Catatan dan Refleksi Papua Selama Tahun 2015 (Bagian Kedua)

Kebijakan Pemerintah: Pendidikan dan Kesehatan

Persoalan mendasar lainnya di Papua adalah pendidikan dan kesehatan. Berbicara tentang pendidikan dan kesehatan berarti kita akan berbicara terkait sistem pelayanannya, penyedia layanan dan peran aktif penerima layanan . Di beberapa daerah di Papua masih terlihat proses pendidikan dan kesehatan tidak berjalan dengan lancar dan benar. Ketidaklancaran ini hampir selalu terjadi di daerah pedalaman di Papua, seperti di Kiwirok (Kabupaten Pegunungan Bintang), Kwimi dan Ubrub (Kabupaten Keerom), Bade (Merauke), Distrik Mbua (Kabupaten Nduga) dan lain sebagainya. Para petugas (guru dan medis) yang absen di tempat tugas, kurangnya pengawasan dari Pemda setempat (dalam hal ini dinas kesehatan dan pendidikan), rendahnya kesadaran masyarakat setempat masih menjadi persoalan yang hampir selalu muncul di beberapa daerah di Papua.

Tak dapat dipungkiri bahwa ada pihak baik itu secara pribadi maupun lembaga memperbaiki sistem pelayanan dan meningkatkan kesadaran masyarakat serta pemerintah dalam memajukan dunia pendidikan dan kesehatan. Masyarakat tidak usah lagi merasa takut untuk menegur atau mengkritik para penyedia layanan yang tidak menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Partisipasi masyarakat sudah sangat jelas dan secara baik diatur di dalam perundang-undangan yang berlaku. Selain itu pihak Pemda juga jangan hanya sibuk dengan penerimaan

dok.skpkc fp, Anak Sekolah di Iwur

pegawai baru tetapi tidak melaksanakan tugasnya sebagai pengawas atan pengontrol. Persoalan pelik lainnya adalah penyebaran kasus HIV AIDS di Papua yang terus meningkat. Kita dapat melihat data yang dirilis dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Papua bahwa sebanyak 20 ribu lebih yang menderita penyakit ini. Jelas bagi kita bahwa penyakit HIV AIDS sangat berkaitan dengan pola dan tingkah laku seseorang dalam kehidupannya. Penyebaran ini sudah mulai merambat ke daerah-daerah pelosok Papua yang masyarakatnya juga masih sangat minim pengetahuan akan jenis penyakit ini. Selain pola manusia pemicu lainnya adalah kehadiran para PSK yang sengaja didatangkan dari luar Papua dan ditempatkan di daerah-daerah ‘makmur’ di Papua seperti di daerah Pertambangan emas Sungai Degeuwo, Kabupaten Intan Jaya. Dengan pengetahuan yang minim akhirnya masyarakat mulai menikmati gaya hidup seperti para pejabat. Masyarakatpun secara tidak sadar dijadikan ‘agen’ atau ‘tim sukses’ untuk menyebarkan virus tersebut kepada sesamanya. Pelbagai usaha mulai dilakukan oleh Pemda, instansi terkait, yayasan/organisasi yang peduli HIV AIDS. Semua punya satu komitmen agar virus ini tidak menyebar dan berhenti pada mereka yang sudah terjangkit. Ada yang memandang pesebaran penyakit ini berkaitan langsung dengan peredaran Miras dan narkoba yang kian marak di Papua. Usia-usia produktif atau kaum muda yang menjadi salah satu kelompok yang rentan mendapatkan penyakit ini. Kiranya situasi ini menjadi perhatian semua orang, bukan hanya dari Pemda, instansi terkait dan organisasi atau yayasan ada sekarang.

Di akhir-akhir tahun 2015, Papua dihebohkan lagi dengan kematian 30-40 balita di Kabupaten Nduga dan peristiwa alam embun beku yang juga menelan korban jiwa. Terkait dengan kejadian luar biasa di Kabupaten Nduga, Pemda (kabupaten dan provinsi), Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan pihak yang peduli terhadap kesehatan dan korban melakukan upaya untuk mengatasi persoalan tersebut. Pengiriman dokter, pasokan bahan makanan dan mengecek kepastian virus yang menyebar merupakan tindakan untuk mengetahui secara jelas penyakit dan membantu masyarakat. Dari hasil temuan Solidaritas Korban Jiwa Wilayah Mbua, Kabupaten Nduga bahwa di tiga distrik yang ada ditemukan banyak obat-obatan kedalauwarsa yang masih beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu petugas kesehatan tidak ada di tempat tugas. Masyarakat hanya mengandalkan seorang ‘dukun kesehatan’ yang siap dan tulus membantu mereka. Potret kesehatan di Kabupaten Nduga dapat menjadi salah satu contoh bahwa hak untuk pelayanan kesehatan belum maksimal dan penuh bagi masyarakat di daerah pendalaman Papua.

Cerita kesehatan tidak jauh berbeda dengan cerita pendidikan di Papua. Masih banyak generasi usia sekolah yang ditelantarkan. Situasi ini dapat kita di Kampung Tambat (Kabupaten Merauke), di Kiwirok (Kabupaten Pegunungan Bintang). Selain itu kekurangan tenaga guru/pengajar hampir dirasakan di semua kabupaten di tanah Papua, misalnya Kabupaten Jayapura, Lanny Jaya, Jayawijaya dan lain-lainnya. Persoalan lainnya adalah pemalangan sekolah oleh pemilik ulayat dan mogok mengajar dari guru berdampak pada terhambatnya proses belajar mengajar di sekolah tersebut.

Menanggapi situasi kesehatan dan pendidikan di atas, Pemda, instansi terkait dan masyarakat terus berusaha agar kedua pelayanan publik ini dapat berjalan dengan baik. Kontrak guru dan tenaga medis, mengirim putra-putri asli Papua untuk dipersiapkan sebagai tenaga guru dan medis, alokasi dana dan menyusun beberapa peraturan untuk membantu memperlancarkan pelayanan publik tersebut serta pihak anggota TNI yang bersedia membantu mengajar di daerah pedalaman . Mungkin yang harus diperketat lagi adalah pengawasan dari Pemda dan instansi terkait terhadap para petugasnya. Selain itu peran aktif masyarakat dalam menciptakan situasi yang nyaman bagi para petugas (guru dan medis), khususnya di daerah pedalaman akan membantu para petugas merasa betah dan setia dalam tugas dan tanggung jawabnya. Beberapa rencana kebijakan lainnya seperti pembangunan unit rumah, kucuran dana triliunan rupiah, rencana pembangunan rel kereta, tahun 2016 dijadikan tahun investasi dan ekspedisi NKRI ke Papua. Apakah ada perubahan di tahun 2016? Kita masih menunggu dan berharap agar segala kebijakan pemerintah tersebut direalisasikan.

Persoalan Otonomi Khusus Papua

Sudah lima belas tahun Otsus Papua diberlakukan di tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat). Sejalan dengan itu ada kesuksesan dan kegagalannya. Di Papua, kebanyakan orang menilai bahwa Otsus yang dimaksudkan adalah mengalirnya dana bukan sebuah wewenang atau tanggung jawab kepada Pemda Papua. Hasilnya sudah diketahui bahwa program ini hanya mengenyangkan/mensejahterakan sekelompok orang. Kuasa atau wewenang untuk mengatur diri dan pemerintahannya tidak berjalan. Semuanya diatur di Jakarta.

Sekarang Otsus didorong dengan label Otsus Plus, pembangunan Otsus menjadi Otsus Plus menjadi perjuangan ‘prima donna’ Pemda Papua. Dari awal mula pembaharuan Otsus ini tidak mendapat dukungan dari sebagian masyarakat Papua karena tidak disosialisasikan dengan sewajarnya. Ternyata hal ini tidak dihiraukan oleh Pemda Papua. dana sudah disiapkan dan masyarakat secara diam-diam menerima kegagalan ini.

dok.skpkc fp, Suasana Pasar Yotefa Jayapura

Berbicara tentang peraturan Otsus sebenarnya ada beberapa hal mendasar yang masih tenggelam. perlindungan terhadap masyarakat adat Papua, pembentukan Komisi Rekonsiliasi dan Perdamaian, wewenang sepenuhnya kepada Pemda setempat dan HAM tidak berjalan dengan baik. Pokoknya banyak hal yang menjadi unsur inti Otsus versi 2001 masih dilupakan. Selain itu evaluasi terhadap implementasi Otsus versi 2001 tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Kegagalan Otsus 2001 sepertinya menjadi ‘sarana’ untuk mensukseskan Otsus Plus. Di dalam proses Otsus Plus kelihatan Pemda Papua, DPRD/DPR Papua dan MRP berjalan tanpa masyarakat. Perbincangan dan implementasi Otsus Plus sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Otsus versi 2001. Yang dibicarakan adalah dana; bagaimana pencairan dana dan berapa besarnya dana tersebut diterima oleh masyarakat. Perihal mendasar seperti hak masyarakat adat, peran dan fungsi MRP serta wewenang ‘keotonoman’ untuk mengatur diri sendiri tidak terlalu dipersoalkan. Hal-hal mendasar tersebut masih dikuasai oleh pemerintah pusat. Besaran dana Otsus yang dicairkan sepertinya menutupi itikad baik dari Pemda Papua untuk membangun masyarakatnya. Seharusnya sudah saatnya bagi para pengambil kebijakan mengutamakan perlindungan terhadap masyarakat secara benar. Kebijakan atau perlindungan yang mana masyarakat dilibatkan secara aktif dan partisipatif.

Di sisi lain Elit Papua menafsirkan UU Otonomi khusus Papua No 21 tahun 2001 dengan kaca mata yang sangat melanesia dan peramu. Orang Papua menafsirkan otonomi mengatur dirinya sendiri, menjadi tuan di negeri sendiri, saat ini dan di sini, bukan mempersiapkan diri menjadi tuan juga pasca 25 tahun otonomi khusus Papua. Penafsiran kini dan saat ini terlihat sangat rapi dan sistematis. Elite Papua ramai-ramai memperjuangkan pemekaran provinsi, kabupaten, kota, distrik dan kampung. Perjuangan itu mengemuka dua tahun terakhir, ada 37 calon daerah otonomi baru . Daerah-daerah yang masuk itu, sebagian belum memenuhi syarat penduduk dan kemampuan menghasilkan pendapatan asli daerah. Kemudian, pembiayaan keberlangsungan daerah akan dibantu dari pusat dan menggunakan dana Otsus. Elit memaksakan pemekaran atas nama kesejahteraan rakyat, membuka isolasi daerah, mendekatkan pelayanan pemerintah ke masyarakat yang selama ini tidak terjangkau. Argumen pemekarannya sangat menyakinkan publik dan pemerintah Jakarta. Apakah mereka betul membangun kesejahteraan rakyat daerah yang menjadi objek pemekaran?

Penafsiran macam ini menjadi sorotan publik. Ketika disoroti, elit Papua dengan agak sombong, membungkus kelemahanya atas nama Otsus. Otonomi khusus menjadi jaminan. “Anak daerah harus mendapat kesempatan. Orang Papua juga bisa memimpin dirinya sendiri. Orang Papua juga bisa sama dengan saudara-saudari daerah lain di Indonesia”, begitulah para elit Papua membenarkan dirinya. Kesejahteraan melalui pemekaran masih menjadi mimpi rakyat. Rakyat Papua masih menanti sentuhan kasih melalui pembangunan yang berpihak. Di tengah situasi seperti itu kita terus menyaksikan elit Papua masih memikirkan kepuasan sendiri, tidak memikirkan publik Papua, nasib anak cucu dan eksistensi Papua pasca Otsus. Masa depan Papua tidak dikaitkan dengan masa kini, dilihat terlepas dari masa kini. Generasi yang akan datang dibiarkan untuk mengurus dirinya sendiri.

Logisnya, masa kini adalah masa depan Papua. Semua yang baik saat ini, menjadi yang baik bagi masa depan Papua dan sebaliknya, yang buruk saat ini, menjadi masa depan Papua yang buruk. Masa depan Papua tidak akan berubah, ada hari ini, habis hari ini. Masa depan Papua menjadi gelap, tidak jelas, masih samar-samar akibat korupsi , kolusi dan nepotime dalam realisasi Otsus saat ini.

Elit Politik dan Migran Penyebab Kemiskinan di Papua

Badan Pusat Statistik Nasional merilis data lima wilayah termiskin di Indonesia. Papua menempati urutan pertama (28,40%), Papua Barat urutan kedua (25,73%), Nusa Tenggara Timur urutan ketiga (22,58%), Maluku urutan keempat (19,36%) dan Gorontalo urutan kelima (18,16%). Angka kemiskinan Papua dan Papua Barat tidak kontras dengan pertumbunhan ekonomi triwulan III 2015. Pertumbuhan ekonomi Papua mencapai 7,13, Papua Barat 6,43, NTT 5,11, Maluku 5,27, Gorontalo 5,80. Haria Kompas cetak yang merilis data ini, Rabu (7/1/2015) mengarisbawahi pertumbuhan ekonomi Papua tidak termasuk dari sektor tambang dan Galian. Kita menduga saja, kalau begitu, pertumbuhan ekonomi Papua pasti jauh lebih baik dari data yang ada karena tambang tembaga terbesar kedua dunia PT. Freeport Indonesia ada di Timika (Provinsi Papua) dan LNG Tangguh ada di Kaimana, Teluk Bintuni (Provinsi Papua Barat). Hal ini dapat dibandingkan dengan data tahun 2011 .

Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPEDA) Provinsi Papua Muhammad Musa’ad mengatakan angka kemiskinan Papua secara nasional sangat tinggi akibat peningkatan inflasi, nilai rupiah yang tidak stabil, harga barang naik dan daya beli menurun. Menurut Musa’ad, kalau mengukur pembangunan dengan kebijakan Otsus, ekonomi Papua justru berkembang baik dalam 15 tahun terakhir. Pemerintah mampu menekan angka kemiskinan di Papua pada 1999 sebesar 54% ke angka 27,5%. Perubahan angka kemiskinan ini, sifatnya sementara. Pemerintah akan perkuat ekonomi sesuai dengan lima wilayah adat yang ada di wilayah Provinsi Papua (Lapagoo, Mepagoo, Mamta, Saireri dan Anim Ha).

Masalah penting dalam diskusi ini, apakah kita akan masih mengatakan argumen yang sama ketika angka ini tidak berubah 5 tahun mendatang? Siapakah kelompok yang disebut pengaguran terbuka dan kaum miskin dan yang bergerak dalam pertubuhan ekonomi ini, orang asli Papua atau non Papua? Kita tidak memiliki data yang valid soal itu. Pemerintah Provinsi Papua pun belum mempunyai datang penduduk asli Papua dan non Papua secara jelas untuk mengukur pertumbuhan. Kita hanya melihat data Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam rangka pemilihan umum 2014 lalu. Provinsi Papua berpenduduk,4.224.232 dan Papua Barat 1.091.171. Data itu masih kita perdebatkan ketika kita kaitkan dengan hitung-hitungan suara pemilih legislative, eksekutif dan jumlah penduduk demi suatu wilayah pemekaran dan anggaran. Misalnya di daerah Jayawijaya, Sekretaris Dewan Adat Papua Wilayah Lapago Engelbertus Surabut mengatakan, semua data penduduk Papua ini banyak yang data fiktif.

Ketidakjelasan itu sangat meragukan data kemiskinan ini tetapi data ini menjadi penting dalam melihat pembangunan di Papua saat ini. Kita bisa melihat angka kemiskinan itu tumbuh subur di wilayah Timur Indonesia. Sangat memalukan lagi, Provinsi Papua dan Papua barat menduduki peringkat satu dan dua disela-sela berbagai kebijakan Jakarta, Otonomis Khusus hingga kebijakan Jokowi untuk membangun Papua.

Karena itu, sangat beralasan orang Papua mengatakan pertumbuhan ekonominya baik itu tidak berdampak pada dan menekan angka kemiskinan di Papua. Kemiskinan terus bertumbuh, angka yang memperlihat kelompok mayoritas, masyarakat, disela-sela upaya pemerintah menaikan angka pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi itu kemudian terlihat jelas ketika pemerintah berhasil melahirkan sejumlah orang yang mengendalikan roda ekonomi di Papua. Rakyat Papua bisa mengatakan ada segelintir orang yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan dana Otsus yang mengalir ke Papua. Cipry Jean Dale, dalam bukunya “Papua Paradoks” dengan studi kasus pola-pola ketidak adilan social di Kabupetan Keerom menyebut kelompok ini dengan istilah Migran Caputure dan Elit Capture. Orang yang masuk ke Papua melalui program transmigrasi maupun kehendak sendiri yang mempunyai kekuatan modal dan pegetahuan. Elit Papua (pejabat politik maupun karier) yang mempunyai akses yang mengedalikan roda pemerintah yang menguasai dan menikmati semua pembangunan di Papua. Masyarakat asli terus termarginalisasi, jauh dari sentuhan pembangunan.

Kita melihat lagi, kekurangan tenaga kerja disela-sela pertumbuhan ekonomi itu sulit diatasi. Para pencari kerja dari luar Papua akan dan terus mengalir. Kita tidak perlu jauh, pastinya angka pengaguran terbuka di wilayah Maluku yang sangat tinggi dalam data itu bisa mengalir ke Papua. Kalau itu yang terjadi, kemiskinan yang ada tidak akan pernah berubah, apa lagi yang dikatakan miskin itu orang asli Papua. Orang Papua akan tersingkir ke pinggiran ketika tidak mampu bersaing. Proses itu sedang berjalan dan gejala pun mulai terlihat. Kita sangat kerap menemukan sejumlah anak muda meminta-minta di jalan dengan alasan membersihkan jalan. Tindakan ini merupakan bagian dari kritik terhadap pemerintah yang tidak menjaga kebersihan kota, pembangunan infrastruktur jalan yang tidak berkualitas dan lain sebagainya. Mungkin cara ini dipilih sebagai bagian protes terhadap tertutupnya akses bagi mereka. Gejala ini bisa mengarah kepada konflik sosial bila tidak disadari dan tidak ditagani. Kalau orang Papua belum keluar dari garis batas pra sejahtera, perlu membatasi invasi, baik itu investor maupun pencari kerja.

Kita perlu melihat pembatasan ini (diskriminasi positif) demi menciptakan peluang orang Papua mencari posisi setara dengan orang yang mendatanggi Papua sebelumnya. Kita tidak menciptakan diskriminasi positif sama halnya mempertahankan marginasi dan itu bisa menjadi diskrimansi yang tidak jelas kapan berujung bila kita kaitkan dengan Masyarakat Ekonomi Asia. Kita bisa memastikan orang Papua makin tersingkir dari negerinya sendiri hanya karena pemerintah tidak mampu melindunggi, memenuhi dan menghargai haknya.

Demokrasi Tanpa Demokrasi dalam Pilkada Serentak

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang berlangsung di seluruh Indonesia juga terjadi di Papua, pada 9 Desember 2015. Di Papua ada sebanyak 11 Kabupaten mengadakan pesta yang sering disebut pesta demokrasi atau pesta rakyat. Walaupun demikian masih ada sejumlah tindakan penyimpangan di dalam pesta tersebut. Rakyat dipaksa membuang pilihan bebasnya dan mengikuti kehendak mereka yang berkuasa dan berkepentingan. Mereka yang memiliki kekuatan finansial dan masa mengiring individu-individu untuk menentukan pilihan yang bukan dari hati nuraninya.
Kita dapat melihat aparat penegak hukum dan pengawas Pemilu membiarkan para kandidat melakukan aksi mobilisasi masa untuk memenangkan pertarungan. Mobilisasi masa dari luar wilayah pemilihan masuk ke daerah pemilihan, dari satu TPS ke TPS yang lain di dalam wilayah pemilihan. Mobilisasi ini berjalan lancar dari awal hingga akhir. Orang-orang yang mendatanggi wilayah pemilihan ini membawa undangan yang sudah terdaftar dengan nama orang lain. Petugas yang ada turut memainkan sistem “Mereka yang ada itu rupanya sudah tahu,” ungkap salah satu pemilih yang terlibat dalam mobilisasi massa yang difasilitasi salah satu kandidat di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, 9 Desember 2015. Kandidat dan penguasa ekonomi mengeluarkan uang yang tidak sedikit dari sakunya dengan satu harapan untuk menang. Anggaran mulai dari transport, makan minum dan uang jasa mencoblos dari TPS ke TPS.
“Saya bawa orang dari Jayapura, Pa Kandidat memberikan uang 45 juta untuk membayar 5 mobil yang kami pakai,” ungkap seorang pria yang memobilisasi massa dari Kota Jayapura masuk ke Keerom atas permintaan salah satu kandidat.
“Kemarin dalam menentukan wakil memang menjadi masa

dok.skpkc fp, Spanduk Kampanye Pileg 2014

lah karena wakil yang menjadi pilihan orang bermasalah. Kalau wakilnya pengusaha, perhitungan mengembalikan modal menjadi taruhan. Masyarakat menjadi korban, pembangunan tidak jalan tetapi suka tidak suka harus mengambil resiko. Kita menyapaki 50 persen-50 persen,” ungkap salah satu anggota tim sukses bupati terpilih Keerom 9 Desember 2015.

Mereka yang kalah kehilangan sumber harapan mengembalikan anggaran mobilisasi. Mereka dalam posisi memikirkan sumber lain, entah itu ada atau tidak ada. Harapan itu, yang sebenarnya, kandidat yang kalah, terutama 11 kabupaten di Provinsi Papua beramai-ramai mengajukan gugatan ke MK dengan berbagai dalil pelanggaran demokrasi. Dalil menang curang, politik uang dan tidak adil dalam perhitungan suara. Di balik dalil itu, secara tidak sadar, semua yang mengugat tidak siap bertarung, tidak siap kalah dan menang, tidak berjiwa besar sebagai pemimpin untuk mendukung dan membangun daerah secara bersama.

Kalau ingin membangun, tidak mencari kekuasaan, mengapa tidak mendukung yang sudah menang untuk membangun? Kalau tidak demikian, mengapa mengeluarkan materi dalam pertarungan untuk merebut kekuasaan? Kita melihat begitu lemahnya motivasi mereka merebut kekuasaan. Begitu murahnya cara mereka merebut kekuasaan, namun mengugat itu hak dan pendidikan politik kepada publik harus berjalan. Kita harus mengatakan ada yang tidak beres dalam diri orang-orang yang mengoperasikan sistem demokrasi Indonesia. Hal ini menjadi kewajiban kita untuk memberitahu rakyat akan buruknya demokrasi di Negara Demokrasi. Kita juga bisa melihat dan belajar, betapa hancurnya sistem demokrasi di sebuah Republik Demokrasi. Demokrasi hanya menjadi buah bibir dan wacana yang belum sepenuhnya dilaksanakan. Perjuangan penegakan demokrasi yang dewasa masih jauh dari harapan dan masih menjadi agenda bersama yang harus diperjuangkan.

bersambung……

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *