Ratusan Pemuda mahasiswa yang tergabung dalam aksi Pemuda Adat Papua mendesak pemerintah Indonesia mengembalikan pegelolaan PT. Freeport Indonesia ke tangan rakyat Papua. Rakyat Papua yang harus mengendalikan dan mengambil keuntungan lebih dari perusahaan tembaga terbesar yang berbasis di Amerika itu.
“Orang lain sana, Indonesia, Amerika yang mengambil keuntungan, dan rakyat Papua hanya menerima sisa-sisa,” ungkap Decky Ovide Koordinator Aksi dalam orasinya di Kantor Gubernur Provinsi Papua, Jayapura, Papua, Kamis (18/2/2016).
Karena itu, ia bersama pemuda Papua mendesak pemerintah Indonesia memikirkan langkah-langka kongkrit. Langka-langkah kongkrit itu, kata Pendemo, sedang diperjuangkan gubernur Papua, yang memungkinkan rakyat Papua menjadi subjek dalam pengelolaan PT Freeport Indonesia.
“Jabatan presiden direktur yang kini kosong harus diisi orang Papua. Orang Papua yang harus mengelolah Freeport. Pembangunan smelter harus di Papua, bukan di luar Papua,” tegasnya.
Sekretaris Daerah Provinsi Papua Hery Dosinaen, yang menemui pendemo mendukung aspirasi pemuda adat Papua itu. Menurut dia, Rakyat Papua yang harus mengelolah pertambangan tembaga terbesar di dunia itu dengan satu regulasi yang jelas.
“Kalau tidak ada regulasi yang jelas, siapapun presiden direkturnya sama saja. Rakyat Papua, TNI/POLRI telah menjadi korban karena Freeport,” ungkapnya kepada pendemo.
Karena itu, Dosinaen, mengajak seluruh lapisan pemuda, mahasiswa dan rakyat Papua, bersama-sama memperjuangkan nasib Freeport ke tangan orang Papua. Orang Papua yang harus mengelolah dan mengambil mafaat lebih daripada orang lain.
“Kalau tidak, kita tutup Freeport saja. Kita kawal perjuangan ini dengan damai, tanpa terprofokasi,” tegasnya disambut aplaus para pendemo.
Dukungan senada datang dari Ptr. John Djongga, Pr. Ia mengatakan sangat mendukung aspirasi para pemuda Papua. Orang asli Papua yang harus mengawasi pengelolaan Freeport.
“Kalau Freeport bilang tidak, atau orang Papua belum bisa, Freeport buat apa selama 50 tahun ini. Freeport bisa dibilang betul-betul pencuri,” tegasnya, Kamis (18/2/2016).
Kalau Freeport tidak menjawab aspirasi itu, kata Djongga, orang Papua bisa mencurigai Freeport. Mengapa Freeport tidak mempercayakan orang Papua? Ada apa di balik Freeport tidak percaya orang Papua?
Kata Djongga, kalau Freeport betul-betul membawa manfaat selama 50 tahun, para pemuda Papua tidak perlu demo. Perusahaan dengan sendirinya bisa mempercayakan pemilik hak ulayat terlibat penuh dalam pengelolaan. Tetapi karena tidak, para pemuda itu harus demo menuntut hak.
“Karena itu, tidak ada alasan, untuk saat ini, Freeport harus menjawab aspirasi rakyat Papua. Freeport harus mempercayakan pemilik hak ulayat mengelolah Freeport,” ungkapnya serius.
Sekedar diketahui, kontrak karya pertama PT. Freeport Indonesia pada 7 April 1967, berdasakan hasil penelitian Dr. Jean Jacques dari Belanda. Kontrak ini jauh sebelum status politik Papua menjadi bagian dari Indonesia melalui PEPERA 1969.
Kontrak karya kedua dilakukan pada 30 Desember 1991 dan kontrak karya ke tiga pada 2014 memperpanjang kontrak yang akan berakhir pada 2021. Kontrak keempat masih menjadi perdebatan saat ini.