Aktivis Hak Asasi Manusia menilai keputusan kepala daerah Kabupaten Jayawijaya membangun Markas Komando Brigader Mobil sangat diskriminatif. Pemerintah berusaha membangun Mako Brimob berdasarkan isu kekerasan atas pembedaan ras dan etnis. Warga asli Jayawijaya, Papua, dengan non Papua dari berbagai wilayah di Indonesia.
“Kita bisa melihat itu dari alasan keputusan membangun Mako Brimob. Pembacokan dan pembunuhan orang pendatang sebagai alasan membangun Mako Brimob berarti tindakan pembedaan dari pemerintah yang sangat negatif,” ungkap Peneas Lokbere kepada media di Jayapura, Papua, (18/2/2016) .
Pembedaan itu terlihat dalam pernyataan, Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo, yang mengatakan suka tidak suka, mau tidak mau anggota Brimob harus ditempatkan di Jayawijaya paling lambat bulan Mei 2016. Rencana sementara, anggota Brimob tempati kediaman bupati demi menjaga keamanan Jayawijaya yang marak dengan curamor dan pembacokan.
“Brimob ini datang untuk menjamin keamanan masyarakat dan saya sudah sampaikan di depan para tokoh yang ada di kabupaten ini dan pada prisipnya mereka setuju dan jika nanti ada demo menolak tersebut saya katakan bahwa orang itu bukan orang yang tinggal di Wamena. Saya bupati penangungjawab keamanan daerah dan saya sudah mengambil keputusan untuk hadirkan Brimob dan jika DPRD setuju tidak setuju itu urusan belakangan dan saya laksanakan sesuai dengan amanat UU,” tegasnya sebagaimana yang dilangsir media ini (16/2/ 2016).
Negatifnya dari keputusan ini, kata Lokbere, pemerintah berusaha mengelompokan warga asli dari warga pendatang. Warga asli dikelompokan sebagai kelompok yang jahat, pencuri, perampok dan yang harus diawasi dengan menghadirkan aparat keamanan.
Perlakuan macam ini, menurut dia, pemerintah melanggar deklarasi umum hak asasi manusia pada 10 Desember 1948. Pemerintah melanggar konvenan internasional tentang hak sispil dan politik yang diratifikasi pemerintah Indonesia dengan UU NO 12 tahun 2005, yang menjamin setiap warga dari tindakan diskriminasi.
Lebih dari itu, ketikan kepala daerah mengatakan melaksanakan amanat UU, kepala daerah sebenarnya melanggar UU No 12 tahun 2005, dan No 40 tahun 2008 tentang Diskriminasi Ras dan Etnis. “Pasal 4 dengan jelas mengatakan tindakan diskriminatif ras dan etnis itu perupa tindakan memperlakukan pebedaan, pegecualian, pembatasan atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis,” ungkapnya mengutip UU.