Oleh: Alexandro Rangga, OFM
Pengantar
Situasi sosial budaya Asmat mengalami perkembangan sejak datangnya para misionaris pada tahun 1960-an. Interaksi dengan dunia luar yang membawa serta perkembangan struktur sosial budayanya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya-budaya baru nan modern turut mewarnai jati diri manusia Asmat. Meskipun demikian, hal tersebut belum mengeser seluruhnya budaya masyarakat Asmat sebagai manusia peramu. Kalaupun ada, itu adalah bentuk-bentuk meramu baru.
Situasi Sosial Budaya Asmat Dulu
Alam atau hutan mempunyai fungsi yang amat vital bagi manusia Asmat. Alam atau hutan diperlakukan secara hormat karena ia adalah lambang kehidupan. Alam tidak hanya menyediakan bagi mereka makanan seperti sagu, babi hutan, burung-burung, ikan, udang dan lain-lain tetapi juga simbol diri dan relasi dengan yang supernatural. Orang Asmat menyebut diri mereka sebagai As Asmat atau Manusia Pohon atau dengan sebutan lain Asmat Ow atau Manusia Sejati. Menurut cerita mitos, mereka meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari pohon yang diciptakan oleh Fumeripits. Itulah sebabnya pohon itu identik dengan manusia. Akarnya ialah kaki, batang pohon ialah tubuh manusia, cabang-cabangnya ialah tangan dan buahnya ialah kepala manusia. Fungsi vital alam dengan geografis alamnya yang berlumpur dan berawa-rawa pun turut membentuk masyarakat Asmat sebagai masyarakat peramu. Hal ini turut mempengaruhi struktur sosial masyarakat dan relasi antar anggotanya. Relasi kesatuan keluarga dan anggota kelompok dalam satu kampung atau rumpun amatlah erat karena turut berkaitan dengan kampung dan hutan/dusun yang menyediakan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Tanpa kesatuan dan kekuatan kelompok, mereka akan kehilangan dusun yang merupakan lumbung pangan karena kalah dalam perang antar suku. Itulah juga sebabnya masyarakat Asmat dulu sering diidentikkan dengan kanibalisme karena tradisi perang dan pengayauan mengumpulkan tengkorak musuh. Mereka yang banyak mengumpulkan tengkorak musuh dianggap sebagai Tesmaipits atau Manusia Pemberani.
Seiring dengan kedatangan para misionaris pada tahun 1960-an, situasi perang antar suku dan pengayauan mulai berkurang hingga akhirnya berhenti sama sekali. Menurut catatan sejarah, para misionaris menanamkan dalam diri orang Asmat bahwa yang disebut Tesmaipits atau Manusia Pemberani, bukan lagi mereka yang berperang dan mengumpulkan tengkorak musuh melainkan mereka yang mewartakan dan mengusahakan perdamaian antar kampung atau dusun.
Situasi Sosial Budaya Asmat Kini
Unsur ekonomi amat mempengaruhi kebudayaan Asmat. Akibatnya budaya Asmat sebagaimana digambarkan di atas, kini telah mengalami pergeseran di sana sini. Alam meskipun masih mempunyai nilai yang sakral kini juga telah dikomersilkan. Pohon-pohon ditebang untuk pembangunan, hasil hutan tidak lagi sekedar untuk kebutuhan konsumsi tetapi juga untuk diperjual-belikan. Jika dulu mereka meramu alam, kini sebagian meramu kebijakan-kebijakan pemerintah terutama berkaitan dengan Alokasi Dana Kampung. Agama Katolik memang menjadi agama mayoritas. Akan tetapi keseluruhan hidup orang Asmat masih dipengaruhi oleh keyakinan tradisional mereka terutama berkaitan dengan dunia roh yang bercorak animisme dan dinamisme. Bahkan prinsip resiproritas yang menjadi ciri masyarakat Melanesia pada umumnya pun masih berakar kuat. Segala sesuatu mesti ada timbal baliknya. Itu sebabnya pula, visi gereja menjadi pilar masyarakat di samping budaya Asmat itu sendiri menghadapi tantangan yang berat. Berbagai strategi pemberdayaan masyarakat seperti tidak menampakan hasil apa-apa. Bahkan yang paling nyata, ungkapan-ungkapan iman (dan seni) yang tertuang dalam ukiran-ukiran Asmat pun tidak lagi semata-mata bernilai religi tetapi juga ekonomis. Banyak pengukir Asmat yang membuat ukirannya sekenanya saja lalu menjajakannya dari rumah ke rumah dengan harga yang murah. Kini, tradisi ukir-mengukir ini coba dilestarikan dengan Pesta Budaya Asmat yang biasa diselenggarakan pada awal bulan Oktober setiap tahun (tahun ini berlangsung dari 6-11 Oktober 2016). Namun, nilai magis religi dan seninya telah jauh berkurang.
Di samping itu, rumah adat yang disebut Jew atau Rumah Bujang yang dulu memegang peranan yang sangat penting pun telah mengalami pergeseran bahkan hilang sama sekali. Tempat yang semula berpusat sebagai sarana untuk membicarakan hidup bersama di kampung, kini fungsinya meluas. Tidak hanya berkaitan dengan perang dan urusan adat tetapi juga berkaitan dengan agama, pemerintahan, sosial dan semua hal yang berkaitan dengan hidup bersama. Sayangnya, di beberapa kampung, Rumah Bujang sebagai rumah adat sudah tidak ada lagi. Perannya telah digantikan oleh Balai Kampung atau Balai Desa. Dengan demikian, pokok pembicaraan pun menyempit pada urusan pemerintahan saja.
Selain itu perjumpaan dengan budaya-budaya baru dari sekitar 30-an suku pendatang di Kabupaten Asmat (per 1987) pun turut mempengaruhi relasi sosial. Misalnya pemakaian Bahasa Indonesia yang makin umum, yang dipengaruhi juga oleh makin banyaknya generasi muda Asmat yang memperoleh pendidikan dasar dan menengah pertama. Selain itu, orang Asmat mulai merasa termarginalkan baik dalam birokrasi pemerintahan maupun sebagai subjek pembangunan itu sendiri. Sementara kaum pendatang lebih sejahtera yang tampak lewat pekerjaan yang tetap, perumahan yang permanen. Hal ini dipertajam oleh pola-pola pemukiman yakni adanya perumahan orang Asmat yang kumuh dan kurang terawat di samping perumahan pemda atau perumahan pendatang yang lebih mapan dan terurus.
Penutup
Demikianlah sedikit gambaran sosial budaya masyarakat Asmat kini. Agak sulit membuat pemisahan yang tegas antara dahulu dan sekarang. Hal ini terjadi karena meskipun dari segi pembangunan dan perkembangan Kabupaten Asmat mengalami banyak perubahan, secara sosial budaya mereka masih manusia Asmat sejati yang hidup dari meramu. Hanya pola-pola meramunya saja yang semula hanya pola-pola sederhana, tradional, dan naturalis, kini ada juga pola-pola yang lebih canggih, modern dan teknis.
Thanks for any other great post. Where else may anybody get
that type of information in such an ideal manner of writing?
I’ve a presentation next week, and I’m on the look for such information.
sorry, i can’t speak english. bisa browsing di internet terkait dengan asmat. ada sebuah buku yang bagus tentang persoalan ini yakni ‘Dukun Asmat’ yang ditulis oleh Willem Adii