Catatan Pertemuan SKPKC se-Tanah Papua, 5-10 Agustus 2024
Saling menguatkan dalam pelayanan selalu dilakukan oleh setiap individu maupun organisasi. Cara yang lasim digunakan adalah bertemu, berbagi cerita. Hal ini juga secara rutin atau salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh Sekretariat Keadilan Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC)-Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) se-Tanah Papua. Pada tahun 2024 ini, pertemuan SKPKC-KKPKC se-Tanah Papua dilaksanakan di Kantor SKPKC Fransiskan Papua di Kabupaten Jayapura, Papua. Kegiatan ini dibuka dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Uskup Keuskupan Jayapura Mgr. Yanuarius T. Matopai You. Dalam homilinya, Mgr. Yanuarius mengajak SKPKC se-Tanah Papua untuk ‘memberi makan’ kepada semua orang yang dilayani.
“Yesus beritahu kepada murid-Nya, kamu harus kasih makan mereka. Begitupula dengan situasi kita di Tanah Papua. Banyak masalah silih berganti yang menjadi memoria passionis orang asli Papua. Bila kita komit dan konsekuen sebagai pengikut Kristus, memang Gereja harus berani dan tunjukkan belas kasih kepada sesama, umat dalam situasi kita di Papua saat ini”, ungkap Mgr. Yan dalam khotbahnya.
Bacaan Situasi HAM Papua
Di hari pertama, peserta kegiatan mengikuti pembacaan situasi hak asasi manusia tingkat Papua, Indonesia dan internasional. Pihak SKPKC se-tanah Papua mengundang Bapak Theo van den Broek (sesepuh SKPKC se-tanah Papua), Pendeta Beni Giyai (Dewan Gereja Papua) dan Bapak Papang Hidayat (Fransiskan Internasional Indonesia). Proses diskusi ini dimoderasi oleh Dr. Budi Hernawan. Di dalam pemaparan materinya, Bapak Theo van den Broek menyampaikan situasi demokrasi baik di Tanah Papua dan Indonesia saat ini semakin buruk. Peranan militer yang kian ‘menyebar’ di segala aspek kehidupan semakin menguatkan dominasi militer di Tanah Papua. Pengiriman pasukan yang terus meningkat ke Tanah Papua sejak tahun 2018 sampai saat ini dapat mengancam ruang sipil masyarakat adat Papua. Hal senada juga ditegaskan oleh Perwakilan Dewan Gereja Papua Pendeta Dr. Beni Giyai. Menurut Dr. Beni, ruang kebebasan bersuara tentang ketidakadilan dan ketidakbenaran di Tanah Papua selalu diperhadapkan dengan alat Negara yakni militer, baik TNI maupun Polri. Lebih lanjut Pendeta Beni, pemekaran daerah otonomi baru di Tanah Papua juga menyebabkan persoalan semakin banyak yang tidak tahu kapan diselesaikan. Perwakilan Fransiskan Internasional Indonesia, Papang Hidayat menjelaskan bahwa dunia internasional terus memberikan perhatiannya pada situasi hak asasi manusia di Tanah Papua. Di dalam sharingnya, Papang Hidayat menyampaikan bahwa pada Maret 2024, situasi HAM (SIPOL, EKOSOB dan Lingkungan) didiskusikan dan dibahas dalam forum internasional di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam kesempatan ini juga suara tentang para pengungsi internal di beberapa wilayah konflik di Tanah Papua juga tersampaikan.
Berbagi kisah antar SKPKC se-Tanah Papua
Pada kesempatan ini, SKPKC se-Tanah Papua berbagi kisah pelayanan dan peristiwa atau kondisi HAM di wilayah layanan masing-masing. Di daerah kepala burung, Sorong Raya, SKPKC OSA berbagi tentang situasi pengungsi internal, khususnya di daerah Maybrat. Direktur SKPKC OSA P. Heribertus Lobya OSA menyampaikan bahwa berdasarkan informasi yang dihimpun oleh SKPKC OSA, sekitar 500-an pengungsi internal tersebar di beberapa daerah di Sorong Raya. Para pengungsi internal ini harus meninggalkan daerahnya karena konflik bersenjata di Maybrat. Pihak Gereja berusaha memberikan dampingan seperti penguatan di dunia pendidikan kepada anak-anak yang mengungsi, bantuan kemanusiaan dan pendampingan rohani. Selain itu SKPKC OSA melihat derasnya investasi yang masuk ke wilayah kepala burung yang semakin massif. Hal ini menyebabkan masyarakat kehilangan hak ulayatnya. Salah satu solusi yang mulai dilaksanakan adalah bersama dengan masyarakat adat melakukan pemetaan wilayah adatnya.
Wilayah tengah, SKP Keuskupan Timika berbagi kisah dengan Gerakan Tungku Api di keuskupannya. Melanjutnya harapan Alm. Uskup John Saklil, SKP Keuskupan Timika berharap, Gereja terus mengenal dirinya dan mengambil tugasnya sebagai gembala yang selalu mendampingi umatnya. Direktur SKP Keuskupan Timika, Saul Wanimbo menjelaskan bahwa pihaknya bersama dengan para imam/pastor di Keuskupan Timika berefleksi dan mencari metode pastoral yang cocok di wilayah konflik. Menurut Saul, wilayah Keuskupan Timika merupakan salah satu wilayah keuskupan di Tanah Papua yang hampir selalu terjadi konflik bersenjata. Pihak SKP Keuskupan Timika juga menggarisbawahi derasnya investasi pertambangan di wilayahnya. Selain tambang emas Block Wabu, Intan Jaya yang selalu menjadi wilayah konflik bersenjata, rencana pertambangan Migas di daerah Agimuga juga akan mendatangan persoalan bagi lingkungan dan masyarakat adat di sana.
Wilayah Keuskupan Agats berbagi kisah terkait pendampingan umatnya, khususnya yang mengalami gizi buruk, persoalan narkoba dan melakukan pemantauan dan bantuan terhadap pengungsi dari Nduga. Sedangkan wilayah Keuskupan Jayapura, Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) Keuskupan Jayapura saat ini masih melakukan pengarsipan dan penguatan kapasitas organisasi. Menurut Sekretaris KKPKC Keuskupan Jayapura Elias Gobay, komisi baru terbentuk dan konsen komisi pada penguatan organisasi dan pengarsipan. Masih di wilayah Keuskupan Jayapura, Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua melaksanakan kegiatan animasi, pendokumentasian, publikasi, advokasi serta pendampingan mereka yang tersinggirkan yakni orang dengan HIV AIDS. Menurut Direktur SKPKC Fransiskan Papua P. Alexandro Rangga OFM, yang akan dikembangkan ke depannya adalah ekopastoral, memanfaatkan lahan yang ada untuk pengembangan pertanian organic dan eko biogas. Selama kurang lebih 4 tahun terakhir ini, SKPKC Fransiskan Papua juga rajin melakukan kampanye atau membangun narasi yang holistic dengan persoalan HAM di tanah Papua.
Proses sharing pelayanan ini, dimoderasi oleh Dr. Budi Hernawan. Mendengarkan berbagai kisah pengalaman dari setiap SKPKC, Dr. Budi berharap, setiap SKPKC mampu menggali kekuatan, kelemahan, tantangan dan peluang yang ada. Doktor Budi berharap, pada akhir dari sharing atau kegiatan ini, SKPKC dapat merumuskan rekomendasi yang menjadi langkah konkret untuk dilaksanakan selama 3 tahun ke depannya.
Belajar Hukum Humaniter Internasional
Pada kesempatan ini, SKPKC se-Tanah Papua mengundang Dr. Budi Hernawan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang Hukum Humaniter Internasional. Doktor Budi Hernawan merupakan mantan Direktur SKP Keuskupan Jayapura (saat ini SKPKC FP) dan Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Selain itu dia juga pernah bekerja untuk Palang Merah Internasional. Dengan pengetahuan dan pengalamannya, peserta SKPKC se-Tanah Papua secara tekun mengikuti pelatihan Hukum Humaniter tersebut. Di dalam pemaparan materinya, Dr. Budi mengatakan bahwa Hukum Humaniter dan Hukum HAM internasional adalah dua instrument yang saling mendukung dan berdampingan. Yang membedakan, Hukum Humaniter Internasional biasanya diterapkan pada situasi konflik bersenjata.
Di akhir dari setiap pemaparan materinya, peserta diberikan kesempatan untuk berdiskusi di dalam kelompok untuk membedah kasus dengan menggunakan Hukum Humaniter Internasional. Pertanyaan menarik dari salah satu peserta adalah apakah hukum humaniter internasional ini dapat diterapkan di Tanah Papua, khususnya di daerah yang konflik? Menurut Dr. Budi, saat ini belum bisa dipastikan karena belum ada status yang jelas dari Negara Indonesia terkait dengan situasi konflik di Tanah Papua. Di dalam Hukum Humaniter, warga sipil dan ruang sipil harus dihormati dan tidak boleh dikorbankan ketika terjadi konflik bersenjata. Pada hari terakhir, peserta diberikan kesempatan untuk mempraktekan bagaimana hukum humaniter itu bekerja. Ada yang berperan sebagai pasukan militer, jurnalis, palang merah dan pengungsi.
Pada kesempatan ini juga SKPKC se-Tanah Papua memilih Pater Heribertus Lobya OSA sebagai Koordinator SKPKC se-Tanah Papua untuk masa bakti 2024-2027. Akhir dari segala proses ini, SKPKC se-Tanah Papua menyusun beberapa rekomendasi sebagai langkah konkret bersama menghadapi persoalan HAM di Tanah Papua.
By. Admin