Diskusi Buku ‘Papua: Antara Berkat dan Kutuk’ di Jayapura, Papua
Dokumentasi situasi di Tanah Papua dalam perspektif hak asasi manusia merupakan pekerjaan rutin yang dilakukan oleh Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC FP) sejak tahun 1999. Usaha ini merupakan salah satu tanggung jawab moral SKPKC FP terhadap masyarakat Papua. SKPKC FP merupakan salah satu lembaga Gereja Katolik yang bergerak di jalur non sakramental dalam Gereja Katolik. Dokumentasi SKPKC FP selalu diberi nama Memoria Passionis (MP). Pada tahun 2024, SKPKC FP menerbitkan buku seri Memoria Passionis yang ke-42. Berdasarkan refleksi dari catatan kritis dan kronik yang tertuang di dalam buku MP, tim SKPKC FP memberi judul seri MP no. 42 ‘Papua: Antara Berkat dan Kutuk’. Pada Kamis, 22 Agustus 2024, bertempat di Aula Balai Latihan Kerja (BLK) Multi Media SKPKC FP, sebagai pertanggungjawaban ke publik, SKPKC FP melaksanakan diskusi buku tersebut.
“Rencana awalnya, diskusi buku ini dilaksanakan pada awal tahun 2024. Tetapi karena pekerjaan dokumentasi kronik ini tidak gampang dan perlu waktu sehingga baru dilaksanakan pada Agustus ini. Sebelum di Papua, kami telah melakukan diskusi buku ini di Jakarta dan Yogyakarta. Hal ini berkaitan dengan program dari SKPKC Fransiskan Papua untuk melakukan counter narrative. Menarasikan Papua dari perspektif Papua,” ungkap Direktur SKPKC FP Pater Alexandro Rangga OFM.
Lebih lanjut Direktur SKPKC FP Pater Alexandro Rangga OFM mengatakan bahwa fokus membangun narasi ini lebih difokuskan kepada orang-orang di luar Papua agar mempunyai pemahaman yang holistic dan berimbang tentang Papua.
Mendalami Buku Papua: Antara Berkat dan Kutuk
Pada kesempatan ini, SKPKC FP mengundang dua penanggap yakni pihak Komnas HAM RI Perwakilan Papua dan Jurnalis Media Jubi Papua. Sedangkan yang mewakili tim penulis atau SKPKC Fransiskan Papua Pater Goklian Haposan OFM. Menurut Pater Goklian OFM judul buku ‘Papua: Antara Berkat dan Kutuk’ ini seperti sekeping uang logam. Ada sisi berkat dan yang lainnya ada sisi kutuk. Kedua sisi ini tidak terpisahkan dan sama-sama berjalan.
“Kenapa diberi judul ‘Papua: Antara Berkat dan Kutuk’ ini, karena kami melihat sepanjang tahun 2023 peristiwa-peristiwa atau fakta-fakta kejadian dengan berbagai temanya seperti sekeping uang logam, dua sisi yang bersebelahan. Satu sisi rasanya menjadi berkat, satu rasa sepertinya kutuk. Dan ini tidak terpisahkan. Jadi setiap peristiwa yang terjadi di Papua sepanjang tahun 2023 mengandung dua hal ini. Apakah ini berkat atau kutuk,” jelas Pater Goklian OFM.
Lebih lanjut Pater Goklian menambahkan bahwa di akhir dari catatan kritis setiap bab, penulis memberikan rekomendasi kepada pemerintah, masyarakat, media dan lainnya agar sisi-sisi yang kelihatan kutuk bisa menjadi berkat. Yang terasa kutuk itu bisa diminimalisir sehingga menjadi banyak berkat.
Ketua Tim Penegakan dan Pemajuan HAM, Komnas HAM Perwakilan Papua Melchior Suban Weruin menilai penulisan buku ini merupakan salah satu dari ungkapan kebebasan berekspresi. Judul buku yang diterbitkan oleh SKPKC FP pada tahun 2024 ini sangat menantang. Walaupun demikian masih ada beberapa kesalahan tipo (ketik) yang bisa diperbaiki oleh SKPKC Fransiskan Papua ke depannya.
“Kalau melihat judul buku ini, kita selalu diberikan judul-judull buku yang fantastis begitu. Seperti sebelumnya ada judul buku Papua Bukan Tanah Kosong. Judul buku yang dibuat oleh SKPKC biasanya selalu menantang. Mewakili Komnas HAM, kami mengucapkan apresiasi karena SKPKC selalu konsisten dalam melakukan pendokumentasian situasi Papua. Ini seri yang ke-42, berarti sudah sudah 42 kali terbitkan SKPKC tentang situasi HAM Papua. Dalam konteks HAM, pendokumentasian ini dapat di sebut kerja-kerja para pembela HAM. Di dalam buku saya menemukan beberapa kesalahan typo dan harapannya bisa diperbaiki ke depannya oleh Tim SKPKC,” ungkap Melchior Weruin.
Lebih lanjut Melchior menyampaikan bahwa membaca buku ini sepertinya merasa ‘final’ duluan. Kronik atau catatan situasi HAM di Papua ditempatkan di bagian belakang dengan pembagian tema-tema HAM. Menurut Melchior, sebaiknya kronik ditempatkan di depan sehingga bisa menghantar para pembaca untuk melihat situasi HAM di Papua.
Melchior Weruin juga menyoroti bagaimana penerapan UU Otsus Papua. Menurut Melchior, Otsus itu pada afirmatif action, ada diskriminasi di dalamnya. Tidak ada ada evaluasi yang dilakukan terkait pelaksanaan UU Otsus tersebut. Sebenarnya di dalam UU Otsus, LIPI sudah menjelaskan ada empat akar masalah di Tanah Papua yang harus diselesaikan. Yang pertama yang harus diselesaikan adalah sejarahnya, ini yang akar masalah di Papua.
“Status Papua ada di bicarakan di Otsus yaitu membentuk KKR. Yang dimaksud dalam KKR itu adalah berbicara meluruskan sejarah. Ini amanat Otsus tapi tidak dijalankan. Yang lainnya seperti afirmatif, gubernur dan wakilnya, bupati dan wakilnya adalah orang asli Papua, tetapi ketika naik sebagai pejabat ada situasi dimana sekolah tidak jalan, tenaga Nakes mengamuk karena belum dibayar gajinya. Afirmasinya sudah dikasih, kita tidak bisa menyalahkan yang di luar saja, kita juga harus menyalahkan kita orang asli sendiri,” jelas Melchior Weruin.
Yuliana Lantipo dari Media Jurnalis Jubi Papua, menjelaskan bahwa ketika menyimak isi buku ini, sepertinya kutuk yang lebih banyak.
“Kita belum selesaikan, belum selesai satu kasus, belum selesai advokasinya, muncul lagi kasus yang baru. Jadi memang bikin pusing. Kalau mau bilang Papua tanah damai juga agak susah karena terus terjadi konflik,” jelas Yuliana Lantipo.
Salah satu peserta diskusi, Pendeta Matius Adadikam dari Elsham Papua, melihat persoalan yang diangkat di dalam buku Papua: Antara Berkat dan Kutuk, seperti ada ‘payung’ besar yang menaungi di Papua, payung itu adalah politik. Jadi semua hal dipolitisasi.
“Ada payung besar yang menaungi Papua. Payung itu adalah politik. Semua hal yang terjadi di Tanah Papua dipolitisir. Semua hal in terjadi berulang-ulang,” ungkap Pendeta Matius Adadikam.
By Admin