“Kunjungan Presiden RI menjadi Malapetaka bagi rakyat Papua. Setiap kali Presiden RI hendak berkunjung ke Papua selalu saja ada penembakan rakyat Papua”
Begitulah pernyataan dari Ketua Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua (Gempar Papua) Kota Jayapura Ipul Robaha via telepon, Kamis (31/12). Kunjungan Presiden RI Joko Widodo ke Papua merupakan kunjungan ketiga kalinya semenjak menjabat sebagai Presiden RI. Pada kunjungannya pertama Desember 2014, Presiden Joko Widodo berjanji dan meminta kepada pihak berwewenang untuk menyelesaikan kasus penembakan di Paniai, 8 Desember 2014. Pada kunjungan keduanya bulan Mei 2015, Joko Widodo juga menyatakan hal yang hampir serupa yakni menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.
“Kami menilai kunjungan Presiden ini bukan kunjungan kerja tetapi kunjungan politik saja. Kami pesimis terhadap kunjungan politik Presiden ini. Ini bukan kunjungan kerja, kalau kunjungan kerja berarti setelah berkunjung dia melakukan sesuatu yang nyata terhadap janjinya. Ini adalah kunjungan politis saja. Selain itu kunjungan ini sebaiknya ditiadakan saja karena hampir selalu hendak berkunjung ke Papua, selalu saja ada penembakan dan pembunuhan terhadap orang asli Papua. Yang masih hangat dan belum diselesaikan adalah Kasus Penembakan di Paniai, 8 Desember 2014”, jelas Ipul.
Pada kunjungan ketiga ini Presiden RI mengunjungi beberapa daerah di Papua seperti di Wamena, Merauke, Sorong dan Raja Ampat. Hal menarik dalam kunjungannya ketiga ini adalah adanya “Kapsul Waktu” yang berisi harapan-harapan Presiden dalam jangka panjang ke depannya sepertinya pengembangan social ekonomis, social budaya. Harapan-harapan tersebut mungkin menjadi berita gembira dan patut dihargai.
Menanggapi hal tersebut, seorang pengamat sosial politik Papua Theo van de Broek mengatakan bahwa harapan-harapan yang tertuang di dalam Kapsul Waktu tersebut patut dihargai namun belum menjadi harapan besar rakyat Papua. Harapan-harapan yang dimaksudkan adalah harapan untuk berdialog sejati sebagai jalan bermartabat dalam penyelesaian masalah, (sudah tentu dialog yang dimaksudkan jauh lebih luas daripada dialog pembangunan yang dicari oleh Presiden) serta harapan supaya kita semua dapat hidup dalam damai dan bebas dari kekerasan.
”Selanjutnya kunjungan Presiden sekarang ini tidak terlepas dari kunjungan-kunjungan sebelumnya, maka tidak berlebihan kalau beliau dipertanyakan mengenai penyelesaian sejumlah insiden pelanggaran HAM di Papua selama ini, termasuk pelanggaran HAM berat yang terjadi di Enarotali pada tanggal 8 Desember 2014. Komitmen Presiden dalam hal ini terungkap berulang kali, namun sampai saat ini tinggal pengungkapan saja. Harapan kami bahwa dalam kelanjutan kunjungannya kali ini beliau masih akan memberikan titik terang menuju suatu penyelesaian kasus seperti Paniai (8 Desember 2014). Kunjungan Presiden akan menambah nilai kalau memang unsur komitmen sungguh-sungguh ditindaklanjuti, kalau tidak kunjungannya hanya sebuah ‘kegiatan seremonial’ melulu”, kata Theo van de Broek.