“Pemekaran wilayah menyebabkan, mereka yang sebelumnya guru atau tenaga medis diangkat menjadi staf distrik atau kepala distrik. Hal ini menyebabkan guru semakin berkurang dan bekerja tidak sesuai kemampuannya”
Hal ini disampaikan oleh pemerhati masalah-masalah social dan pendidikan di Lembah Balim, Kabupaten Jayawijaya Pater Theo Kosy, OFM, di Biara Fransiskus Wenewolok Pikhe, Minggu (18/5). Dunia pendidikan di Papua terus menjadi sorotan publik, khususnya di daerah pedalaman Papua. Kondisi pendidikan di Kabupaten Jayawijaya juga tak luput dari perhatian pihak-pihak yang peduli terhadap pendidikan. Keberhasilan pendidikan tidak serta merta ditentukan oleh Pemda setempat tetapi lebih dari itu peran aktif masyarakat setempat. Peranan Pemda hanya sebatas mendorong dan menentukan kebijakan. Yang diharapkan kebijakan tersebut tentulah memberikan dampak positif bagi kemajuan dunia pendidikan. Menurut Pater Theo Kosy, OFM, pendidikan di Jayawijaya pada umumnya bukan maju melainkan sangat mundur. Hal ini dapat dilihat dari mutu pendidikan dan orang-orang yang dihasilkan dari proses pendidikan tersebut. Sejak tahun 2011-2015, pendidikan di Jayawijaya semakin mundur. Selain peranan Pemda Jayawijaya yang lamban, salah satu alasan yang mendasar adalah kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya.
“Yang saya lihat orang tua yang ada di sini belum memahami betapa pentingnya pendidikan bagi anak mereka. Kalau kita bicara pendidikan orang tua malas tahu. Orang tua lepas tangan terhadap anak-anak mereka, sehingga anak-anak lebih senang turun di jalan dan menjadi anak aibon. Selain itu kebijakan pemerintahan. Saya melihat, di satu sisi kebijakan pemerintah itu baik tetapi ada yang buruk juga seperti kebijakan pemekaran wilayah. Dengan sendirinya tenaga guru atau medis yang ada di wilayah tersebut diangkat menjadi kepala distrik, camat dan staf distrik. Maka guru yang sebenarnya berprofesi untuk mengajar di sekolah-sekolah sudah berubah menjadi seorang camat dan lain sebagainya. Di SMP Negeri 4 Elagaima, Distrik Hubikosy, salah satu gurunya diangkat menjadi kepala distrik, di SD Inpres Tulem, Distrik Witawaya, kepala sekolahnya diangkat menjadi kepala distrik” kata Pater Theo Kosy.
Selain faktor manusianya, sarana dan prasarana juga sangat penting di dalam memajukan pendidikan. Gedung sekolah yang layak, rumah bagi guru, ruang kelas yang layak, kursi dan meja belajar yang layak dan lain sebagainya. Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai akan menciptakan rasa nyaman bagi manusia yang menjalankan pendidikan tersebut, baik itu tenaga guru, masyarakat dan anak didik.
“Saya melihat pembangunan fisik gedung sekolah hancur-hancuran. Contohnya di SD Pabiloma, Distrik Pelabaga, di SD Yumugima, SD Muai, SD Eragama bangunan fisik sekolahnya sangat memprihatinkan. Di SD Pabiloma, masyarakat terpaksa membuat kursi dan meja dari kayu buah seadanya,” ungkap Pater Theo Kosy.
Hal yang sama juga disampaikan oleh salah seorang guru Petrus Kanisius. Pak guru Petrus Kanisius mengajar di SD YPPK St. Paulus Eragama, Distrik Pisugi. Menurut Petrus, kekurangan tenaga guru masih menjadi kendala di tersebut.
“Kami sekarang berjumlah enam orang, dua guru tetap atau pegawai tetap. Mereka dari PNS. Sedangkan empat yang lainnya adalah tenaga sukarela. Selain kekurangan guru, pendidikan di sana juga diperparah lagi dengan kehadiran siswa. Hari senin-kamis masih lumayan jumlah kehadiran mereka, tetapi jumat dan sabtu mereka sudah libur. Apalagi kalau ada tanggal merah atau libur. Biasanya mereka tambah kadang sampai satu minggu. Hal ini sebenarnya sudah kami sampaikan kepada orang tuanya ketika ada pertemuan dengan komite sekolah. Di depan kami mereka angkuk tetapi setelah itu mereka tidak buat,” jelas Pak Kanis.