Otopsi Bukan Alasan Untuk Mengungkapkan Kasus Paniai

“Aksi yang kami buat kemarin (8/10) merupakan aksi damai, aksi kemanusian. Kami tidak melakukan aksi anarkis, berbau politik dan separatis. Kami hanya menginginkan agar kasus Paniai, 8 Desember 2014 itu dituntaskan”

Begitulah ungkapan Koordinator Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua Peneas Lokbere pada konferensi pers, Jumat (9/10), di Kantor KontraS Papua. Kasus pelanggaran HAM terus marak terjadi di Papua dan tidak ada proses hukum yang menyelesaikannya. Para pelaku pelanggaran HAM sepertinya dibiarkan oleh Negara atau pihak penegak hukum.

“Semua publik tahu apa yang kami lakukan kemarin (8/10). Para frater atau biarawan juga hadir secara fisik turun ke jalan karena kemanusiaan. Namun yang kami tidak terima adalah pembubaran secara paksa oleh pihak keamanan. Mereka bertindak seperti preman dalam pembubaran aksi damai tersebut. Aksi yang kami lakukan kemarin tidak mengganggu mereka yang bekerja di tokoh. Pihak kepolisian harus merubah secara total pola pembubaran terhadap setiap aksi yang dilakukan di Papua,” lanjut Peneas Lokbere.

Aksi damai yang dilakukan oleh massa yang tergabung dalam SKP HAM Papua pada Kamis, 8 Oktober 2015 di depan Gereja Katolik Gembala Baik Abepura, Jayapura, Papua ini merupakan aksi untuk mengawal penyelesaian proses hukum terhadap kasus Paniai, 8 Desember 2014 akhirnya dibubarkan secara paksa oleh pihak Polresta Jayapura, Papua.

Seperti yang diketahui bersama bahwa peristiwa ini menewaskan empat orang anak sekolah (SMU) di Paniai. Public telah mengetahui secara jelas siapa pelaku penembakan tersebut. Selain itu berbagai pihak entah itu dari NGO, Komnas HAM, kepolisian, tim Pansus DPR Papua, mahasiswa dan Gereja telah melakukan investigasi dan segala laporan serta barang bukti sudah diberikan kepada pihak yang berwewenang namun para pelakunya masih dan sengaja disembunyikan. Bahkan dalam kunjungannya ke Papua pada Mei 2015, Presiden RI Joko Widodo telah berjanji dan meminta kepada pihak yang berkewajiban untuk menuntaskan proses hukum terhadap para pelaku.

“Kemarin (8/10), kami turun. Kami Fransiskan turun karena nilai manusianya. Kami tidak mempunyai kepentingan politik dan lain-lainnya. Kami sadar bahwa kami hadir di Papua untuk manusia Papua. Kami merasa terpukul ketika manusia Papua dibunuh demi keamanan nasional. Kami turun dengan damai, tanpa komporomi kami dibubarkan. Untungnya kemarin kami tidak ditabrak, kalau ditabrak kami pasti mati semuanya. Kami sangat menyesal tindakan kemarin,” kata Fr. Fredy Pawika, OFM.

Hal ini dipertegas lagi oleh Fr. Ako Sedik, OSA (biarawan OSA). Menurut Fr. Ako, aksi damai demi kemanusian yang dilakukan tersebut merupakan aksi kepedulian terhadap sesama manusia seperti aksi kemanusiaan yang lainnya.

“Kemarin (8/10), kami turun bersama saudara fransiskan dengan kesederhaan kami. Kami menggunakan pakaian kebesaran kami yaitu dengan jubbah turun ke jalan. Kami tidak biasa bertindak seperti itu, tetapi baru ini kami turun. Kami turun karena merasa terpanggil untuk membantu sesama. Di biara kami berdoa untuk mereka dan kami tidak sebatas hanya berdoa tetapi kami perlu melakukannya,” jelas Fr. Ako Sedik, OSA.

Adapun beberapa tuntutan yang disampaikan dalam aksi tersebut adalah:

  • Mendesak Presiden Jokowi segera mendorong Tim Ad Hock dan Memfasilitasi Tim Ad Hock untuk menyelesaikan kasus Paniai 8 Desember 2014
  • Meminta kepada Komnas HAM RI agar tidak menjadikan otopsi sebagai alasan untuk mengungkapkan kasus Paniai
  • Negara bertanggung jawab terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua

Pernyataan sikap dari SKP HAM Papua terkait aksi pembubaran paksa pihak Polresta Jayapura adalah:

  • Perilaku pembubaran paksa aksi damai kemarin oleh aparat kepolisian merupakan perilaku keji yang menodai nilai kemanusiaan dan membuat orang tidak lagi berani menyampaikan pendapat yang benar dan kritis di muka umum meskipun dijamin oleh undang-undang.
  • Mengutuk tindakan pembubaran paksa aksi damai SKP HAM yang dilakukan aparat kepolisian karena tindakan ini tidak menhormati kebebasan berkumpul, berpendapat dan kebebasan mengemukakan pendapat yang dijamin oleh prinsip-prinsip demokrasi
  • Meminta Kapolda Papua untuk melakukan pencopotan terhadap Wakil Kepala Kepolisian Resort Kota Jayapura atas nama Kompol Albertus Adreana karena telah bertindak gegabah dan anarkis dalam penanganan aksi damai yang dilakukan SKP HAM kemarin

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *