Bruder Henk van Mastrigt, OFM

“Si Kupu-kupu Yang Tekun”

 

Bruder Henk van Mastrigt, OFM

Ketika kembali membaca buku “Panduan Lapangan” terkait penelitian kupu-kupu saya terkesan dengan kata sambutan yang dituangkan oleh Rektor Uncen Jayapura 2005 Alm. Frans A Wospakrik. Dalam sambutan di buku tersebut, Alm. Frans Wospakrik menuliskan bahwa “Dengan kerja keras, tekun, dan teliti, penulis telah mempersembahkan suatu karya yang sangat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan para peneliti di Papua; juga bagi para hobist yang selalu ingin mengetahui lebih jauh akan misteri kekayaan alam khususnya kekayaan di Tanah Papua yang sangat kaya akan keanekaragaman hayatinya ini.” Salah satu penulis yang dimaksudkan adalah Bruder Henk van Mastrigt, OFM. Beliau lahir di Heerlen (Belanda) pada 15 Januari 1946. Menjadi seorang biarawan fransiskan (OFM) pada tahun 1966. Pada 6 April 1974, Beliau menjalankan tugas pelayanan ke Indonesia, khususnya ke Papua sebagai seorang misionaris. Sebagai seorang misionaris di tempat yang baru dengan budaya dan bahasa yang berbeda, Beliau belajar bahasa Indonesia. Berdasarkan cerita Br. Yan Sherp, OFM yang juga salah satu misionaris Belanda, Beliau belajar bahasa Indonesia sejak April-Oktober 1974 di Yogyakarta. Pada 12 Oktober 1974 tiba di Jayapura, Papua. Di Papua, khususnya di Keuskupan Jayapura dan Tarekat OFM di Papua, Beliau dipercayakan sebagai seorang ekonom atau yang biasa dikenal dengan Pengurus Keuangan dan Harta Benda. Tanggung jawab ini dilaksanakan dengan setia dan tulus oleh Beliau.

Berbagai cerita menarik dan buah-buah yang dipetik oleh orang-orang yang dekat dan mengenal sosok Br. Henk van Mastrigt, OFM. Ibu Iess Lusia Piran yang sekarang mengajar di SMP YPPK Teruna Mulia Argapura, Jayapura mengatakan, “Saya bertemu dengan Br. Henk pada tahun 2006. Waktu itu saya belajar mengawetkan kupu-kupu. Saya hanya mengawetkan kupu-kupu 4 ekor waktu pertama kali. Saya membantu Br. Henk kurang lebih 4 tahun dari tahun 2006 – 2010 di ruangan kupu-kupu. Pertama kali tertarik dengan Br. Henk itu ketika saya mulai bergabung dengan Ordo Fransiskan Sekuler (OFS). Waktu itu ada pertemuan di Biara Fransiskan APO, Jayapura. Saya sendiri merasa tertarik dengan kata-kata yang diucapkan oleh Bruder dan itu saya tetap jaga sampai sekarang ini. Waktu itu Br. Henk bilang kepada saya “Bertekunlah pada apa yang sudah dimulai. Kata-kata itu yang membuat saya tetap setia dan bertahan menjadi seorang guru”

Menyimak perjalanan dan kehidupan Beliau, kata-kata yang disampaikan tersebut sebenarnya berangkat dari kepribadiannya. Apa yang disampaikannnya bukan sebuah kehampaan tetapi sungguh-sungguh diaminkan dalam hidup dan tugas pelayanannya, baik itu sebagai seorang fransiskan, ekonom maupun sebagai seorang peneliti kupu-kupu. Ketika Beliau dipercayakan sebagai seorang pengurus keuangan dan harta benda Keuskupan Jayapura dan Persaudaraan Fransiskan di Papua, semua tugas dan tanggung jawab tersebut dilaksanakan dengan senang hati. Segala tugas tersebut dilihatnya sebagai sebuah pelayanan. Semua dilakukannya dengan antusias dan semangat komitmen yang tinggi.

“Semua dipercayakan kepada dia, selalu dijalankan dengan antusian dan semangat komitmen yang tinggi oleh Henk. Ini yang saya selalu rasa dan lihat ketika bertemu dan berjumpa dengan Henk. Henk selalu serius mengerjakan apa yang ditugaskan kepadanya. Selain itu ia juga kuasai apa yang ia kerjakan. Seperti keuangan dan kupu-kupu. Hal ini membuat ia percaya diri untuk melakukan tugas tersebut. Di sisi lain, sifat ini ia kawinkan dengan sikap rendah hati dan tidak menonjolkan dirinya serta hidup sederhana. Ia tidak dominan memasang namanya dalam setiap pekerjaannya. Ia melayani bukan mengangkat dia punya nama. Ia juga menikmati hal-hal yang kecil dan ia sangat menikmati hal tersebut. Misalnya ia membuat daftar misionaris, saudara yang sudah meninggal. Hal ini dimaksudkan supaya para saudara fransiskan tidak melupakan orang-orang yang telah berjasa”, jelas Bapak Theo van den Broek, sahabat dan saudara Br. Henk.

Rasa kesakitan tubuh yang sudah lama diderita oleh Beliau tidak menyurutkan semangatnya untuk melayani orang-orang. Vonis kanker yang dideritanya bukanlah menjadi vonis terhadap tugas pelayanannya. Mungkin saja Beliau menilai vonis tersebut merupakan berkat. Berkat yang selalu menyulutkan semangatnya untuk terus setia dan berkomitmen melaksanakan segala kewajibannya.

“Bagaimana ia hidup dengan ketidakpastian seperti itu. Ia divonis menderita kanker yang katanya tersembunyi dan suatu ketika akan muncul. Bisa menjadi lebih ganas dan berakibat fatal bagi dirinya. Bertahun-tahun saya heran bagaimana ia mampu menerima keadaan itu. Ia sadar akan hidupnya maka ia menyediakan orang-orang untuk melanjutkan tugasnya. Di dalam kesakitan yang tidak menentu tersebut, ia gunakan segala kekuatannya untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Mungkin ia sadar bahwa besok atau lusa kekuatan itu tidak ada lagi. Sepertinya ada campuran antara kesadaran dan ketidaksadaran”, lanjut Bapak Theo van de Broek

Alam semesta dan Kupu-kupu

Di dalam buku “Panduan Lapangan Kupu-Kupu”, Beliau menuliskan bahwa ada hubungan antara manusia dan kupu-kupu. Di dalam buku tersebut Beliau menulis bahwa keterkaitan antara manusia dan kupu-kupu sesungguhnya merupakan hal yang istimewa. Banyak manfaat didapat manusia dengan kehadiran kupu-kupu di alam. Beliau menggambarkan ada manfaat langsung dan tidak langsung bagi manusia. Manfaat langsung adalah adanya usaha peternakan semi alami dari kupu-kupu masyarakat dapat menjual kepompong sebagai penghasilan keluarga. Manfaat tidak langsung adalah kehadiran kupu-kupu banyak membantu proses penyerbukan pada tumbuhan.

Itu adalah kisah manfaat kupu-kupu bagi manusia yang digambarkan oleh Beliau. Tetapi buah dari penelitiannya sangat bermanfaat bagi para pencinta kupu-kupu dan mahasiswa dari Fakultas MIPA Uncen Jayapura. Sebanyak 72.000 spesimen kupu-kupu yang Beliau koleksi menjadi tempat pendidikan dan penelitian para mahasiswa. Para mahasiswa MIPA Uncen tidak perlu membuang biaya dan tenaga yang besar untuk melakukan penelitian lapangan di Hutan Papua yang luas ini. Bermula dari sebuah hobi yang ditekuninya menjadi sebuah komitmen yang akhirnya sangat berguna. Hampir semua species kupu-kupu di hutan Papua berada di ‘taman pengawetan’ kupu-kupu milik Beliau. Mulai dari kupu-kupu yang beracun bagi burung yang disebut atrophaneura polydorus sampai pada kupu-kupu yang terbangnya lambat acraea meyeri. Semua tahapan yang dilakukan mulai dari penelitian dan atau penangkapan kupu-kupu sampai pada pengawetan, dilakukan dengan setia, sabar dan penuh komitmen mengerjakan semuanya itu.

“Menangkap kupu-kupu itu adalah hobinya. Sejak kecil Henk sudah ikut bapaknya untuk menangkap dan mengawetkan kupu-kupunya. Hobi itu bukan sesuatu yang baru bagi dia. Namun yang terpenting bahwa ia jalankan itu dengan semangat, setia dan sabar”, tutur Br. Yan Sherp ,OFM.

Kecintaan Beliau terhadap dunia entomologi, melalui kupu-kupu dikisahkan dalam tulisannya pada Januari 2015, “Rasa sayang terhadap alam dan kupu-kupu sudah ditanamkan di hatiku sejak masa muda. Bekerja sebagai pengawas hutan kupandang sebagai pekerjaan yang paling bagus untuk seumur hidupku, dan malah ide untuk selama satu tahun menjadi gembala di Drenthe pernah kepikirkan. Beberapa kali terbukti dalam sejumlah tes bahwa pengajaran merupakan jurusan yang cocok bagiku. Tetapi jalan hidupku ternyata lain: mula-mula ke arah imamat dan kemudian studi ekonomi, lalu berangkat ke Papua. Tetapi minat akan alam raya tinggal tetap dan direalissi secara khusus oleh hobby kupu-kupu yang semula. Sejak tahun 2000 saya merasa dengan semakin kuat bahwa keinginan masa mudaku sekarang ini menjadi kenyataan berkat penanganan entomologi secara profesional yang dapat mengukur kualitas alam, dan berkat kontak yang banyak itu dengan mahasiswa dan dosen beberapa universitas: saya merasa sebagai pengawas hutan yang mengajar di firdaus Papua. Rasa sayangku kepada alam dan pendalamanku terhadap entomologilah yang menghalangi kemungkinan bagiku untuk kembali ke Nederland. Tahun 2006 kami memulai kelompok kerja entomologis yang kecil dan juga sepucuk Surat Edaran yang dua tahun kemudian diubah menjadi majalah entomologi internasional. Undangan C.I. Indonesia pada tahun 2005 untuk ikut serta dalam survey di pegunungan Foya yang belum terkenal itu menjadi puncak mutlak, yang tiga ahun kemudian masih disusul oleh survey kedua ke lokasi yang sama. Pers melukiskan lokasi tu sebagai suatu firdaus, bukan hanya karena alam yang masih utuh dan belum tersentuh, tetapi juga kerena binatang ternyata tidak takut akan manusia”.

Seorang Fransiskan

Henk van Mastrigt diinkardinasikan menjadi seorang fransiskan pada 7 September 1966 du Weert (Belanda) menjadi Henk van Mastrigt, OFM. Keputusannya yang bulat untuk tetap setia mengikuti cara hidup Bapa Fransiskus Assisi, dikukuhkan dalam pengucapan profesi meriah di Rotterdam pada 12 September 1971. Keputusannya akhirnya bulat menjadi seorang fransiskan dan missionaris di Papua.

“Ketika saya secara medis dnyatakan sehat, masa depanku menjadi tak tentu dan saya bergumul dengan pertanyaan tentang pilihan manakah yang akan kubuat. Pada akhir ahun 1972 kuputuskan untuk ke tanah Misi. Saya menghubungi seorang misionaris di Brasil yang sedang cuti di Belanda dan sya menyurat ke Papua. Tawaran yang kudapat untuk Misi di Brasil amat menarik karena pekerjaan itu terletak di bidang ekonomi dan administrasi yang memang sesuai dengan pendidikanku. Jawaban dari Papua lain sekali. Cor Groenewegen, sebagai pelaksana tugas pimpinan Ordo, menulis sebagai berikut: “Yang kami nanti-nantikan bukanlah seorang ekonom melainkan konfrater yang baik. Kendati perbedaan ini, tidaklah sulit untuk memilih antara Misi di Brasil yang “sudah tua” dengan Misi Papua yang akhir-akhir ini masih didatangi oleh banyak saudara muda. Yang menentukan bagiku ialah ciri persaudaraan di Papua yang lebih muda dan sebagiannya terkenal”. Cerita Beliau dalam tulisannya pada Januari 2015.

Pengenalan akan diri dan segala yang ada di dalam dirinya menjadikan Br. Henk seorang pengikut Bapa Fransiskus Assisi yang setia. Mungkin juga ada kekecewan dan kemarahan dari Beliau namun semuanya itu dilawannya agar ia sungguh-sungguh menjadi berkat dan rahmat bagi semua orang yang dijumpainya. Beliau tidak memilih kasih di dalam pekerjaan dan selalu percaya kepada apa yang telah dikerjakan oleh orang lain. Beliau sangat menghargai usaha dan jerih payah dari orang lain.

“Waktu itu saya baru pertama kali kerja dengan Bruder Henk dan saya diajarkan bagaimana melakukan pengawetan kupu-kupu. Memang sangat hati-hati, kalau sayapnya patah atau kakinya patah sudah tidak dapat diidentifikasi lagi. Saya diajarkan untuk tekun. Satu kata yang diucapkan Bruder pada saat itu adalah kerja ini harus penuh dengan kesabaran. Kuncinya kau bersabar. Saya senang karena Bruder tidak membuang apa yang saya kerjakan tersebut, ia sangat menghargai apa yang saya kerjakan. Ia sangat percaya kepada orang lain”, Ibu Ies Piran menjelaskan pengalamannya ketika berada di ruang kupu-kupu dengan Br. Henk.

Sebagai seorang saudara Fransiskan, Beliau tidak mengeluh akan kesakitannya. Sepertinya Beliau dengan senang hati mengulangi kata-kata Bapa Fransiskus Assisi dan menyapa sakitnya sebagai saudara.

“Terakhir, 23 Juni 2015 ia berangkat ke Jakarta untuk pertemuan Dana Pensiun KWI. Beberapa hari sebelumnya ia dirawat di Rumah Sakit Dian Harapan. Pada hari ia tiba di Jakarta ia alami sakit pinggang dan ternyata ia menderita batu ginjal. Batu ginjalnya ditembak sebanyak 5000 kali. Ia dirawat di Rumah Sakit Carolus beberapa saat dan dia “paksa” pulang tanggal 16 Juli 2015. Alasannya dia mau mengunjungi Saudara-Saudari yang merayakan Idul Fitri. Tanggal 17 Juli ia keliling bahkan sampai Arso dan pulang sore hari dengan kondisi yang lelah, capeh dan nafas susah. Meskipun keadaannya lemah, ia tetap sibuk. Banyak hal yang ingin dikerjakan dan sepertinya harus dilaksanakan. Seminggu sebelum masuk rumah sakit yang terakhir, kondisinya lemah tetapi ia paksa. Di kamarnya disediakan tabung oksigen yang besar. Dia tahu keadaan tubuhnya. Kadang saat doa bersama, disaat kadar oksigennya turun ia kembali ke kamar dan berbaring dan menggunakan oksigen. Meskipun begitu, ia berjuang mengikuti acara bersama seperti makan dan doa bersama. Keadaannya semakin tidak baik: pucat, lemah, nafas susah dan semangat makan menurun. Menasehati dia untuk ke rumah sakit butuh kehati-hatiaan. Ia “tidak mau” kecuali sudah parah. Pernah sebelumnya di ruang makan karena kondisinya lemah kami anjurkan dia untuk ke rumah sakit tetapi dia meresponsnya: enak saja kamu suruh saya ke rumah sakit. Sejak saat itu kami mesti cari jalan untuk menyampaikan maksud yang sama. Pada saat paskah yang lalu ia sempat kritis juga karena ia tidak mau ke Rumah Sakit”, Pater Gonsa Saur, OFM menceritakan hari-hari akhir Br. Henk.

Sebelum Beliau menghadap Sang Pencipta, di Januari 2015, ada pergumulannya yang sempat Beliau tuliskan. Kata-kata itu mengalir seperti ini, “Bagaimana caranya sepanjang sekian tahun di berbagai-bagai rumah itu saya hadir sebagai saudara dina tidak mudah untuk ditunjukkan. Ritme religius dalam komunitas (seperti doa harian dan meditasi, perayaan Ekaristi dan rekoleksi) cukup beraneka ragam. Bagaimana pun juga kesepakatan mengenai hal-hal itu, saya menyesuaikan diri dengannya, atau –lebih tepat- saya menunjukkan diri sebagai anggota komunitaas yang baik. Saya mempunyai komitmen tinggi ke arah persaudaraan, malah begitu rupa sehingga saya mendapat kesan bahwa orang dengan terlalu gampang meminta saya sesuatu. Oleh karena itu adakalanya timbul kecondongan untuk berkata “Tidak”. Pernyataan Santo Fransiskus bahwa seantero dunia merupakan biara kita, amat kusetujui. Bukan hanya dunia manusia di sekitarku, tetapi juga semesta alam yang telah kita terima dengan cuma-cuma sebagai anugerah. Kita dikurniai hidup dan bernafas di dalamnya. Tiada kapel yang lebih cocok untuk berdoa daripada cakerawala gelap yang berbintang-bintang di pedalaman Papua. Saya telah masuk sebuah persaudaraan. Tinggal seorang diri tak pernah dan juga tidak akan pernah menjadi pilihanku. Berada dalam perjalanan pun bukanlah sisi saya yang kuat. Memang saya dapat menikmati keberadaan di tempat-tempat lain. Juga di sana kutemukan hidupku, lebih-lebih bersama dengan orang lain. Tetapi bagaimana pun juga, saya selalu senang bila berada di rumah lagi”.

Selamat Jalan Bruder

Rabu, 5 Agustus 2015, pukul 17.30 WIT, di Rumah Sakit Dian Harapan, Br. Henk van Mastrigt, OFM sangat siap untuk berjumpa dengan Sang Pencipta. Beliau meninggal pada usia yang ke-69 tahun 6 bula
n 3 minggu. Kepergiannya ke Sang Pencipta telah menghasilkan begitu banyak buah yang baik kepada Persaudaraan Fransiskan di Papua, Keuskupan Jayapura, Mahasiswa Fakultas MIPA Uncen Jayapura
dan orang-orang di tanah Papua. Pengabdiannya terhadap dunia entomologi, khususnya kupu-kupu sangat membantu Fakultas MIPA Uncen Jayapura. Berdasarkan wasiatnya, maka Persaudaraan Fransiskan di Papua menyerahkan koleksinya tersebut kepada Fakultas MIPA Uncen Jayapura.

Bruder Henk, selamat jalan, Sang Pencipta dan malaikat-Nya menyambutmu penuh kesemarakan di taman firdaus yang mungkin juga dihiasi dengan kupu-kupu yang lebih beranekaragam dari koleksi Bruder. Doakan kami yang masih berpetualang ini.

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *