Sejak Desember 2018, masyarakat asli Papua di beberapa wilayah mengungsi dari tempat tinggalnya, tanahnya. Kasus penembakan karyawan PT Istaka Karya oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) di Tanah Ndugama (Kabupaten Nduga) berdampak pada pengungsian warga setempat. Warga terpaksa keluar dari kampung halamannya karena terjadi penyisiran oleh aparat keamanan, mengejar TPN PB. Pada September 2023 terjadi penyerangan Pos Koramil Kisor, Maybrat, Papua Barat. Kasus ini berdampak juga pada warga setempat. Warga harus mengungsi dari daerahnya karena penyisiran atau pengejaran pelaku oleh aparat keamanan. Peristiwa konflik bersenjata di Intan Jaya pada September 2021 yang sampai saat ini tak kunjung henti berdampak juga pada pengungsian warga. Di tahun 2024, di awal Desember, menurut informasi terjadi bahwa aparat TNI masuk ke kampung-kampung di Distrik Oksop, Pegunungan Bintang yang berdampak pada pengungsian warga dari lima kampung di Distrik Oksop. Dan masih ada di beberapa wilayah lainnya di Tanah Papua, warga Papua harus mengungsi atau keluar dari kampungnya untuk mencari tempat yang damai dan aman.
Ingin Kembali
Beberapa wilayah di Tanah Papua sampai saat ini terus bergejolak, sebut saja Intan Jaya, Yahukimo, Nduga, Pegunungan Bintang dan Maybrat. Perbedaan pandangan atau kemauan politik (sejarah politik integrasi Papua) dan persoalan politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi penyebab konflik tersebut. Di satu sisi, masing-masing kelompok atau pihak yang bertikai mengklaim kebenarannya, berdalil terhadap segala tindakannya. Di sisi lain, sangat banyak kelompok warga sipil yang tak bersalah dikorbankan. Mau tidak mau, suka tidak suka, nilai-nilai kemanusiaan terpaksa dikorbankan. Nyawa manusia melayang, tempat tinggal dibakar dan dikuasai, pengungsi meninggal di tempat pengungsian, pelayanan publik bagi warga terpaksa dihentikan dan anak-anak terpaksa lari dan mengalami trauma psikologis.
Peristiwa pengungsian internal di Tanah Papua melahirkan luka dan derita bagi korban. Walaupun demikian, para pengungsi mempunyai satu harapan yakni kembali ke kampungnya, kembali ke dusunnya.
“Kami ingin kembali ke kampung kami. Kami ingin sekolah kami kembali berjalan”. – Pengungsi Intan Jaya
“Kami ingin rayakan natal di kampung kami. Tarik seluruh aparat militer dari kampung kami”. – Pengungsi Pegunungan Bintang
“Kami ingin kembali ke kampung kami. Kehidupan kami ada di kampung kami. Di sini kami tinggal di orang punya tanah. Kami bisa baku marah dan berkelahi antara kami”. – Pengungsi Maybrat, Sorong.
Di dunia internasional, urusan pengungsi internal diserahkan kepada United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Secara global pengungsi internal atau Internally Displaced People (IDPs) telah berkembang secara meluas karena bencana alam dan bencana yang diciptakan oleh manusia. Di Negara Indonesia ada pengungsian internal yang terjadi karena bencana alam seperti Tsunami Aceh pada Desember 2004, pengungsian internal terjadi karena erupsi Gunung Sinabung pada Desember 2013, Erupsi Gunung Berapi Lewotobi Laki-laki pada November 2024. Selain bencana alam, pengungsian internal warga terjadi karena bencana manusia. Bisa diartikan situasi konflik yang disebabkan oleh manusia yang menyebabkan manusia lainnya harus mengungsi, mencari tempat perlindungan, mencari tempat untuk hidup aman dan damai. Pengungsian jenis kedua ini banyak kali terjadi di wilayah di Pulau Papua.
Dewan Gereja Papua dan pekerja kemanusian di Tanah Papua mencatat hampir sekitar 6000-an lebih warga mengungsi dari kampungnya. Pengungsian internal warga di beberapa wilayah di Tanah Papua seperti di Maybrat, Yapen, Fakfak, Paniai, Intan Jaya, Nduga dan Pegunungan Bintang menggambarkan bahwa konflik masih tetap dan terus terjadi di Tanah Papua. Situasi konflik karena pelurusan sejarah diperparah dengan situasi konflik karena Pemilihan Umum Kepala Daerah di beberapa wilayah di Tanah Papua. Mimpi untuk hidup tenang, damai dan aman di tanah sendiri perlu diperjuangkan terus. Mungkinkah Pemerintah Indonesia melibatkan UNHCR dalam urusan pengungsian internal?
Semua manusia yang hidup di Tanah Papua tidak menginginkan konflik bersenjata terus terjadi. Keinginan agar kedua belah pihak yang berkonflik menyelesaikannya secara damai dan bermartabat. Warga asli Papua di kampung-kampung menghendaki hidup damai, mengolah tanahnya dengan sukacita, menjalankan aktivitasnya dengan gembira seperti di daerah lainnya. Mungkinkah kelompok yang bertikai duduk bersama, berdialog mencari solusi konflik ini? Dapatkah setiap tahun pada Desember, orang asli Papua merayakan natal dalam keadaan damai dan sukacita? Hidup damai, sukacita, nyaman, dukacita, sebaiknya tak perlu dijelaskan dengan menggunakan nalar yang panjang lebar, tetapi perlu diresapi di dalam sanubari setiap orang, kelompok bertikai, para pengambil kebijakan dan lain sebagainya, karena situasi sukacita dan damai sangat melekat dalam pribadi setiap orang.
Oleh
Bernard Koten