Otonomi Khusus dan Realitas Kemiskinan

Oleh: Aventinus, OFM

Secara substansial, Otonomi Khusus (OTSUS) adalah sebuah pilihan keberpihakan kepada masyarakat kecil, yang kurang diperhatikan, miskin, diabaikan dalam pembangunan serta yang tidak memiliki akses dalam pembangunan. Ada sebuah keyakinan di balik itu, yakni dengan OTSUS banyak hal dipermudah, akses masyarakat dalam pembangunan semakin tinggi, partisipasi masyarakat dalam memajukan daerahnya semakin diperhitungkan, uang semakin cepat peredarannya, dan seterusnya sampai pada semua masyarakat bisa merasakan kesejahteraan sebagaimana yang didambakan.

Apakah mimpi kesejahteraan itu sudah dirasakan dan dialami masyarakat Papua pada umumnya? Realitas menunjukkan bahwa OTSUS yang kini sudah berumur remaja (15 tahun), hingga saat ini belum sanggup menunjukkan daya magic dan tajirnya dalam mewujudkan mimpi kesejahteraan bagi masyarakat pada umumnya, dan secara khusus bagi masyarakat kecil, tak berpengetahuan modern, jauh dari kemudahan untuk berakses. Alih-alih mendapatkan kesejahteraan, masyarakat kecil justru seringkali hanya digunakan sebagai “proposal” menggolkan hasrat segelintir orang untuk mendapatkan kuasa, kehormatan dan uang.

Realitas ketakberpihakan ini bisa kita saksikan dalam beragam rupa. Pertama, masyarakat lokal menjadi terasing dari tempatnya. Sulit disembunyikan lagi bahwa OTSUS memiliki daya tarik yang sanggup menyedot perhatian banyak orang, tidak saja bagi masyarakat local tetapi juga masyarakat interlokal. Daya tarik inilah yang kemudian menjadi pendorong bagi banyak orang untuk mengejarnya. Saat ini, kita sedang menyaksikan sebuah realitas yang sangat memprihatinkan; kota-kota yang dulu memancarkan nuasa local (baik karena budayanya maupun karena orang-orangnya) kini tinggal sebuah kenangan. Hal ini disebabkan oleh semakin beragamnya masyarakat yang ada dengan beragam kepentingan yang mengikutinya. Apakah ada yang salah dengan realitas ini? Tentu tidak. Untuk zaman ini, realitas seperti inilah yang disebut sebagai wajah globalisasi. Wajah di mana sekat primordialisme dan sukuisme tidak relevan lagi untuk ditempatkan pada tempat utama dalam berelasi. Semua relasi (ekonomi, budaya, social) memiliki ruang untuk bergerak dan untuk mengekspresikan keberadaan dan misinya masing-masing.

Realitas ini justru harus dilihat sebagai tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah untuk memperlihatkan keberpihakannya pada masyarakat kecil, lemah dan yang disingkirkan, terutama melalui kebijakan-kebijakan yang ditelurkannya. Sejauhmana pemerintah memiliki kebijakan-kebijakan yang sanggup memproteksi masyarakat adat serta semua yang terkait dengan kehidupan mereka? Inilah saat yang paling tepat untuk mengukur pilihan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat yang kritis dan rentan dengan terpaan globalisasi yang kian tak terbendung lagi. Dalam konteks ini, apa yang dikatakan Gubernur Lukas Enembe terkait dengan usaha untuk membatasi masyarakat pendatang dengan cara tidak menerbitkan KTP sembarangan patut diberi catatan kritis. Sebab benar bahwa semakin banyak pendatang masuk ke Papua semakin drama persaingan terjadi terutama dengan masyarakat local. Akan tetapi, masih relevankah kita berbicara tentang menutup diri dalam dunia yang semakin mengglobal ini? Masih relevankah kita berbicara tentang local dan non local dalam dunia yang sudah terbuka lebar terhadap arus keluar masuk baik barang maupun jasa seperti yang baru saja kita mulai, yaitu Masyaraakt Ekonomi Asia? Kiranya sulit, sebab kran globalisasi yang secara nyata disetujui pemerintah terutama melalui MEA telah membuat arus itu kian menyusup bahkan sampai pada sendi-sendi kehidupan budaya dan sosial masyarakat. Daripada membuang-buang waktu untuk menghentikan sesuatu yang sulit dihentikan, lebih terhormat apabila di zaman golbalisasi ini kita berbicara tentang strategi pertahanan diri dalam rangka menghindar dari gerusan arus globalisasi yang selain menakutkan tapi juga bisa menjadi peluang untuk menjadi semakin lebih baik dan lebih berkembang.

Kedua, kehilangan sumber daya alam dan lingkungan (hutan dan tanah). Salah satu prestasi kebijakan OTSUS adalah sumber daya alam local dikelolah daerah. Sepintas kita cermati bahwa kebijakan ini sungguh berpihak pada masyarakat local, kecil dan tak berdaya. Mengapa? Sebab ketika sumber daya alam, lingkungan dan hutan dikelolah daerah, otomatis, baik dari segi ekonomi, financial dan pembangunan daerah membawa keuntungan bagi masyarakat local. Akan tetapi, ini pun juga hanya mimpi dari elit-elit local yang kemudian dirancang sedemikian rupa sehingga seolah-olah itu merupakan mimpi semua masyarakat local yang tetap tak berubah kehidupannya. Realitas yang mengemukan justru kebijakan lokalisasi pemanfaatan sumber daya alam menjadi peluang – kalau tidak dikatakan – boomerang bagi lahirnya kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan (seperti, masyarakat menjadi kehilangan sumber hidupnya, tersingkir dari tanahnya sendiri) dan terhadap alam (seperti; hutan lindung semakin berkurang, bencana alam yang tak terduga). Kejahatan-kejahatan ini seringkali bersembunyi di balik hasrat dalam rangka menaikan Produk Domesti Bruto daerah. Seolah-olah pertimbangan ekonomi menjadi penentu segalanya dalam kehidupan manusia. Hal ini tentu tidak sejalan dengan apa yang akhir-akhir ini diperjuangkan oleh kebanyakan bangsa yakni pembangunan berkelanjutan.

Ketiga, munculnya kaum kapitalis lokal. Adanya OTSUS membawa serta beragam praktek hidup. Praktek hidup yang baik, tentu sangat diharapkan. Akan tetapi realitas mempertontonkan kepada kita sebuah drama baru tapi menggelikan bahwa kebijakan OTSUS justru menjadi lahan subur lahirnya kaum kapitalis local yang baru. Uang yang lumayan melimpah sebagai dampak dari kebijakan ini dalam realitasnya tidak sanggup memperbaiki nasib kebanyakan rakyatnya. Pendidikan belum terlalu menampakkan wajah optimismenya. Begitu juga dengan kesehatan, apalagi pemerataan pembangunan. Berbeda dengan penampakkan masyarakat kebanyakan, segelintir kaum elit justru menampilkan sikapnya yang glamour, rakus dan tidak pernah puas dengan yang sudah dimiliki, persis seperti gaya kaum kapitalis yang kehilangan kepekaannya akan realitas kebanyakan orang yang miskin, dan tertindas oleh tindakan-tindakannya.

Keempat, ancaman kehilangan indentitas. OTSUS, sadar atau tidak membawa konsekuensi terbuka lebarnya peluang bagi masuknya aliran barang dan manusia ke tanah Papua. Keterbukaan ini mau tidak mau membawa serta beragam dampak, baik yang positif maupun negative. Salah satu dampak yang mengemuka saat ini adalah pertemuan dengan begitu banyak budaya, orang-orang dengan beragam kepentingannya telah perlahan-lahan mengaburkan identitas masyarakat asli. Realitas ini tentu saja bukan hal yang membuat kita kaget, sebab di zaman globalisasi ini, ketakutan akan kehilangan budaya menjadi semakin besar. Bahkan banyak orang memprediksi bahwa suatu saat akan muncul kampung atau desa kosmopolitan; desa di mana tidak ada lagi nuansa local tetapi hanya nuansa global. Realitas ini bisa saja terjadi dengan Papua dalam puluhan tahun ke depan sebab peluang untuk itu begitu besar dan bahkan telah dimulai dengan munculnya kebijakan pemerintah pusat untuk memberikan OTSUS kepada masyarakat Papua dan juga kerjasama Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang baru dimulai ini.

Tampilan realitas yang sangat memprihatinkan ini memunculkan beragam pertanyaan, apakah OTSUS penting bagi masyarakat Papua? Benarkah OTSUS sebagai jalan tol menuju kepada kesejahteraan masyarakat? Benarkah OTSUS sebagai langkah tepat dalam rangka mengentas kemiskinan di Papua? Masih begitu banyak deretan pertanyaan yang harus dibuktikan kebenarannya oleh para pemegang kekuasaan di tanah Papua ini. Akan tetapi, hal yang penting bagi pemerintah adalah sejauhmana mereka melihat realitas katakberdayaan masyarakat dan atas dasar itu mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang diterapkan selama ini. Hal ini menjadi penting karena dengan cara itu, pemerintah diharapkan bisa menemukan selain kekuatan tetapi juga kelemahan dari setiap kebijakan yang mereka keluarkan.

Maka, di sini patut kita pikirkan strategi-strategi yang tepat dalam rangka membangun tanggul peradaban yang memungkinkan masyarakat kecil dan lemah tak tererosi oleh monster globalisasi itu. Dalam konteks ini, pemerintah yang memiliki tanggungjawab menelurkan kebijakan-kebijakan harus berpikir lebih keras lagi terutama dalam rangka membuat wajah globalisasi yang serupa monster menjadi domba jinak yang menyenangkan. Hemat kami, PerDa bisa menjadi alat untuk itu. Melalui PerDa, pemerintah sebagai penentu kebijakan bisa melahirkan peraturan-peraturan yang pro masyarakat kecil dan miskin. Juga melalui PerDa, pemerintah dapat melahirkan aturan-atruan yang bernuasa local dan bahkan memprotesi mereka dari gerusan globalisasi yang seringkali tak memihak masyarakat yang rentan dan lemah ini. OTSUS tentu memberi kemungkinan yang sangat lebar untuk ini.

Sejalan dengan itu, PEMBERDAYAAN MASYARAKAT diharapakan menjadi satu paket yang tak terpisahkan dari usaha mensejahterakan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh realitas bahwa mengabaikan pemberdayaan dan hanya memfokuskan perhatian dan usaha mensejahterakan masyarakat pada PerDa justru akan melahirkan ketimpangan yang pada akhirnya berujung bukan pada kesejahteraan sebagai yang dicita-citakan tetapi malah pada realitas kemiskinan yang semakin menggila. Karena itu, antara PerDa dan usaha pemberdayaan masyarakat harus sejalan. Pemerintah hendaknya tidak hanya berbicara tentang PerDa tetapi juga tentang startegi pemberdayaan, penguatan masyarakat agar globalisasi yang tak terbendung bisa diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi perubahan hidup mereka ke arah yang lebih baik.

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *