Bagian Pertama
Pengantar
Papua pada semester pertama 2016 (Januari – Juni) dengan segala perjalanannya selalu menjadi perhatian publik baik local, nasional maupun internasional. Persoalan yang focus dan akan dibahas dalam edisi kali ini adalah pendidikan dari terang Otsus, bungkamnya ruang ekspresi dengan munculnya Maklumat Kapolda Papua, penyelesaian persoalan pelanggaran HAM, persoalan sumber daya alam dan investor. Pembahasan di dalam tulisan ini berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari media (cetak dan internet), berdasarkan laporan-laporan mitra dan hasil investigasi SKPKC Fransiskan Papua. Selain itu kesaksian dan catatan khusus bagi Sang Pejuang (Alm. Robert Jitmau, pejuang pasar mama-mama Papua) dari seorang sahabatnya Dr. Budi Hernawan kiranya menjadi bahan menarik dalam permenungan kita di semester pertama ini.
Selamat membaca!!!
Pendidikan
Pendidikan merupakan Hak Asasi Manusia. Bahkan UUD 1945 melihat pendidikan sebagai dasar dari terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas yang bisa mensejahterakan bangsa dan Negara. Ini terlihat dalam rumusan tujuan pendidikan nasional sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Pendidikan No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam UU tentang Otsus, pendidikan justru sangat diperhatikan. Selain untuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, dana Otsus juga diperuntukan bidang pendidikan. Akan tetapi, realitas justru menampakkan wajah pendidikan yang tak menggairahkan. Di tengah berlimpahnya perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan (lih. Cepos 14 januari 2016) dan juga alokasi dana otsus yang lumayan banyak, pendidikan yang berjalan seolah tak menemukan wajah gembira dan cerah.
Di tahun 2016, pendidikan di tanah Papua justru belum menggembirakan. Ada masalah guru yang tidak pernah masuk sekolah, masalah kesejahteraan guru (lih. Koran Bintang Papua, 8/1/2016), masalah akses dan juga masalah dana yang tak pernah berujung (lih. Bintang Papua, 27/1/2016).
Realitas yang dipertontonkan sangat ironi memang, terutama ketika di satu sisi kita mengagumi berlimpahnya Sumber Daya Alam tetapi di sisi lain, pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan masyarakat justru tidak pernah menunjukkan perubahan. Lalu muncul pertanyaan, ke mana uang yang lumayan banyak yang dialokasikan dari dana Otsus? Benarkan para pejabat memberikan perhatian yang serius tentang pendidikan di tanah Papua ini? Atau adakah model pendidikan yang berwarna lain yang lahir dari keprihatinan masyarakat lokal? Ataukah sekolah di zaman ini telah menjadi lahan bisnis yang tujuannya mendapatkan keuntungan financial yang berlimpah, tak peduli dengan kualitas manusianya?
Beragam pertanyaan masih dapat kita tanyakan; akan tetapi satu hal yang sudah pasti bahwa realitas pendidikan kita di tanah Papua masih sangat jauh dari tujuan yang dicita-citakan. Lalu apa yang salah dengan pendidikan kita? Kurikulum telah diperbaiki, tenaga guru terus diperbanyak jumlahnya dan kompetensinya terus ditingkatkan dengan berbagai jenis pelatihan, uang yang dialokasian ke pendidikan semakin tahun semakin meningkat, fasilitas sekolah semakin hari semakin menjadi baik dan layak. Lalu, apa lagi yang belum dibenahi sehingga wajah pendidikan di Papua ini seolah tak menunjukkan wajah yang menggairahkan?
Ada satu hal yang seringkali lupa atau sengaja kita abaikan dalam pendidikan kita, yakini partisipasi masyarakat. Undang-Undang Pendidikan nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 ketika berbicara tentang Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, salah satu point yang disebutkan adalah pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Realitas yang selama ini dipertontonkan justru unsur ini tidak diperhatikan. Sekolah jalan sendiri, orang tua jalan sendiri, pemerintah pun jalan sesuai dengan kepentingannya sendiri. Apa akibatnya? Sekolah kadang terasa asing bagi masyarakat. Urusan sekolah meluluh urusan para guru dan pemerintah. Bahkan lebih parah lagi, sekolah adalah milik pemerintah dan para guru. Padahal sekolah berada di tengah dan dalam masyarakat. Dampaknya jelas, keterlibatan masyarakat hanya bergerak pada tataran menyekolahkan anak dan melengkapi keperluan anak-anak terkait dengan tuntutan sekolah. Padahal, berbicara tentang keterlibatan atau partisipasi harus juga mencakup keterlibatan dalam merencanakan, menjalankan dan evaluasi. Keterlibatan seperti ini justru sanggup menciptakan sebuah kondisi yang memungkinkan peserta didik merasa “at home” di sekolah dan masyarakat merasakan ada tanggungjawab yang harus mereka embankan dalam rangka meningkatkan mutu sekolah dan peserta didik.
Memang, hal ini bisa berjalan mengandaikan motif politik dan mencari rente dalam pengelolahan sekolah ditiadakan. Akan tetapi, rupanya motif yang demikian sulit dihilangkan, bahkan kehilangannya seolah dianggap tidak wajar. Lihat saja, dalam pemberitaan media, kita menemukan kasus korupsi, baik yang dilakukan oknum kepala daerah, maupun oleh dinas-dinas terkait. Tidak hanya sampai pada level itu, kasus korupsi di tingkat sekolah pun kadang juga terjadi, seperti misalnya penggelapan dana BOS dan dana-dana operasional lainnya (lih. Koran Bintang Papua, 27/1/2016). Realitas ini kemudian berdampak pada tertutupnya kemungkinan lahirnya sebuah pendidikan yang memiliki kemampuan mendobrak keterbelakangan dan kebodohan masyarakat. Tentu realitas ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua: Kebenara dan Pembenaran
Papua dan persoalannya masih terus menjadi sorotan publik. Dengan demikian mengajak semua pihak untuk berusaha menyelesaikannya. Persoalan yang dimaksudkan di sini adalah peristiwa pelanggaran HAM Sipol. Menjadi pertanyaan bagi hampir semua orang adalah sejauh mana penyelesaian kasus-kasus yang terjadi tersebut? Merujuk pada pertanyaan pokok ini, kita melihat bersama proses yang terjadi.
Sejak April 2016 Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah untuk “menyelesaikan sejumlah kasus HAM di Papua”. Sudah tentu langkah demikian sangat dihargai karena sampai saat ini banyak kasus HAM didiamkan tanpa penyelesaian semestinya. Mentri Koordinator Polhukam Luhut Panjaitan mulai tampil sebagai motor di belakang proses penyelesaian ini dan beliau berani menjamin semua kasus akan diselesaikan sebelum akhir tahun 2016. Ternyata sejumlah pertemuan awal diadakan di Jayapura maupun di Jakarta, dan selanjutnya dibentuk sebuah Tim HAM oleh Menko Polhukam (SKnya ttgl 18 Mei 2016). Pokoknya, proses penyelesaian kasus HAM di Papua berjalan selama 3 bulan terakhir ini. Sambil mengikuti proses ini, beberapa hal ingin dicatat sebagai berikut:
- Mengapa suatu Tim HAM khusus perlu disusun sedangkan Negara sudah memiliki suatu instansi resmi yang diberikan wewenang dan tanggungjawab khusus untuk mengangkat dan memproses kasus-kasus HAM, yakni Komisi Nasional HAM? Maka, paling logis dan wajar adalah Menko Polhukam mendorong dan mendukung Komnas HAM untuk mengintensifkan peranannya bersama Jaksa Agung yang akhirnya menjadi instansi resmi tertinggi untuk menetapkan penyelesaian kasus-kasus HAM. Pertanyaannya: “Pembentukan Tim HAM ini sebenarnya untuk apa?
- Dalam proses penyusunan Tim HAM serta penetapan tugasnya juga menjadi jelas bahwa Menko Polhukam berniat untuk menetapkan tolok ukur guna menilai kasus-kasus sebagai ‘kasus HAM berat’ atau bukan. Pertanyaannya: Mengapa wewenang dari Komnas HAM diambil alih, sedangkan badan itu adalah yang paling kompeten dan berwenang? Apalagi Komnas HAM sudah memiliki tolok ukur yang jelas.
- Akibat-akibat dari pengambilalihan wewenang Komnas HAM oleh Tim HAM bentukan Menko Polhukam menjadi jelas dalam sejumlah keterangan yang diberikan oleh Kapolda Papua Irjen Pol. Paulus Waterpauw. Kami dapat dicatat sebagai berikut (dikutip dari JUBI, 27 Juni, hlm 3):
Catatan [a] – “dua kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua yakni kasus Mapenduma dan kasus Biak Numfor menunggu keputusan politik”; “kedua kasus terjadi dibawah tahun 2000 sebelum adanya UU HAM, maka masih menunggu keputusan politik seperti apa yang akan dilakukan pemerintah”.
Catatan [b] – ada tercatat tiga kasus yang tidak termasuk dalam pelanggaran HAM; ketiga kasus ini “diantaranya adalah kasus penyerangan Mapolsek Abepura tahun 2000 yang menewaskan satu anggota polisi, dan kasus penembakan terhadap Mako Tabuni”. Kasus Mako Tabuni menurut Irjen Pol. Paulus Waterpauw “bukan merupakan kasus pelanggaran HAM karena Mako adalah pelaku tindak kriminal”.
Catatan [c] – tercatat 11 kasus yang dapat ditindaklanjuti hingga ke ranah hukum. Dari jumlah itu tiga “diantaranya yang sudah diselidiki lebih lanjut (oleh Komnas HAM, tvdb), termasuk kasus penembakan di Lapangan Karel Gobay, Enarotali, Paniai 8 Desember 2014”, jelas Waterpauw.
Dari ketiga catatan di atas ini dapat dilihat bahwa proses penyelesaian ini, termasuk seleksi awal kasus-kasus pelanggaran HAM berat, menuju suatu pembatasan jumlah kasus yang sangat signifikan yang mau diakui sebagai ‘kasus HAM’. Sangat membingungkan kalau pengakuan sebagai ‘kasus HAM’ akan tergantung dari suatu ‘keputusan politik’. Artinya apa? Selanjutnya sangat memprihatinkan bahwa penembakan Mako Tabuni begitu saja dinilai ‘bukan kasus HAM’ karena “Mako adalah pelaku tindak kriminal”. Setahu kami tidak pernah ada proses hukum terhadap si Mako untuk membuktikan tindak kriminalnya? Kalau ada dugaan kriminalitas kenapa tidak ditangkap dan diproses? Kenapa jalan yang dipilih adalah suatu penembakan mati pada siang hari, seorang tidak bersenjata, di depan salah satu kios, disaksi masyarakat, di tengah kota Jayapura-Waena? Sejak kapan dalam ‘negara hukum’ suatu ‘extrajudicial execution’ dapat dibenarkan karena ‘dugaan pelaku tindak kriminal’? Sangat membingungkan bahwa “11 kasus yang dapat ditindaklanjuti hingga ke ranah hukum”. Siapa menentukan jumlah itu dan berdasarkan apa? Syukur bahwa sekurang-kurang tiga kasus yang sudah disiapkan Komnas HAM secara tuntas – Wamena, Wasior dan Paniai 2014 – masuk dalam daftar terbatas itu. Apalagi ada kekawatiran bahwa Tim HAM ini terlalu ambisius sambil berjanji menyelesaikan semua kasus sebelum akhir 2016. Boleh jadi sejumlah kasus mau diselesaikan oleh Tim HAM ‘secara alternatif’, artinya di luar proses hukum, dan sudah tentu bahwa trend demikian dinilai tidak tepat dan tidak benar oleh pejuang-pejuang HAM di Papua (maupun di tempat lainnya). - Penyusunan Tim HAM Menko Polhukam ditanggapi cukup banyak instansi/orang. Bukan saja berhubungan dengan beberapa catatan diatas ini, namun juga karena ternyata ‘kelompok korban’ tidak diberikan tempat di dalamnya (Jubi, 18 Juni 2016, hlm 1 & 15). Sudah tentu bahwa ‘kelompok korban’ adalah salah satu kelompok berkepentingan yang utama dalam penyelesaian kasus HAM. Sebaliknya ‘pihak pelaku’ pelanggaran HAM diwakili dalam Tim HAM dengan sangat nyata. Juga perwakilan dalam tim ini dari pihak-pihak tertentu seperti misalkan LSM dan pejuang-pejuang HAM, sangat diprotes pihak-pihak yang bersangkutan; maka, mereka tidak memiliki suatu ‘legitimasi oleh yang diwakili’.
- Yang juga cukup mengherankan adalah ‘perlengkapan’ Tim HAM dengan sejumlah ‘instansi luar negeri’ seperti duta-duta besar (dari Fiji, Vanuatu, PNG dan Selandia Baru) yang diikutsertakan dalam sejumlah pertemuan dalam kerangkaian ‘safari’ di dalam negeri (di Papua: Jayapura, Wamena, Merauke, Manokwari, dan di Jakarta) maupun di luar negeri (lobbying ke Inggris dan Australia). Aspek penambahan ini menunjukkan bahwa tujuan utama Tim HAM ini sangat tercampur suatu tujuan politik. Campuran kepentingan politik dengan kepentingan penyelesaian kasus HAM memberikan seluruh Tim HAM ini suatu status yang sangat meragukan niat dan tujuannya dan sudah tentu tidak akan membantu untuk mencari suatu penyelesaian kasus HAM secara murni dan tepat.
- Penyusunan Tim HAM serta peranannya mendorong banyak pihak untuk menyampaikan suatu tanggapan yang kritis sampai penolakannya. Yang mengangkat suaranya a.l. Gubernur, anggota-anggota DPRD, tokoh agama, tokoh adat, pejuang HAM, LSM, perwaklian Perempuan Papua dan organisasi masyarakat. Menanggapi penanggapan kritis itu, Menko Polhukam menilai bahwa kelompok yang berkeberatan dengan Tim HAM bentukannya adalah ‘segelintir orang’ saja (Jubi, 18 Juni, hlm 15), atau dengan kata lain ‘tidak perlu mengambil pusing’. Sikap demikian sangat dapat disesali karena hanya dapat dibaca masyarakat Papua sebagai suatu peremehan dirinya tokoh Papua yang berjuang supaya kita akhirnya dapat mengungkapkan kebenaran. Orang Papua tidak bodoh!
- Juga patut dicatat bahwa seluruh proses pembentukan Tim HAM guna penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua terjadi sambil situasi di lapangan di Papua ditandai tekanan tambahan pada siapa saja yang mengungkapkan pendapat dan/atau aspirasinya. Ratusan orang ditangkap dan ditahan karena mengungkapkan pendapatnya secara damai. Ironisnya kenyataan ini sangat bertentangan dengan tujuan pembentukan Tim HAM. Apalagi Kapolda mengambil langkah untuk menerbitkan Maklumat (Mak/245/VII/2016, tgl. 1 Juli 2016). Isinya menambah tekanan dan ancaman saja bagi siapa saja yang secara damai mengungkapkan pendapat/aspirasinya yang dinilai ‘terlarang’ oleh pihak kepolisian. Ternyata kurang ada upaya kreatif untuk mencari jalan penyelesaikan kasus HAM daripada hanya menambah jumlah kasus HAM di masa mendatang.
Terkait dengan penyelesaian kasus penembakan di Paniai, Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol. Patrige Renwarin, Jumat (15/7) di Waena, mengatakan bahwa pihak Polda Papua tidak mengetahuinya sejauh mana proses penyelesaian. Karena sudah diserahkan dan diambil oleh tim dari Mabes pusat Polri di Jakarta. Tim Adhoc untuk kasus tersebut pun belum bekerja secara maksimal .
Mengingat catatan-catatan di atas ini kami hanya dapat menyimpukan bahwa Tim HAM bentukan Menko Polhukam kurang dapat diharapkan sumbangannya pada penyelesaian kasus-kasus HAM di Papua. Sekali lagi suatu inisiatif dari pusat pemerintahan mengecewakan masyarakat Papua.
Penyelesaian kasus HAM tetap kita mengharapkan bersama dan sangat dibutuhkan untuk memulihkan saling percaya antara pemerintah dan masyarakat Papua. Penyelesaian itu memang dapat dikejar namun perlu mengikuti sejumlah prinsip dasar, seperti:
[1] mengandalkan (dan memperkuat seperlunya) lembaga Negara yang sudah didirikan secara khusus untuk mengadakan penyelesaian kasus HAM, yakni Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, yaitu Komnas HAM di tingkat penyelidikan dan Kejaksaan Agung di tingkat penyidikan, dan menghentikan segala pembentukan Tim HAM tandingan.
[2] mengakui sejumlah prinsip dasar dan tolok ukur menyangkut HAM sebagaimana diungkapkan dalam dokumen-dokumen universal maupun nasional sebagai pegangan utama dalam menilai ‘kasus pelanggaran HAM’, termasuk beratnya.
[3] memisahkan dinamika penyelesaian kasus HAM dari ‘kepentingan politik’, maka prosesnya dapat dijalankan secara independen dan dengan bersih.
[4] berjuang berlandaskan keyakinan bahwa tidak akan ada damai tanpa ada keadilan sambil berupaya memupuk niat sejati untuk mencari ‘kebenaran’ dan bukan mencari ‘pembenaran’.
[5] Seluruh proses penyelesaian kasus HAM ini dapat diiringi di tingkat akar rumput dengan membuka suatu ruang berdialog secara luas, melibatkan banyak pihak dan secara khusus pihak korban, dengan saling menghargai dan terbuka bagi penyampaian kisah penderitaan serta harapan manapun sebagaimana dihayati orang-orang biasa di Papua.
Kalau memang ruang ini tidak dibuka di dalam negeri, memang tidak mengherankan bahwa panggung bicara akan dicari dengan lebih intensif lagi di luar negeri.
Akhirnya, kami mengajak semuanya, khususnya para pengambil kebijakan dan yang berwewenang untuk mempertimbangkan dengan lebih serius dan mengubah drastis jalannya proses menuju suatu penyelesaian kasus HAM di Papua secara benar. Setiap sumbangan ikhlas pada proses pengungkapan kebenaran tidak pernah akan dilupakan dan akan dihargai masyarakat.
bersambung…..