Diskusi Buku “Papua: Antara Berkat dan Kutuk”

Tahun 2023 di Papua ditandai dengan dinamika yang kompleks, diwarnai dengan berbagai peristiwa dan isu penting. Di satu sisi, terdapat berbagai upaya pembangunan dan kemajuan di berbagai sektor, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Di sisi lain, gejolak keamanan dan konflik bersenjata masih menjadi tantangan yang perlu mendapatkan perhatian serius.  Perjuangan masyarakat adat Papua, khususnya Suku Awyu di Boven Digoel untuk mempertahankan hutannya sebagai sumber kehidupan masih terus berlanjut. Menuntut keadilan terasa berat di Negara Indonesia tercinta ini.

Di sisi lainnya, persoalan HIV AIDS, korupsi menjamur di Tanah Papua. Wilayah Papua yang dulunya menduduki peringat terendah kasus HIV AIDS, pada tahun 2023, perlahan naik bahkan memimpin klasemen.  

Pembagian Papua dari dua provinsi menjadi 6 daerah otonom baru juga menjadi persoalan tersendiri. Saling rebut kuasa dan jabatan antara putra-putri Papua semakin kelihatan.  

Sepanjang tahun 2023, para pihak yang mengadvokasikan dua persoalan yang dialami oleh masyarakat adat Papua yakni persoalan perampasan hutan di Suku Awyu, Boven Digoel dan Suku Moi, Sorong Raya berujung pada kampanye yang viral di media sosial yang bertajuk ‘All Eyes on Papua’. Seruan ini adalah mengajak publik yang belum memahami Papua untuk mengerti secara mendalam tentang Papua (lingkungan, alam dan manusianya).

Pihak SKPKC Fransiskan Papua secara berkala mengangkat persoalan HAM Papua dalam buku Memoria Passionis. Persoalan HAM Papua tahun 2023 yang ditulis dalam buku ‘Papua: Antara Berkat dan Kutuk’, pihak SKPKC Fransiskan Papua berkisah tentang apa yang dialami oleh Papua. Dengan maksud itu, SKPKC Fransiskan Papua mengajak semua pihak untuk mencari solusi bersama bagi Papua yang adil, damai dan berkeutuhan ciptaan.

Diskusi Buku di Kantor Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), 16 Juli 2024

Sebagai bentuk membangun narasi yang holistik tentang Papua, SKPKC Fransiskan Papua bekerja sama dengan pihak Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) mengadakan diskusi tentang Papua dalam terang Buku Memoria Passionis No. 42 yang berjudul Papua: Antara Berkat dan Kutuk. Kegiatan ini berlangsung selama dua jam lebih. Panitia mengundang para panelis dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman untuk mengomentari isi buku dan persoalan di Tanah Papua.

Proses diskusi ini diawali dengan sambutan dari Direktur SKPKC Fransiskan Papua P. Alexandro Rangga OFM. Di dalam sambutannya Direktur SKPKC mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak PGI yang telah memfasilitas kegiatan ini. Sambutan kedua adalah Sekretaris Umum PGI, Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty. Dalam sambutan Pendeta Jacklevyn menyampaikan walaupun banyak persoalan yang terus terjadi, mau tidak mau kita harus hadapi dan berjuang untuk menghadapinya.

Para panelis dan peserta diskusi buku di Kantor PGI Jakarta

Di dalam pemaparan isi buku mewakili para penulis, Pater Alexandro Rangga OFM menjelaskan bahwa kekuatan buku ini adalah terletak di kumpulan kroniknya. Kronik yang dhimpun dari berbagai media dari perspektif hak asasi manusia ini dapat digunakan oleh semua orang atau lembaga untuk melihat situasi Papua pada tahun 2023. Sedangkan catatan kritis yang terdapat di dalam buku ini adalah merupakan pandangan dari SKPKC Fransiskan Papua yang melihat dan mengalami langsung persoalan HAM di Tanah Papua.

“Terkait dengan judul buku diambil dari catatan kritis salah satu penulis buku yang adalah orang asli Papua. Dia melihat dari pengalamannya sendiri sebagai orang asli Papua, khususnya dari Suku Ngalum di Oksibil, Pegunungan Bintang. Kami yakin bahwa refleksi dari Saudara Bartol Uropmabin mewakili perjalanan Papua. Sedangkan konsep Memoria Passionis ini diambil dari konsep John Baptist Metz yang menjelaskan bahwa penderitaan itu dilihat sebagai cara untuk berubah ke arah yang lebih baik dengan melihat penderitaan Yesus Kristus yang tersalib,” ungkap Pater Alexandro Rangga OFM.

Pater Marthen Jenarut Pr dalam pemaparan, melihat buku ini sebagai sebuah ‘hentakan’ sebagai orang Katolik untuk melihat ajaran sosial gereja yakni Ensiklik Laudato Si. Saya mau katakan begini terlepas dari sejarah Papua masuk ke Indonesia dan sudah menjadi bagian dari Indonesia, Indonesia punya kewajiban mengolahnya dengan berkeadilan.

Dosen Antropologi STF Driyarkara Jakarta, Dr. Budi Hernawan memulai komentarnya dengan menunjukan salah satu kampanye yang lagi viral di media sosial tentang Papua yakni All Eyes on Papua. Kampanye tentang perjuangan masyarakat adat Suku Awyu dan Moi (Papua) di Mahkamah Agung RI terkait hak ulayatnya.

“Buku ini berisi ingatan kompherensif akan penderitaan dan daya kritis terkait persoalan di Tanah Papua,” ungkap Dr. Budi Hernawan.

Wakil Sekjen MUI Pusat Dr (c) KH. Arif Fahrudin mengungkapkan bahwa forum diskusi ini dapat membantu untuk melihat Papua. Saya mau judul buku ini adalah Papua menebar rahmat sepanjang masa. Saya juga mengapresiasi buku ini karena ada rekomendasi dari setiap bab.

Setelah pemaparan isi buku dan komentar dari para panelis, dilanjutkan dengan diskusi. Di dalam diskusi peserta yang hadir mengomentari bagaimana peran adat dalam atau hukum adat dalam menyelesaikan persoalan di Tanah Papua.

Suasana Diskusi Buku di Sanata Dharma

Diskusi Buku di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 23 Juli 2024

Proses diskusi yang terjadi di Kampus II Ruang Palma Universitas Sanata Dharma tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Para Panelis yang terlibat di dalam diskusi ini adalah Ferdinando Septi Yakit (Mahasiswa S2 Kajian Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma), Aprila Wayar (Jurnalis dan Novelis), Paul Gipaiyaby Tekege (Aliansi Mahasiswa Papua). Moderator diskusi ini adalah Benediktus Fatubun yang adalah Koordinator Pusat Kajian Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dhrama Yogyakarta.

Salah satu panelis buku ini Ferdinando Septi berbagi pengalamannya bagaiaman proses pembangunan, khususnya akses jalan di Kabupaten Boven Digoel, wilayah Selatan Papua. Menurut Septi, pembangunan yang terjadi sebenarnya lebih menguntungkan pihak luar daripada orang asli di Boven Digoel. Masyarakat adat harus berjuang mempertahankan hak ulatnya demi kehidupannya dan generasi berikutnya.

Penanggap yang lainnya Aprila Wayar yang adalah seorang jurnalis dan novelis mengajak anak muda Papua untuk terus mengasah dirinya merekam dan menulis tentang sejarah kehidupan di Tanah Papua.

“Kita tidak perlu takut menulis tentang sejarah dan kehidupan kita,” pungkas Aprila Wayar.

By Admin

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *