tahun-tahun pendidikannya dia memetik kemampuan untuk berefleksi, membentuk pendapatnya, mengungkapkannya dan membagikannya dengan orang lain. Dari kehidupan dalam Persaudaraan Fransikan, Pater Frans memetik dan menghayati hidup dengan sederhana, membuka mata untuk yang miskin dan terlantar, mencintai lingkungan alam dan bersyukur atas setiap saat hidupnya karena suatu pemberian luarbiasa Penciptanya.

Bekal ini terus melekat dalam diri Pater Frans ketika tiba di Papua pada usia, 28 tahun. Suasana di Papua menjadi ‘gurunya’ selanjutnya. Beberapa kali saya berkesempatan menemani Pater Frans dalam kunjungun pada rumah fransiskan pertama di Wesaput, di pinggir sungai dan dekat jembatan gantung ke Pugima, Lembah Balim. Pada saat-saat itu Pater Frans berceritera mengenai kehidupan serta tantangan masa awal (1964-1967) untuk kelompok kecil fransiskan yang baru mulai membuka kontak dengan masyarakat di Lembah Balim. Yang paling mengesankan bagi saya adalah catatannya bahwa ‘mereka merasa asing, tidak tahu bahasa, tidak tahu apa-apa’, maka, ‘kita hanya hadir saja dan mulai mendengar, pakai bahasa tubuh’. Sewaktu berangkat dari Belanda, Pater Frans masih pikir, nanti tiba di sana (Papua) kami mulai bekerja, membangun gereja, mewartakan Kabar Gembira. Namun ternyata: ‘kami ada disini dengan tangan kosong, dalam ketergantungan; kami hanya bisa menyerahkan diri serta percaya’. Ternyata Bapak Uskup Rudolf Staverman, OFM juga menekankan sewaktu Pater Frans diutus ke Lembah Balim, untuk ‘mengambil waktu banyak belajar bahasa setempat dan terbuka untuk mendengar dan memahami kebudayaan umat yang ingin kamu layani’. Itulah yang mereka buat dan dengan demikian konteks budaya Lembah Balim menjadi ‘sekolah lanjut’ yang paling menentukan dalam kehidupan Pater Frans. Umat menjadi gurunya! Pater Frans belajar mengakui dan menghargai laterbelakang budaya orang Balim, mulai mengetahui nama-namanya dan melihat martabatnya dan kekhasannya. Pengambilan sikap yang begitu terbuka dan rendah hati menjadi temannya dimana saja dia berkarya.

Semuanya ini terjadi selama tahun 1960-an, suatu kurun waktu yang juga ditandai situasi sosial politik yang penuh kekacauan dan penderitaan. Pengalaman ini tidak kalah mendidik misionaris muda ini, yang dikaruniakan dengan sikap terbuka, sikap berminat ingin tahu/belajar, dan sikap komitmen dengan nilai-nilai yang mengindahkan martabat setiap orang, secara khusus orang Papua. Terutama selama kurun waktu 1960-an Pater Frans mulai memahami betapa besar lukanya bangsa Papua karena tidak diberikan suara dalam penentuan masa depannya. Dalam keadaan demikian beliau pelahan-lahan menjadi ‘gembala yang dapat memanggil dombanya dengan namanya masing-masing… dan domba-domba mengenal suaranya’, hingga Beliau bisa turut ‘menuntun jalan membawa mereka keluar’.

Dalam karya pastoralnya, Pater Frans juga diarahkan oleh perkembangan dalam Gereja Katolik secara khusus di Papua. Awal 1970-an Mgr Herman Munninghoff, OFM menyelenggarakan ‘Musyawarah Pastoral’ di wilayah Keuskupan Jayapura, mengajak seluruh umat berpartisipasi dalam ‘membangun komunitas iman katolik yang hidup’, suatu Gereja yang dimiliki umat bersama semua pelayannya. “Kita adalah Gereja” menjadi kesimpulan ‘Musyawarah Pastoral’ ini. Dampak dalam pendekatan pastoral terlihat dalam melibatkan anggota umat secara aktif dalam pelayanan pada komunitas beriman. Dalam kerangka ini Pater Frans sangat aktif, sekali lagi di Lembah Balim (1985-1996), dengan mendorong peranan para ‘wenewolok’ (pewarta) dan memprakarsai ‘Hari-Hari Persaudaraan’ sebagai sarana membangun ‘umat beriman katolik’. ’Umat beriman katolik’ ini bukan saja terdiri dari anggota umat yang dibaptis namun juga dari ‘anggota-anggota simpatisan’, orang yang sebenarnya ingin menjadi anggota umat namun karena halangan peraturan hukum gereja -terutama berkaitan dengan monogami- belum bisa dibaptis secara resmi. Gereja yang dibangun adalah ‘gereja manusia yang hidup’ bukan ‘gedung gereja’. Gedung bisa membantu, karena dapat menjadi tempat ‘bergaul orang beriman’ dan ‘tempat pertemuan dimana secara bersama mencari menghayati kehadiran Allah Pencipta kita dalam hidup sehari-hari’. Karena itu juga, sambil meneruskan inspirasi Pater Frans van Maanen OFM, Pater Frans mendorong pendirian kapela-kapela supaya orang yang berdekatan dan yang saling mengenal dalam hidup sehari-hari dapat berkumpul bersama untuk merayakan secara khusus kesatuannya, hidupnya dalam Allah, Pencipta yang adalah sumber hidup kita. Gereja menjadi ‘hasil kebersamaan umat yang beriman’ dan menjadi tempat dimana kegembiraan serta kesusahan dapat terungkap dalam suatu gaya yang berakar pada kebudayaan setempat. Pater Frans sangat mendorong membangun ‘gereja kontekstual’ itu.

‘Gembala baik’ lahir dan dibesarkan ditengah umat orang Balim, ditengah umat orang Moni, ditengah para penghuni kompleks Taruna Bakti di Waena, ditengah umat Katedral, Dekenat Jayapura dan Biak. Memang ‘cinta pertama’ adalah umat Balim, karena ternyata disitu dia paling merasa ‘dilahirkan kembali, dibentuk dan diperkaya’ sampai jatuh cinta dengannya. Maka tidak mengherankan bahwa sesaat Pater Frans dinyatakan ‘pensiun’ beliau kembali ke Lembah Balim untuk menikmati hari tuanya. Hampir 13 tahun dia masih diberikan waktu untuk berdiam ditengah-tengah umat Balim itu, sambil melayani umat dimana saja bantuannya diminta. Sekaligus waktu dipakai untuk membagikan pengalaman serta pemahamannya dengan generasi Fransikan penerus. Juga waktu untuk menulis, seperti buku mengenai Sejarah Gereja Katolik di Papua dan suatu buku kecil mengenai niliai-nilai dasar “Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim – Papua” (Mei 2019).

Pater Frans betul menikmati tahun-tahun pensiunan di Lembah Balim itu dan juga menjadi alamat yang ramai dicari oleh banyak orang yang ingin memahami lebih banyak mengenai kebudayaan orang Papua, secara estimewa orang Lembah Balim. Siapa yang ada minat betul disambut dengan hangat dan berjam-jam Pater Frans dapat bercerita atau mengantar orang bertemu dengan umat yang disayangi. Luarbiasa! Hidup berpensiun yang sangat produktif ini mulai terganggu sewaktu Pater Frans mengalami penurunan kesehatannya, namun sedapat mungkin ia bersyukur bahwa masih dapat tinggal terus di Wamena sampai memang akhir tahun 2019 menjadi jelas bahwa lebih banyak perhatian khusus secara medis dibutuhkannya, maka ia memutuskan untuk kembali ke negara asalnya. Sebelum berangkat Pater Frans masih sempat mengunjungi Wamena untuk kali terakhir. Suatu kunjungan yang sangat berat baginya, bukan saja karena perlu pamit betul, namun juga karena dia sempat melihat kerusakan akibat peristiwa penuh kekerasan pada 23 September 2019 yang berujung 44 korban. Saya masih sekarang dengar bunyi suaranya dalam telingaku, waktu dia bilang “Theo, saya tidak mengerti lagi apa yang terjadi dengan orang Balim”, sekaligus tergores di mata saya ‘wajahnya yang sangat sedih dan penuh rasa derita karena cintanya’. Dia mengakui dia mau menangis. Kami duduk bersama dan menghening. Hanya pelahan-lahan perbincangan kami berjalan lagi sambil mencari suatu jawaban dan jalan ke depan. Apalagi perlu pamit, namun saya sudah sadar bahwa kami tepat akan berkomunikasi mengenai Papua selama kesehatannya akan mengizinkannya entah dimana dia berada. ‘Badannya sudah berada di Belanda, namun hatinya tetap tinggal di Papua’, katanya. Bagi kami semua disini keberangkatannya memang berat, namun sekaligus ringan karena dalam katanya Pater Frans sendiri: “tugas saya di Papua sudah selesai; kalian semua dapat meneruskannya; dan kalian bisa! Jangan ragu-ragu!”

Seorang ‘gembala baik’ telah pergi dan kami sangat patut bersyukur atas hidupnya ditengah kami selama sekian lama, atas hidupnya sebagai seorang teman dan ‘penuntun jalan karena cintanya pada kami’.

Selamat jalan Saudaraku, Pater Frans dan semoga rasa damai yang sepenuhnya menjadi ganjaran segala upaya dan hidupmu!

 

Jayapura, 4 Mei 2020

Oleh: Theo van den Broek

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *