Sa Pu Sungai Yang Rusak

Oleh Fr. Wandy, OFM

Sore itu sa (saya) berdiri persis di tengah jembatan, sa tatap jauh ke arah hulu dan hilir sungai. Sa menatap pemandangan yang sungguh tidak nyaman ditambah lagi dengan bau yang tidak sedap dan cukup menyengat sa pu (punya) hidung. Sa perhatikan warna air yang ada di sungai itu, yang jelas kejernihannya tidak nampak sama sekali, hilang atau kabur, entah apa warna dari air sungai itu. Sepanjang sa memandang sungai itu, yang sa temukan hanyalah tumpukan aneka jenis sampah; plastik, kaleng, botol dan masih banyak lagi. Hampir seluruh permukaan sungai itu ditutup dengan sampah-sampah yang entah dari mana asalnya.

Di sekitar pinggiran sungai itu berjejer bangunan-bangunan elit dan megah, baik rumah maupun pertokoan. Kemungkinan besar sampah-sampah yang ada di sungai itu berasal dari orang-orang yang menghuni bangunan-bangunan elit itu”, sa pu pikiran waktu itu.

Melihat sungai itu, sa kemudian teringat sewaktu sam> kecil dulu. Sungai itu adalah tempat sa bermain dengan sa pu sahabat-sahabat setelah membantu orang tua di kebun. Sungai menjadi tempat yang mengasikkan dan tempat pelarian tatkala sa pu badan penuh dengan lumpur dan rasa gatal akibat serangga yang banyak di kebun. Kesejukkan airnya membuat kami malas untuk beranjak dan meninggalkannya. Gemercik airnya yang kandas pada bebatuan menambah keindahan sungai itu. Tiupan angin yang sesekali menyambar dedaunan pohon juga memberi kesejukan pada tubuh mungil kami saat itu, ditambah lagi dengan kicauan burung-burung di sekitarnya menambah semarak keindahan sungainya. Sungguh… yang sa rasakan pada waktu itu sungai itu ibarat surga kecil yang memberikan kesejukkan dan kesegaran bagi kami. Keindahan alam yang luas seakan terangkum dalam airnya yang jernih nan segar. Karena kalau sa pandang ke dalamnya, yang sa temukan adalah langit biru dan awan-gemawan. Sungguh indah di saat itu.

Om…! Om….! Om……! Jangan buang sampah ke sungai itu ka!,” sa bilang kepada seorang bapak yang hendak membuang sampah ke sungai itu lagi. Bapak itu tidak menghiraukan sa pu perkataan, ia tetap saja membuangnya. Tidak lama berselang, sa lihat lagi sampah yang jatuh dari rumah bertingkat tepat di tengah sungai itu. Rupanya budaya membuang sampah ke sungai sudah menjadi kebiasaan orang-orang yang ada di sekitar sungai itu, maka tak heran lagi kalau sungai itu menjadi aliran sampah yang mengerikan.

Sa lihat-lihat (memperhatikan) sungai itu, tak ada kehidupan di dalamnya, tidak sama dengan sungai yang pernah sa lihat dan sa rasakan sewaktu sa kecil dulu. Waktu itu ikan-ikan kecil banyak bermain di dalam air yang jernih. Waktu itu jika kami telah jenuh mandi, kami mencoba menangkap ikan-ikan kecil itu. Sungguh mengasikkan.

Tetapi sekarang sa merasa sedih, ketika sa lihat sungai saat ini; kotor, bau, berantakan dan tak indah sama sekali untuk dipandangi. Sekian orang yang hidup di pinggiran sungai itu, rupanya tak memiliki sedikit pun kepedulian terhadapnya, mereka malah tambah mengotori sungai itu dengan sampah-sampah yang mereka hasilkan.

Dalam hati sa bertanya-tanya “mengapa e.. orang-orang zaman ini cenderung mencari gampang? Mereka membuang sampah ke sungai seakan-akan tempat sampah tidak ada. Apakah mereka tidak menyadari bahwa mereka telah mencoba merusakkan bumi yang

Anak-anak di Distrik Arso Timur (dok. skpc fp)

adalah rumah dan tempat tinggal mereka? Mereka sungguh tak menyayangi bumi ini, mereka merusak sebagian keindahannya, mereka seakan menghancurkan tempat yang sa tempati bermain-main dengan teman-teman sewaktu kecil dulu.

Setelah sekian lama sa berdiri, kini sa harus beralih akibat hujan deras yang tiba-tiba turun, yang seakan mengusir sa dari jembatan itu, seakan tak ingin melihat sa berlama-lama menatap sungai itu. Derasnya air yang turun membasahi sebagian sa pu pakaian, membuat sa harus mencari tempat berteduh. Tak jauh dari jembatan tempat sa berdiri, ada pondok kecil yang cocok. Tanpa tunggu lama sa pun langsung menuju ke sana. Di pondok itu, sa tetap mengarahkan pandangan ke arah sungai yang kini perlahan-lahan permukaannya yang penuh dengan sampah mulai bergerak menuju hilir. Sampah-sampah yang berada tepat pada permukaan sungai itu, seakan berdesak-desakkan menuju hilir, ibarat ribuan manusia yang berdesak-desakkan keluar dari Stadion Bola Kaki Mandala, Jayapura.

Derasnya hujan mengakibatkan permukaan air sungai mulai naik, sampah-sampah yang membanjiri permukaan sungai mulai bergerak, mendekati dasar jembatan yang sa tempati tadi. Tak hanya itu, permukaan tanah yang juga menjadi tempat pemukiman warga perlahan-lahan sudah dipenuhi dengan aneka sampah plastik. Warga-warga yang ada di pinggiran sungai itu hanya bisa mononton dari ketinggian rumah mereka. Mereka menatap sampah-sampah yang kini perlahan-lahan berdesak-desakkan memasuki pekarangan rumah mereka, sampah-sampah yang setiap hari mereka buang ke sungai itu. Ada yang sibuk menguras paritnya karena tumpukan sampah dan ada malah yang tersenyum menyaksikan kejadian itu.

Ketika sa lagi asyik menatap ke sungai itu, tiba-tiba ada seorang pria dengan motor berhenti tepat di depan pondok yang sa berteduh. Ia juga hendak berteduh karena derasnya hujan yang terus mengguyur. Dalam kesempatan itu, kami akhirnya berbincang-bincang mengenai sungai yang ada di hadapan kami itu, sungai yang tak pantas lagi disebut sungai karena bukan lagi air yang kami saksikan di dalamnya, tetapi ribuan sampah yang beraneka ragam.

Rupanya kejadian seperti ini sudah sering terjadi tiap tahunnya, kata Randi, pria yang ikut berteduh bersama sa. Sa kemudian bertanya, “tapi kenapa kejadian seperti ini terus berlanjut, apakah tidak ada kesadaran dari masyarakat sekitar untuk membenahi kejadian seperti ini ataukah dari pihak pemerintah supaya menganjurkan kepada masyarakat agar tidak membuang sampah ke sungai?” Randi kemudian menunjukkan suatu tulisan yang sedari tadi tidak sa perhatikan sama sekali, JANGAN MEMBUANG SAMPAH KE SUNGAI INI! Demikian kalimat tulisan itu. Kata Randi, dari pihak pemerintah sendiri sudah berusaha memperhatikan agar kebersihan sungai itu tetap terjaga, tetapi letak masalahnya ialah masyarakat tidak mempunyai kesadaran sama sekali. Sudah jelas-jelas di situ tertulis JANGAN MEMBUANG SAMPAH KE SUNGAI INI, tetapi toh tidak diindahkan juga, malahan sungai itu kini penuh dengan genangan sampah.

Mungkinkah masyarakatnya tidak tahu membaca atau sengaja buta dengan peringatan tersebut,” sa bilang ke Randi.

Yah begitulah perilaku masyarakat elit masa kini, tak tahu merawat bumi ini, bumi yang adalah rumah dan tempat mereka hidup. Sungai yang juga adalah rumah ikan-ikan kecil serta binatang air lainnya kini disulap oleh manusia menjadi rumah sampah yang mendatangkan banyak musibah; tak ada lagi kehidupan di dalamnya, tak ada lagi yang mau peduli dengan sungai itu,” jelas Randi kepada sa.

Saat ini.. yang ada hanyalah bau busuk yang cukup menyengat hidung, yang ada hanya pemandangan yang menyakitkan karena nasib sang sungai yang berubah menjadi lautan sampa. Ribuan mata tak sudih lagi menatapnya, anak-anak pun enggan bermain-main di sekitarnya. Sungai itu kini menjadi kabur, bau dan rusak akibat manusia masa kini yang mengubahnya menjadi penyimpanan barang-barang rongsokkan. Sungai bukan lagi tempat tinggal yang nyaman bagi binatang-binatang air. Sungai menjadi tempat sampah bagi manusia saat kini.

 

“Air adalah Sumber Kehidupan Kitong Manusia, Mari Kitong Jaga dia agar Kehidupan itu Terus Berlanjut”

Selamat Merayakan Hari Air Sedunia, 22 Maret 2016

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *