Kunjungan Kedua Presiden Joko Widodo Ke Papua

Oleh: Theo van den Broek

 

Refleksi serta Agenda Dialog

Masyarakat Papua memberikan sekitar 70% suaranya kepada Joko Widodo untuk dipilih menjadi Presiden pada Juli 2014 lalu. Sumbangan ini merupakan ungkapan kepercayaan dimana masyarakat Papua menilai Jokowi bukan saja menjadi pimpinan tertinggi di Republik tetapi juga diharapkan menjadi seorang mitra yang akan mau mendengarkan dan menangani permasalahan atau aspirasi di Papua dengan hati. Selama masa kampanye, Jokowi membenarkan penilaian itu dengan berjanji akan ada bersama-sama dengan rakyat, bersedia membuka suatu dialog yang berarti dan akan memberikan perhatian khusus pada penyelesaian masalah di Papua.

Sewaktu kunjungan pertama ke Papua sebagai Presiden, pada 27 Desember 2014, pesan kampanye itu masih bergema saat beliau mendesak instansi-instansi yang berwewenang agar segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Pania pada 7-8 Desember 2014 yang mengakibatkan empat anak sekolah tewas. Saat yang sama Jokowi juga menekankan bahwa “orang Papua tidak membutuhkan kesejahtaraan saja, tetapi lebih-lebih suaranya perlu didengarkan”.

Pada kunjungannya yang kedua 7-10 Mei 2015, masyarakat Papua masih tetap menaruh harapan besar, walaupun selama beberapa bulan awal pemeritahannya terdengar suara-suara yang mengungkapkan kekecewaan, bukan saja di Papua tetapi juga di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Belakangan dapat dikatakan bahwa kunjungan kedua adalah campuran dari saat-saat kegembiraan dengan saat-saat kekecewaan.

Pertama-tama perlu dicatat bahwa kunjungan kedua ini diiringi dengan suatu pola pengamanan yang sangat berlebihan. Dengan bangga pihak keamanan memberitakan bahwa 6000 personil (3.600 anggotaTNI dan 2.400 aggota Polisi) akan dikerahkan; 5 buah helikopter akan dipakai; 2 kapal perang akan standby di pelabuhan Jayapura dan 12 tim sniper telah dibentuk guna ditempatkan pada posisi-posisi strategis. Semuanya dilengkapi lagi dengan penerbangan beberapa pesawat tempur di atas wilayah kunjungannya. Siapa saja yang membaca berita ini dapat menyimpulkan: masyarakat Papua merupakan suatu ancaman; orang Papua sangat berbahaya dan Presiden bisa berada dalam bahaya! Pemberian kesan demikian sangat bertentangan dengan kenyataan dimana masyarakat Papua menunjukkan minat yang sangat sedikit atas kunjungan Presiden, dan sejumlah petinggi Pemerintah Provinsi Papua malahan tidak berada di tempat selama kunjungan itu berjalan. Sehingga “pertunjukan kekuatan” (show of force) ini hanya memperkuat stigmatisasi orang Papua sebagai “musuh negara”.

Kurangnya minat masyarakat Papua dengan kunjungan Presiden kali ini mengungkapkan menurunnya kepercayaan masyarakat pada langkah-langkah Presiden sampai saat ini dalam menyelesaikan permasalahan di Papua. Antara lain, lambatnya tindak lanjut dari pernyataan Presiden pada 27 Desember 2014 untuk investigasi lanjut dan penyelesaian tragedi 8 Desember di Paniai. Masyarakat mulai kurang percaya, atau sekurang-kurangnya mulai meragukan efektivitas peranan Presiden. Satu alasan lain yang membuat masyarakat kurang bersemangat menjelang kunjungan ini adalah bahwa program yang sedang disusun ternyata bersifat sangat seremonial dan kurang bernafas keterbukaan. Presiden kurang membuka ruang untuk bertemu dan saling mendengar.

Kunjungan kedua ini menarik perhatian publik lebih besar ketika diberitakan bahwa 5 tahanan politik dibebaskan oleh Jokowi, karena diberikan grasi. Apalagi Presiden menjanjikan bahwa pembebasan 5 Tapol ini adalah titik awal, nanti “dalam waktu yang tidak terlalu lama semua tahanan politik akan dibebaskan”. Langkah ini cukup mengagetkan, ditambah dengan pernyataan bahwa larangan akses bagi wartawan asing (dan juga peminat lainnya) di Papua akan dicabut. Artinya: akses bebas diberikan untuk siapa saja yang berminat datang ke Papua. Tentu saja langkah-langkah atau kebijakan tadi mampu menghidupkan kembali harapan dari banyak orang Papua, membenarkan pilihan mereka kepada Jokowi untuk menjadi Presiden.

Meskipun dua langkah kebijakan di atas sangat penting dan menjanjikan, beberapa hari kemudian terdengar informasi bahwa para tahanan yang dibebaskan ditekan untuk menandatangani satu surat permohonan grasi kepada Presiden. Ketika belakangan mereka menyadari bahwa dengan menandatangani surat demikian, mereka juga mengakui bahwa pernah bersalah, mereka menjadi bingung karena mereka yakin bahwa mereka tidak bersalah. Mereka hanya mengungkapkan pendapatnya yang mungkin kurang sejalan dengan ideologi negara, namun diungkapkan dengan sopan serta damai dan menjadi haknya untuk menyampaikan pendapat. Filep Karma salah satu sasaran pembebasan pada saat itu dan seorang tahanan kunci, menolak untuk menandatangani surat seperti itu dengan alasan yang sama.

Kemudian yang menarik adalah berita di harian lokal dimana Komandan Nasional TNI menyatakan: “stop eksploitasi dialog Papua-Jakarta”. Dalam penjelasannya dia memberitahukan bahwa dialog sudah berjalan karena sekarang Jokowi sedang berdialog melalui kunjungannya, maka “tidak perlu minta dialog lagi; dialog sudah ada”. Diperkuat lagi dengan pernyataan dari Presiden sendiri bahwa: “tidak ada masalah di Papua, dialog untuk apa? tidak ada tempat untuk suatu dialog politik. Dialog kita adalah dialog pembangunan”. Juga seruan Presiden supaya orang Papua “sebaiknya melupakan masa yang lampau, dan sekarang melihat ke depan saja” membuat beberapa tokoh masyarakat bereaksi keras karena merasa sangat tersinggung dengan alasan yang tepat.
Pernyataan-pernyataan seperti di atas ini menimbulkan rasa kecewa mengingat bahwa masyarakat Papua sangat mengharapkan dengan memilih Jokowi sebagai Presiden akan membuka ruang untuk betul-betul dan bisa berdialog. Entah bagaimanapun juga pesannya jelas bahwa Pemerintah Pusat tidak mendukung suatu dialog sebagaimana yang diminta orang Papua selama beberapa tahun belakangan ini. Rakyat Papua meminta suatu dialog yang memungkinkan pembahasan akar permasalahan di Papua dan memungkinkan suatu sikap keterbukaan untuk mencari suatu jalan keluar bersama secara bermartabat, dengan menjauhkan diri dari segala kekerasan brutal yang marak terjadi di Papua.

Dalam kunjungannya ke Merauke, Presiden membenarkan janjinya dengan menyatakan bahwa “mulai hari ini semua wartawan, termasuk wartawan asing, dapat masuk Papua secara bebas saja” seperti diwilayah-wilayah lain di Indonesia, “tidak akan ada pembatasan lagi”. Sudah pasti pesan seperti ini akan disambut gembira oleh rakyat Papua maupun Komunitas Internasional. Namun demikian, dari kalangan orang penting di sekeliling Presiden ternyata masih membatasinya. Beberapa hari kemudian Menteri Koordinasi Politik, Keamanan dan Hukum menyatakan bahwa setiap wartawan yang ingin mengunjungi dan membuat berita mengenai Papua tetap perlu meminta izin dulu. Meskipun instansi penyeleksi dan pemberi izin mengubah namanya dari instansi “kliring house”(penyaring) menjadi instansi “monitoring” (pemantau) tetapi sangat dikwatirkan bahwa dalam prakteknya sebenarnya tidak ada perubahan.

Kunjungan ke Merauke dipakai Presiden untuk menegaskan bahwa Pemerintah Pusat berniat untuk mempercepat pelaksanaan mega-proyek yang dinamakan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang berkaitan dengan investasi industri dan pengembangan 4,6 juta hektar tanah (termasuk sebagian hutan murni). Mega-proyek ini tidak pernah berhasil, tinggal landas selama lima tahun terakhir ini karena masyarakat asli Papua tidak menyetujui perampasan tanah ulayatnya dan juga proyek ini akan mengakibatkan suatu kerusakan lingkungan alam yang tidak dapat dipulihkan lagi.Ternyata Presiden mengesampingkan segala masalah serta keberatan yang wajar ini, dan menyatakan sebagai langkah pertama akan dikembangkan suatu wilayah, luasnya 1,2 juta hektar, menjadi lumbung padi Indonesia selama tiga tahun mendatang. Walau kelayakan proyek ini sangat dipertanyakan oleh sejumlah ahli, Jokowi menegaskan bahwa proyek ini harus diimplementasikan. Untuk memastikan bahwa proyek ini benar-benar dilaksanakan Presiden mengundang pihak TNI untuk mengambil bagian aktif dalam pelaksanaan. Memang sangat mengherankan bahwa selama berada di wilayah ini, dimana de facto masyarakat asli sudah menderita begitu lama karena ulah investor, karena penyangkalan hak-haknya, karena kehilangan tanah termasuk jaminan makanannya, karena intimidasi oleh pihak keamanan, karena perusakan lingkungan dan juga karena pejabat-pejabat administrasi yang lebih mengutamakan kepentingan dirinya, Presiden tidak menunjukkan bahwa beliau pernah mendengar kisah-kisah kemanusiaan ini dan sepertinya secara sadar meningkatkan marginalisasi masyarakat asli Papua.

Sekali lagi pesannya jelas: Pemerintah Pusat akan terus melaksanakan “grand design”-nya, dan tetap tuli serta buta terhadap apa yang mengganggu kepentingannya. Disamping itu mulai terlihat adanya kemenduaan dalam langkah-langkah/kebijakan-kebijakan konkrit yang diprakarsai Presiden. Memang Presiden berbunyi tegas dan jujur sewaktu menjelaskan langkah/inisiatif baru, namun hanya dalam waktu yang sangat singkat kita semua dihadapkan dengan suatu tanggapan dari “lingkaran pejabat-pejabat yang berkuasa” yang menunjukkan bahwa mereka menolak atau memodifikasi substansi kebijakan yang disampaikan oleh Presiden. Contoh terakhir adalah tanggapan Menteri Transmigrasi setelah Presiden menyampaikan awal Juni supaya program transmigrasi ke Papua ditiadakan. Menteri yang bersangkutan justru menyampaikan bahwa program transmigrasi ke Papua tetap akan jalan karena sangat dibutuhkan demi keberhasilan “proyek lumbung padi seluas 1,2 juta hektar”; apalagi dinyatakannya bahwa “Merauke adalah surga bagi transmigran” dan bahwa transmigrasi ke Merauke selama ini telah terbukti sangat berhasil.

Aspek yang menarik pula selama kunjungan Presiden adalah Pemerintah Sipil Provinsi Papua hampir tidak berperan dalam kunjungan ini dan/atau dalam kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. Ini sangat signifikan dan artinya terbuka bagi pelbagai penafsiran. Satu hal yang jelas, Pemerintah Sipil Provinsi Papua tidak menggemakan suara serta analisisnya dan kenyataan demikian sama besar merugikan dengan dominansi Pemerintah Pusat yang menetapkan pola kebijakan di Papua secara sepihak.

Sebagai kesimpulan kami hanya dapat mencatat bahwa kunjungan Presiden meninggalkan orang Papua bergumul dengan: perasaan campuraduk dan peningkatan rasa ragu berhubungan dengan kemauan politik dari Pemerintah Pusat serta instansi-instansinya untuk benar-benar “mau merangkul komunitas asli Papua dalam suatu upaya bersama-sama menemukan jalan keluar yang tepat”; Bertanya diri: siapa sebenarnya yang menentukan secara efektif nasib Negara ini, dan nasib Papua secara khusus?

Ketidakberdayaan Pemerintah Provinsi Papua yang diharapkan berjuang di baris paling depan untuk menemukan jalan-jalan keluar yang menunjukkan kepedulian buat martabat orang Papua asli sebagai inti dan dasar kebijakan serta tindakannya; Perasaannya bahwa kunjungan Presiden sebagaimana dijalankan kali ini tidak memenuhi tingkat harapan yang ada pada orang asli Papua.

Merenungkan realitas yang digambarkan diatas, memang sangat mengherankan bahwa sejumlah masalah kunci tidak diberikan perhatian yang sewajarnya. Masalah-masalah kunci yang kami maksudkan supaya dijadikan Agenda Dialog yang diharapkan masyarakat Papua adalah sbb:

  1. Perubahan drastis dalam balans (keseimbangan) kependudukan; daripada dibiarkan orang asli Papua menjadi suatu minoritas yang tidak berarti lagi, perlu ditetapkan misalkan kebijakan-kebijakan konkrit sehingga terjamin bahwa di masa depan 30% (sekurang-kurangnya) dari semua penduduk Papua tetap akan ada orang Papua asli;
  2. Perlunya perubahan sikap dan pendekatan yang diterapkan di Papua; menjauhkan diri dari suatu pendekatan keamanan yang represif dan diiringi kekerasan untuk mengatasi permasalahan di Papua; menghilangkan sikap penolakan nyata dari instansi-instansi yang berwewenang untuk membuka ruang buat suatu dialog mengenai akar permasalahan yang sebenarnya;
  3. Peninjauan kembali pola pengembangan ekonomi serta pembangunan menjadi suatu pola/model yang lebih berpihak pada masyarakat dan ramah komunitas asli; dan akhirnya
  4. Perlunya dengan urgen suatu upaya peningkatan kapasitas Pemerintah Sipil Provinsi Papua supaya lebih berdaya mengidentifikasikan kebijakan-kebijakan yang tepat dan mampu menyeimbangi dominasi kekuasaan nyata oleh pihak keamanan di Papua dewasa ini.

Bagi siapapun yang berpretensi “berurusan dengan Papua dengan hati” empat masalah kunci yang disebut di atas patut diberikan tempat sentral dalam suatu dialog yang jujur dan saling menghargai. Inilah suatu misi urgen, juga suatu tanggungjawab bersama supaya kita sama-sama dapat mengembangkan diri sebagai penjaga sejati martabat setiap orang .

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *