Sebuah Refleksi
Oleh: Theo van den Broek
Akhir-akhir ini diskusi sekitar penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM menjadi makin hangat. Terlebih beberapa pejabat tinggi terdengar sudah memiliki suatu ‘rencana penyelesaian’, seperti diungkap oleh Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan. Lantas inti rencana penyelesaian ini ditanggapi antara lain oleh Institute Setara dan sejumlah LSM HAM. Mereka mengatakan ‘rencana penyelesaian’ sejumlah kasus pelanggaran HAM itu kurang memberikan rasa puas kepada para korban serta kerabatnya. Secara khusus trend untuk mengadakan suatu penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM yang penting, melalui suatu mekanisme ‘rekonsiliasi’ tanpa mengadakan upaya untuk membawa para pelaku ke pengadilan, diberikan kritik tajam. Dan sebenarnya pendekatan yang diusulkan Menko Polhukam dkk ditolak oleh para aktivis HAM. Diusulkan oleh aktivis HAM supaya Presiden membentuk suatu “Team Orang Bijaksana” yang bukan terdiri pejabat pemerintah untuk mengerjakan penyelesaian sejumlah kasus HAM yang sudah lama ditunggu penangannya secara tuntas.
Pembahasan di atas tidak jauh dari situasi yang sedang berkembang sekitar penanganan permasalahan di Papua. Presiden berulangkali menyatakan bahwa beliau akan berupaya supaya ada kemajuan signifikan penyelesaian permasalahan itu selama masa jabatannya. Pada pokoknya ada dua pendekatan yang lazimnya ditonjolkan: [1] pendekatan dialog yang terbuka dan [2] pendekatan kesejahteraan dalam gabungan dengan “penegakan hukum” (penegakan hukum sering berupa operasi militer/polisi). Sudah beberapa tahun penyelesaian melalui suatu dialog yang terbuka disarankan oleh sejumlah lembaga di Papua, sedangkan pendekatan melalui peningkatan kesejahteraan (serta gabungannya) dengan aksi penegakan hukum menjadi pendekatan pokok yang ahkir-ahkir ini disosialisasikan oleh sejumlah pejabat tinggi pemerintah pusat.
Selama bulan Maret ini kedua pendekatan diangkat dengan suara yang cukup lantang. Dialog sekali lagi diangkat oleh pelbagai lembaga di Papua dan secara khusus juga oleh suatu lembaga yang berwibawa di tingkat nasional, yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sedangkan pendekatan kesejahteraan serta operasi militer makin dikonkritkan oleh sejumlah instansi di Jakarta seperti Menko Polhukam, Menteri Pertahanan, BIN dan kemungkinan besar dengan dukungan BNPT yang sejak 16 Maret 2016 dipimpin Irjen Pol. Tito Karniavan, mantan Kapolda Papua (2011-2013).
Saran konkrit dari LIPI supaya dialog dimulai tahun ini. Inisiatif ini muncul dengan semangat yang baru setelah di kalangan LIPI diadakan beberapa seminar untuk sekali lagi berefleksi atas permasalahan di Papua serta cara yang tepat untuk mengatasinya. Inisiatif ini baru juga mendapat dukungan secara tidak langsung dari seorang pakar politik-militer dari Universitas Hasannudin Mulyadi yang menekankan bahwa tidak ada solusi di Papua kalau tetap disangkal bahwa “memang ada masalah dalam proses penyatuan bangsa” yang terjadi di Papua. Ia menekankan, pendekatan kultural menjadi salah satu kunci agar nasionalisme bisa muncul dari warga Papua, dan persoalan psikologi politik dalam diri rakyat Papua seperti merasa dianaktirikan, disepelekan dan tidak dihargai, bisa dihilangkan (CNN, 29/3/2016). Maka, meningkatkan kesejahteraan tidak akan menghilangkan masalah di Papua.
Pendekatan kesejahteraan (‘soft approach’ namanya) akhir-akhir ini mulai sangat dikaitkan juga dengan kemungkinan untuk mengadakan suatu operasi militer. Malahan dikatakan Menko Polhukam bahwa pola operasi keamanan seperti di Poso (anti teroris) dapat diterapkan di Papua juga. Sudah tentu ungkapan semacam ini membuat banyak orang gelisah, sampai Sekda Papua tidak diam lagi dan mengingatkan Menko Polhukam ‘untuk pikir dulu, baru bicara’ dan supaya jangan mengatur dan menentukan polanya tanpa ‘kita duduk bersama dulu’ dan mendengar orang yang tahu situasi di Papua (Cepos, 19 maret 2016) . Dalam gaya perencanaan oleh tokoh-tokoh yang bergabung dalam pendekatan ini memang terdapat suatu unsur ancaman yang sangat riil. Seperti juga sewaktu dikabarkan oleh BIN tentang keinginannya membentuk “Team Damai Papua” (yang a.l. beranggotakan mantan-anggota Kopassus di Papua) tercatat pernyataan: ‘memang kami akan memakai suatu pendekatan lunak/kesejahteraan dulu namun kalau itu tidak berhasil jelas kami akan beralih pada tindakan yang tegas’. Sama halnya dengan ungkapan Menko Polhukam di Jayapura selama kunjungannya pada tgl 29 Maret: “operasi militer adalah suatu opsi, atau opsi terakhir; kita akan pakai suatu pendekatan kesejahteraan dulu…” (Cepos, 30 maret 2016) . Yang nyata: ‘pendekatan kemanusiaan’ selalu disajikan dalam kesatuan dengan pesan ‘kalau tidak diterima, ya… kami akan tegas’ (boleh tebak saja apa artinya ketegasan itu).
Yang membedakan kedua pendekatan diatas antara lain:
- Dimana satu pihak (LIPI dkk) berupaya supaya masalah di Papua diselesaikan tanpa kekerasan, pihak lain (Menko Polhukam dkk) membuka pintu secara lebar bagi terjadinya kekerasan.
- Dimana satu pihak (LIPI dkk) mengakui bahwa suatu solusi perlu dicari baik bentuk maupun isinya, pihak lain (Menko Polhukam dkk) sudah tahu dengan pasti solusi yang mana yang dibutuhkan di Papua hingga merasa tidak perlu dibahas lagi.
- Dimana satu pihak (LIPI dkk) telah mengembangkan suatu road-map sebagi pegangan pemahaman yang cukup mendalam mengenai persoalan di Papua dan sebagai dasar menetapkan solusi-solusi yang tepat secara bersama, di pihak lain (Menko Polhukam dkk) pemahaman mengenai persoalan di Papua dianggap sudah tahu diketahui dan sangat ditentukan kepentingan politik dan ekonomis. Maka hanya ‘kesejahteraan’ diangkat sebagai soal inti, sedangkan persoalan politik dan sejarah pengintegrasian Papua dalam Republik Indonesia disangkal hingga diabaikan total, dan/atau malahan perhatian/ungkapan kearah itu dinilai sebagai ‘melawan hukum’ karena membahayakan keutuhan Republik Indonesia.
Perbedaan-perbedaan seperti di atas sangat mengganggu kita semua, apalagi yang di Papua karena sudah lama menghendaki agar dapat hidup dalam damai dan tanpa kekerasan. “Papua Tanah Damai” sudah bertahun-tahun menjadi rumusan harapan masyarakat luas di Papua. Maka memang arah pikir dan aksi seperti diungkapkan oleh Menko Polhukam dkk sangat memprihatinkan dan menimbulkan rasa resah di kalangan luas. Secara simbolis perasaan ini terungkap dalam rencana sejumlah kelompok di Papua untuk menolak kunjungan Menko Polhukam ke Jayapura.
Ditinjau dari suatu konsep yang sangat sederhana mengenai sejumlah unsur inti dalam proses penyelesaian suatu konflik dapat dicatat bahwa suatu penyelesaian konflik mengandaikan perhatian serius pada beberapa unsur inti sebagai berikut:
- Suatu pemahaman mendalam dan obyektif mengenai persoalan yang de facto ada
- Suatu identifikasi awal mengenai solusi-solusi yang tepat
- Suatu sosialisasi solusi-solusi sambil mempertajamnya dan mencari konsensus/merangkul kelompok sasaran (pihak yang berkonflik)
- Suatu pola tindakan/kegiatan untuk mengimplementasikan solusi-solusi yang akhirnya disepakati bersama
Setiap proses penyelesaian konflik tidak dapat luput dari mengindahkan keempat unsur inti ini. Seandainya pemahaman tidak tepat, ya tentunya identifikasi solusi juga tidak tepat, dan seterusnya.
Jelas secara pribadi sangat mendukung inisiatif yang sekali lagi dilansir oleh LIPI dkk dan menolak pendekatan manapun yang memakai kekerasan, karena tidak akan menyelesaikan apapun, sebaliknya permasalahannya akan menjadi lebih parah. Secara singkat diharapkan – sama dengan kelompok yang disebutkan pada awal refleksi ini – bahwa akhirnya Presiden berani membentuk suatu “Team Orang Bijaksana” yang terdiri dari pria dan wanita yang mewakili beberapa disiplin keahlian untuk mengantar kita semua dalam suatu proses penyelesaian yang melibatkan segala pihak yang berkepentingan di Papua ini. Suatu proses berlandasan pengakuan akan martabat setiap orang, menuju suatu solusi bersama. Hanya pendekatan demikian akan mengindahkan keempat unsur inti penyelesaian konflik di atas dan akan menjamin bahwa kita dapat hidup dalam damai dan bebas dari ketakutan.