Papua di Level Internasional: Siapa yang diuntungkan dengan isu HAM di Papua?

(Catatan hari ke 4-6 Training Human Rights di Genewa, Swiss, 17,18 dan 21 September 2020)

Oleh P. Alexsandro Rangga, OFM

To Know

Selama tiga hari ini tidak banyak materi training yang ketika dibahas, menyinggung soal Indonesia dan Papua. Trainer melanjutkan pembahasan tentang Special Procedures. Itu sebabnya catatan selama tiga hari ini digabung. Dua hal menarik berkaitan dengan special procedures patut mendapat catatan lebih.

Pertama, Special Rapporteur merupakan salah satu tools dalam usaha untuk menghormati dan menegakan Hak Asisi Manusia, mereka tidak akan dapat mengunjungi Negara tertentu tanpa undangan dari Negara bersangkutan. Selain itu, ketika memberikan laporannya di sidang HAM PBB, Special Rapporteur tidak dapat memberikan jawaban terhadap setiap pertanyaan dan sanggahan yang diajukan sehingga terkesan sebatas sebagai suatu laporan tanpa hasil. Belum lagi Negara selalu melakukan lobi dan manuver terhadap para diplomat agar tidak menjadikan isu tentang Hak Asasi Manusia di Negara tertentu makin ‘panas’. Berkaitan dengan hal ini, kami diminta secara khusus memperhatikan bagaimana dan mengapa Indonesia memilih dan mendukung mayoritas amandemen resolusi atas Belarus yang diajukan oleh Rusia. Indonesia menegaskan pentingnya prinsip non-intervensi dalam urusan internal suatu negara. Indonesia bahkan menolak permintaan untuk bekerja sama dengan Special Rapporteur dan mendesak pemerintah Belarus untuk mengambil tindakan sendiri dengan tetap menghargai Hak Asasi Manusia.

Persoalan makin pelik karena setiap LSM (NGO), khususnya di level international semacam United Nations (PBB) membutuhkan donator yang mendukung progam kerja HAM. Itu sebabnya masing-masing berusaha untuk mempunyai reputasi yang besar. Tidak heran seringkali ada pertikaian di antara LSM (NGO) tentang tema yang sama yakni HAM.

To Understand

Di satu pihak, cara kerja Special Rapporteur maupun kepentingan LSM (NGO) membantu kita untuk memahami bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara yang tidak suka jika urusan domestic negaranya diganggu. Itu sebabnya Indonesia jarang mengundang Special Rapporteur untuk datang dan meninjau persoalan HAM di Indonesia pada umumnya dan di Papua pada khususnya. Tahun lalu ketika ada Special Rapporteur yang datang ke Indonesia misalnya, pemerintah tidak mengizinkannya untuk mengunjungi Papua tetapi mengundang LSM (NGO) dari Papua untuk bertemu dan berdialog dengan Special Rapporteur di Jakarta.

Di pihak lain, manuver Indonesia dalam resolusi Belarus menunjukkan betapa Indonesia ketakutan dengan isu Papua yang makin go international sehingga berulangkali menekankan prinsip non-intervensi persoalan domestik suatu negara dan prinsip kedaulatan Negara untuk, dalam hal ini terus melanggar Hak Asasi Manusia tanpa interensi dan mekanisme internasional. Manuver ini misalnya terbaca ketika Diplomat Indonesia begitu emosional atas intervensi Vanuatu pada persoalan Papua.

Berkaitan dengan kepentingan LSM (NGO) mesti pula disadari bahwa ada banyak LSM (NGO) yang, di satu sisi mengoreng lalu menjual isu Papua demi kepentingan mereka maupun menjadi corong bagi agenda-agenda pemerintah. Dengan demikian kita tidak akan mudah menjual isu HAM atau apapun itu di Papua hanya demi mencari perhatian pemerintah atau dunia international namun tanpa hasil. Hal ini sejalan dengan prinsip kerja kemanusiaan bahwa selalu ada perang ada Negara (states) dan LSM (NGO). Artinya kasus-kasus HAM dapat pula dipakai untuk memperkuat kebijakan tertentu dari pemerintah sekaligus menambah cengkeraman terhadap protes dan penolakan dari pihak orang Papua.

To Act

Berpikir bijak dan bertindak hati-hati amatlah penting dalam usaha menegakkan HAK Asasi Manusia di Papua. Terutama oleh orang Papua itu sendiri yang notabene, suka tidak suka, setuju tidak setuju, mendapat cap sebagai separatis atau bagian dari Operasi Papua Merdeka (OPM). Nasihat bijak ini patut dipertimbangkan, “lebih baik hidup lama dan bisa berjuang demi Papua daripada hidup singkat lalu memadamkan perjuangan”. Karena sekali kepala ular dipotong, matilah seluruh pergerakan. Terlebih lagi karena persoalan Papua bukanlah persoalan sepele dan tentunya membutuhkan proses yang panjang. Oleh karena itu, sikap pragmatis sebagai orang Papua yang ingin agar hasil cepat terlihat, mesti direm karena toh hasil sudah terlihat meskipun masih samar dan mendapat banyak tantangan.

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *