Sepenggal Cerita dari Samenage, Yahukimo, Papua

Oleh Ibu Arie

“Halawok.”Salam disertai dengan pelukan hangat. Itu adalah sambutan ketika kembali menjejakkan kaki kembali di kampung ini. 

Perjalanan dari bandara ke tempat kami tinggal membutuhkan waktu 1 – 2 jam jalan kaki, ada yang beda kali ini. Kebun – kebun baru membentang luas dimana – mana di tiap kampung ada pembukaan kebun baru. Yup, itu adalah hal yang menyenangkan mengingat tahun lalu kampung Samenage sempat ada jeda cukup panjang dari kebun lama ke kebun baru sehingga, ubi sulit didapat. 

Kembali kali ini dengan harapan untuk bisa belajar kembali di tengah – tengah “orang – orang yang terlupakan”. Setelah berjalan dari kampung sebelah sampailah di depan rumah, Bapa Mikael Esema sudah berdiri serta berkata “Naura… naura……”sebagaimana budaya masyarakat di sini sebagai ucapan selamat datang. Dan satu per satu orang kampung datang memberi salam.

Seminggu pertama selain kesibukan untuk bersih – bersih pastoran adalah masyarakat kampung yang datang meminta obat, entah luka, sakit kepala, demam dll. Tidak adanya tenaga medis membuat masyarakat datang ke kami karena, kami selalu membawa obat – obatan dasar dan vitamin. Anak – anak banyak yang punya luka dan dibiarkan sehingga, sebagian sampai berbau dan membesar. Para orang tua banyak yang mengeluh sakit badan karena, kerja kebun baru. 

Setelah 4 hari di kampung, kami naik ke sekolah untuk melihat kondisi sekolah. tidak ada yang berubah, sekolah terbengkalai dan rumput pun lebih tinggi dari tinggi orang dewasa. Setelah, mengetahui kondisi sekolah kami berbicara dengan beberapa orang tua untuk meminta tolong babat rumput di depan kompleks kelas yang akan kami pakai. karena, tidak memungkinkan untuk meminta anak – anak saja yang babat rumput. Itu akan memakan waktu yang lama. 

Pada awalnya para orang tua tidak setuju karena, kepala sekolah sendiri tidak pernah datang. Sehingga lebih baik belajar di pastoran atau di kapela. Namun, mengingat ada dua guru relawan dan jumlah murid lebih baik menggunakan ruang kelas yang masih dalam kondisi lumayan bagus untuk digunakan. Dan akhirnya orang tua setuju sehingga, pada akhir minggu kami kerja membersihkan sekolah. 

Hari Senin, kami mulai masuk sekolah. Anak – anak terlihat antusias sekali apalagi ada ibu guru baru. Sayangnya, setelah dua minggu di kampung ibu guru baru mengeluh sakit sudah seminggu belakangan sehingga harus kembali ke kota karena, di kampung tidak ada tenaga medis. 

Dengan jumlah murid 60-an anak dari usia 3 – 13 tahun tidak mungkin dihandle satu orang guru. Sehingga meminta bantuan satu tenaga untuk membantu di sekolah dan ada Hugihe Hugi yang bersedia membantu belajar anak – anak yang kecil namun, setelah tiga hari dia tidak datang karena, suami tidak kasih ijin. 

Akhirnya saya berbicara dengan beberapa orang tua dan meminta usul bagaimana baiknya supaya kegiatan belajar mengajar berjalan dengan baik. Apakah ada yang bisa membantu untuk mengajar di sekolah? saya mengajak pak Niko hugi, John Esema dan Enius Esema untuk membantu. Kegiatan belajar mengajar pagi pukul 8 sampai 12 siang, mengingat banyaknya pekerjaan untuk pembukaan kebun baru dan bisa saling mengisi. Sedang sore hari, anak – anak bisa belajar di pastoran. 

Pada minggu ketiga bulan Juni, kepala sekolah datang ke kampung. Beliau menjenguk sekolah dan keadaan sekolah yang rusak. Kami sempat bertemu dan berbicara. Beliau meminta maaf karena, selama dua tahun lebih tidak pernah datang. Beliau membawa daftar anak – anak yang namanya keluar untuk mendapatkan ijazah tahun ini. Nama empat anak keluar sedang yang lainnya tidak dan itu menimbulkan kekecewaan bagi sebagian anak yang usianya sudah melebihi usia anak sekolah dasar. Namun, beberapa anak tetap semangat dan rajin ke sekolah untuk mendapatkan ijazah tahun depan. 

Dengan adanya rencana mengajak beberapa orang untuk membantu mengajar, kami berbicara dengan kepala sekolah untuk kembali menghidupkan sekolah kembali. Karena, selama ini kepala sekolah datang setahun sekali ketika akhir tahun pembelajaran dan bawa ijazah saja tanpa adanya proses pembelajaran. Bahkan sarana dan prasarana tidak dilengkapi. Itu alasan masyarakat enggan untuk membantu. Kepala sekolah berkata akan kembali di akhir tahun ini dan sedikit demi sedikit akan kembali memperbaiki sarana dan prasarana di sekolah. 

Setelah selesai babat rumput sekeliling sekolah selama seminggu dan meminta data nama anak – anak kepala sekolah kembali ke Dekai. Apa yang dibawa kepala sekolah ketika datang?? Daftar anak – anak yang dapat ijazah dan mesin babat. Apalagi? That’s all. 

Dan akhirnya ada tim baru untuk mengajar, ada Pak Yones Esema dan Bapa Enius Esema yang akan membantu mengajar di kelas. Pak Niko Hugi yang akan membantu untuk kelas budaya di kelas yang besar serta bapa John Esema yang membantu kelas agama. 

Setelah satu bulan, kami mengevaluasi kalau kelas budaya di kelas yang paling besar berjalan baik dan semua setuju hampir semua anak – anak tidak mau belajar tentang budaya dan adat istiadat terutama yang tinggal di kota. sehingga, semua sepakat mulai bulan Agustus anak – anak di kelas yang lebih kecil juga akan ada kelas budaya. Dengan kembali memainkan permainan tradisional, membuat kerajinan tangan dll. 

Dengan adanya tenaga relawan dari kampung kegiatan belajar mengajar lebih baik terutama dalam berkomunikasi karena, sebagian besar masyarakat tidak berbahasa Indonesia. 

Tidak lupa setiap hari Jum’at anak – anak belajar di kapela dengan Bapa John Esema untuk keagamaan. Setelah belajar anak – anak mendapatkan makanan tambahan dan vitamin.

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *