Masyarakat Adat Yerisiam Gua Nabire: Pertahankan Hak Ulayat

“Sebuah Refleksi”

Tanah Papua masih begitu nyaman bagi para investor untuk menanamkan saham dan mengembangkan usahanya. Persoalan hutan yang rusak, usaha lawan masyarakat pemilik ulayat dari ketidakadilan investor masih menjadi isi berita dan tak tahu kapan berhenti. Perjuangan masyarakat Adat Suku Yerisiam Gua di Kabupaten Nabire di pertengahan awal tahun 2016 dapat juga dijadikan contoh bagaimana masyarakat semakin sadar akan keberadaan alam, hutan dan tanah menjadi salah satu hal yang terpenting di dalam kehidupan ini. Kesadaran masyarakat adat di Suku Yerisiam Gua untuk secara bersama menolak ketidakadilan dari perusahaan kelapa sawit PT Nabire Baru. Perusahaan Kelapa Sawit PT Nabire Baru di Wilayah Adat Yerisiam Gua Nabire sudah mulai beroperasi pada tahun 2008 dengan total lahan perkebunan mencapai 17.000 Ha. Lahan tersebut dialihkan dari perusahaan kelapa sawit sebelumnya PT Harvest Raya. Padahal pada September 2007, masyarakat adat telah menolak PT Harvest Raya dengan surat penolakan tertanggal 19 September 2007. Masyarakat adat menilai bahwa perusahaan tidak dapat bekerja sama dengan masyarakat dan belum mensosialisasikan usaha dan kegiatannya kepada masyarakat pemilik ulayat. Walaupun demikian Bupati Nabire mengeluarkan Izin Lokasi dan IUP dalam SK Bupati No.96 tahun 2007 tanpa ada kesepakatan dengan dan diskusi dengan masyarakat pemilik ulayat. Selain SK Bupati Nabire, gubernur pada saat itu juga mengeluarkan SK No.142 tahun 2008 tentang Pemberian Ijin Usaha Perkebunan kepada PT Nabire Baru sementara itu AMDAL belum disahkan. Untuk usaha itu dapat juga disaksikan dalam video dengan link : https://www.youtube.com/watch?v=dU70y-SQsjo)

Persoalan investor dengan masyarakat adat di Suku Yerisiam Gua Nabire bukan persoalan yang baru terjadi di Tanah Papua. Kalau kita berbalik ke belakang ada persoalan masyarakat pemilik ulayat Suku Marin di Kabupaten Merauke dalam proyek MIFEE, persoalan masyarakat adat Arso dengan PT PN II dan PT Tandan Sawita Papua, persoalan masyarakat adat suku Malind Deq Distrik Muting Kabupaten Merauke yang mempertahankan lahannya 200.000 Ha dari kepungan perusahaan kelapa sawit dan masih ada yang lainnya (Untuk usaha ini dapat juga disaksikan dalam video documenter terkait advokasi suku Malind Deq dengan judul videonya “The Mahuze’s). Di daerah atau wilayah Papua Barat, misalnya di Kabupaten Sorong antara masyarakat Suku Mooi dengan PT Henrison Inti Persada yang beroperasi pada tahun 2006, di Kabupaten Sorong Selatan dan Maybrat (Bdk. Atlas Sawit Papua yang diterbitkan oleh PUSAKA) pun memiliki persoalan yang hampir sama. Perusahaan atau investor dengan cepat mengembangkan usahanya tanpa sepengetahuan masyarakat pemilik ulayat. Janji-janji manis yang disampaikan oleh perusahaan kepada masyarakat tidak dijalankan. Selain itu karena relasi yang mungkin cukup akrab dan ‘tamparan uang’ kepada beberapa tokoh masyarakat dan Pemda setempat, hidup banyak orang dikorbankan. Masyarakat sebagai tuan tanah perlahan-lahan dijadikan ‘budak’ dan tergantung pada investor, hal yang sama juga terjadi pada para pengambil kebijakan di daerah. Bahkan ada pola pikir yang berkembang di masyarakat bahwa “Kami menerima perusahaan agar kami dapat akses jalan dan listrik”. Pertanyaannya, bagaimana dengan tugas dan tanggung jawab Pemda setempat terkait dengan pelayanan publik tersebut?

Pelbagai persoalan diciptakan dan hadir dalam kehidupan masyarakat beriring masuknya investor. Misalnya di daerah pertambanagn emas Degeuwo, Kabupaten Paniai; konflik (penembakan terhadap warga sipil) dan maraknya penyakit HIV AIDS, di wilayah Yerisiam Gua Nabire; persoalan banjir yang melanda kampung, menghadirkan pihak keamanan (Brimob) sebagai Satpam dan sekaligus menakuti masyarakat yang melawan perusahaan (Bdk. Atlas Sawit Papua yang diterbitkan oleh PUSAKA dan Laporan dari Solidaritas Untuk Yerisiam Gua Nabire).

Hal lain yang masih tidak dimengerti sampai saat ini adalah salah satu proses yang harus dipenuhi adalah penerbitan dokumen AMDAL (Bdk. Peraturan Pemerintah RI No. 27 tahun 1999 tentang “Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup” pasal 7 ayat 1 mengatakan dengan jelas bahwa “Analisa mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang). Hampir di semua wilayah operasi investor dokumen ini terkesan menjadi formalitas. Pemerintah Daerah yang berwewenang penuh untuk mengeluarkan izin usaha tidak melihat lagi dampak-dampak dari kehadiran perusahaan di daerahnya. Dengan ringan dan mudah memberikan izin kepada pihak investor. Dalam konteks ini kita dapat mengatakan bahwa Pemda setempat juga menjadi ‘budak’ dari investor, yang mudah dibeli dan dibujuk. Lebih lanjut ketika persoalan muncul dari kegiatan investor tersebut, misalnya terror kepada masyarakat pemilik ulayat, persoalan ketenagakerjaan, para pemangku kebijakan sangat lamban dan terkesan membiarkan persoalan yang terjadi di masyarakat. Masyarakat pemilik ulayat menjadi kelompok yang rentan dan dipermainkan baik oleh investor maupun oleh Pemda setempat dalam hal ini.

Kembali lagi ke perjuangan Masyarakat Adat di Suku Yerisiam Gua, ada beberapa hal menarik yang dapat dijadikan catatan bagi kita. Catatan ini berdasarkan hasil investigasi tim Solidaritas Untuk Masyarakat Yerisiam Gua.

  1. Berdasarkan pengakuan pemilik ulayat bahwa perusahaan Kelapa Sawit PT Nabire Baru memasukan kelapa sawit tanpa sepengetahuan mereka. Sesuai dengan kesepakatan awal bahwa hutan yang ada hanya digunakan untuk kayu log saja bukan selanjutnya diteruskan dengan usaha kelapa sawit. Usaha ini telah ditolak oleh masyarakat berdasarkan rapat bersama pada 1 Oktober 2007. Masyarakat Yerisiam melalui kepala sukunya mengeluarkan pernyataan untuk menolak rencana perkebunan kelapa sawit di tanah milik Yerisia Gua.
  2. Pada 21 September 2013 Kepala Suku Besar Yerisiam keluarkan press realese sebagai protes atas pendekatan militer di balik hadirnya PT. Nabire Baru.
  3. Pada 19 Januari 2015, Kepala Suku Yerisiam telah mengirimkan surat kepada Bina Mitra, Polres Nabire untuk menarik anggota PAM Brimob yang bertugas di PT Nabire Baru.
  4. Semenjak adanya perusahaan, kawasan hutan dan tempat-tempat penting tersebut dibongkar dan digusur, hingga merusak dan merubah rona lingkungan alam akibat eksploitasi, penggusuran dan pengerukan tanah secara luas. Aliran air dari anak sungai menjadi kabur dan kering tertutup gusuran tanah. Air di sungai besar Sima menjadi kabur airnya. Perubahan ini juga menganggu kehidupan mahluk laut di perairan Teluk Cendrawasih. Masyarakat dikampung setempat, Kampung Wanggar, Worawi, Sima, Wamijaya, menceritakan kesulitan mereka mendapatkan hasil buruan di hutan dan hasil tangkapan ikan di laut, yang diduga karena terjadi pembukaan hutan luas dan pencemaran air hingga ke laut. Pada gilirannya kwalitas kebutuhan dan hasil pangan dan sosial ekonomi masyarakat semakin berkurang, tidak sebanding dengan manfaat yang diterima perusahaan.
  5. PT. NB telah melakukan pembongkaran dan penggusuran lahan dan hutan sebelum ada AMDAL dan HGU. Hingga saat ini, masyarakat setempat belum pernah dilibatkan dalam membicarakan AMDAL;
  6. Perusahaan melakukan penebangan dan pemanfaatan kayu melibatkan perusahaan PT. Sariwarna Unggul Mandiri, yang dimiliki PT. NB sendiri, hal ini mengingkari ketentuan bahwa dalam pemanfaatan kayu dikelola oleh industri kayu rakyat setempat dan bermitra dengan masyarakat pemilik ulayat, menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat dalam rangka community development. Nilai pembayaran kompensasi kayu masih sangat rendah dibawah standar pasar setempat, sebaliknya perusahaan PT. SUM pengelola kayu mendapatkan nilai lebih yang besar.
  7. Penebangan kayu dilakukan tanpa melihat dan berdasarkan sistem pengetahuan dan sistem nilai konservasi masyarakat setempat, sehingga daerah yang semestinya dienclave dan dilindungi turut dibongkar dan digusur, sehingga menimbulkan permasalahan sosial dan ekologi.
  8. Sepanjangan Januari-April 2016: pemilik ulayat bersama koalisi menggugat PT Nabire Baru. Pada persidangan putusan sidang, 5 April 2016 di PTUN Jayapura, hakim memutuskan bahwa PT Nabire Baru menang dalam kasus gugatan tersebut. Pada persidangan tersebut PT Nabire Baru menghadirkan juga saksi dari masyarakat setempat yang tidak memiliki ha katas tanah ulayat. Kehadiran perusahaan mengadudomba masyarakat setempat.

Pada tahun 2016, Pemprov Papua mencanangkan tahun investasi bagi Papua. Tentunya wacana tersebut memberikan angin segar bagi para investor untuk terus menanamkan investasi dan sahamnya di Papua. Wacana ini juga tentunya menjadi ‘ruang yang nyaman’ bagi investor karena niat dan keinginannya direstui oleh pemangku kebijakan di Papua.

Konflik, kerusakan hutan, kematian warga dan penyakit sosial yang terjadi tidak menjadi hambatan akan keinginan dan kerakusan bagi pihak dan pemangku kepentingan di Papua.

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *