Oleh Fr. Wandi Batoteng Raya , OFM
Pagi nan indah, sunyi, sepi, berselimutkan kabut yang sesekali diramaikan siulan burung-burung yang seakan menyemarakkan suasana Natal yang kini mulai tampak. Pondok-pondok yang berhiaskan cahaya kelap-kelip yang menyala sepanjang malam tadi kini masih terlihat di pagi itu. Hari itu 8 Desember 2014, tanpa rasa beban empat sekawan Alpius, Yulian, Simon dan Youw, menuju sekolah. Di jalan sesekali mereka bercanda-tawa. Mereka merencanakan liburan Natal yang sudah di ambang pintu, mereka sungguh gembira di kala itu.
“Teman-teman… sungguh indah ya hidup ini, kita bisa melihat alam yang indah, meraskan udara yang segar, hembusan angin yang menyejukan dan mendengar siulan burung yang merduh”! Ungkap Yulian. “Dan bisa bersama-sama menuju sekolah!” Lanjut Youw sembari menabur senyumnya.
Kebersamaan mereka di pagi itu seakan menggambarkan suasana hati mereka yang siap menyambut Sang Sumber Kehidupan dengan penuh kegembiraan.
Di sisi lain kehidupan ada sejumlah ibu-ibu yang juga bergegas menuju ke kebun masing-masing. Sepanjang jalan menuju kebun dengan penuh kegembiraan mereka saling berbagai cerita mengenai persiapannya untuk menyambut hari Natal. Sudah menjadi tradisi bahwa Natal akan selalu membawa kegembiraan. Mungkin beban pekerjaan terasa berat dan melelahkan akan tetapi karena suasana Natal telah mendekat maka semuanya itu tak terasa melelahkan lagi melainkan berubah menjadi kegembiraan.
“Ibu Yul.. bagaimana dengan tanaman sayur ibu, apakah bisa dipetik pada saat hari Natal nanti”? Tanya ibu Yeimo. Oh bisa bu! Sahut Ibu Yul dengan gembira.
“Lalu bagaimana dengan tanaman ubi yang ibu tanam?” Tanya Ibu Alpius kepada ibu Youw.
Sembari tersenyum Ibu Youw menjawab “Tanaman ubi yang saya tanam memang saya persiapkan untuk menyambut hari Natal! Youw anak saya rajin membantu saya merawat tanaman ini karena hanya inilah yang bisa kami persembahkan pada hari Natal nanti”.
Hari-hari penduduk kampung Enarotali hidup dalam kedamaian, bersahabat dengan alam, saling berbagi satu dengan yang lain, keceriaan selalu menghiasi wajah-wajah mereka. Begitulah kampung itu menata hidup mereka.
“Oh ibu dan ayah selamat pagi, kupergi sekolah sampaikan nanti………..!” Demikan lagu yang dinyanyikan oleh empat sekawan, Yulian dan teman-temannya itu ketika usai bercerita soal pengalaman liburan yang akan mereka lalui nantinya.
Mereka mempunyai kerinduan kelak pendidikan mereka dapat berhasil dengan baik, agar bisa meringankan beban orang tua mereka, yang selama ini menghidupi dan membiayai mereka hanya dengan memeras keringat dari hasil kebun yang tak seberapa jumlahnya. Mereka selalu berjuang untuk menempuh jarak yang begitu jauh hanya untuk memperoleh ilmu pengetahuan di sekolah demi masa depan yang sudah menanti mereka, masa depan yang kelak bisa membahagiakan kedua orang tua mereka atau bahkan masyarakat yang ada di kampung mereka.
Tatkala bangunan sekolah sudah mulai tampak, mereka dengan penuh semangat berlari menuju bangunan itu, seakan ada sesuatu yang ingin mereka dapatkan dari bangunan itu. Masa depan? Entahlah….? Perjuangan mereka adalah kegembiraan orang tua mereka. Tetes-tetes keringat orang tua mereka yang selama ini terkadang membasahi setitik tanah, tidaklah sia-sia sejauh ini. Semangat yang mereka tunjukkan memberikan harapan yang pasti pada orang tua mereka bahwa kelak mereka akan berhasil dan menjadi anak yang berbakti.
Hari semakin siang, panas terik terus menyengat kulit, keringat pun terus mengalir membasahi tubuh. Di bawa terpaan sinar mentari siang terlihat empat sekawan sedang berangkul-rangkulan, berbagi senyum satu dengan yang lain, Alpius, Yulian, Simon dan Youw. Yah… mereka adalah empat sekawan yang hendak menuju ke rumah masing-masing untuk menikmati santapan siang, setelah sekian lama duduk dalam kelas mendengar pengajaran para guru.
Doorrr…….! Darah. Yulian…………………………..! Teriak Youw yang sontak kaget karena melihat temannya telah tergeletak tak berdaya dengan darah yang terus mengalir dari dadanya. Lari…………! Lariiiiiiiiii………………..! Lariiiiiii…………….! Ajak Alpius dan Simon pada Youw yang masih sibuk memegang tubuh sahabatnya yang kini tak bernyawa lagi. Mereka semua kalang kabut, tak tahu harus buat apa, mereka hanya bisa berlari sekuat-kuatnya, agar bisa terhindar dari nasib yang dialami oleh Yulian sahabat mereka. Mereka sungguh takut.
Door…! Darah mengalir…. Kini giliran Youw yang mengalami nasib yang sama dengan Yulian temannya. Dalam sekejap dua nyawa anak muda melayang dengan senjata yang tidak tahu arahnya dari mana? Alpius dan Simon kini tak bersama-sama lagi, masing-masing mencari jalan untuk menyelamatkan diri. Dua teman mereka telah penuh dengan tetesan-tetesan darah yang membasahi tanah, tanah yang selama ini mereka lalui ketika pergi dan pulang sekolah, tanah yang selama ini menjadi tempat tinggal dan hidup mereka, tanah yang membesarkan mereka.
Ahhhhhhhhhhhhhh………! Teriak Alpius yang rupanya juga menjadi landasan peluru yang ketiga kalinya. Darah kini mengalir lagi akibat timah panas yang menerobos tubuh Alpius, tubuh yang kelak akan menjadi kebanggaan orang tuanya. Namun harapan itu hanyalah tinggal angan-angan saja, Alpius kini tak berdaya, ia tergeletak bersimpah tetesan-tetesan darah akibat ulah mereka yang tidak sayang akan kehidupan ini.
Doorrrr…! Sekali lagi bunyi senjata terdengar, Simon menjadi sasaran yang terakhir dari empat sekawan itu. Ia kini tergeletak dengan napas yang terengah-engah, menunggu kapan napas terakhir berhenti. Setelah beberapa menit penantian itu tiba, ia tidak dapat lagi diselamatkan, nasibnya telah sama dengan ketiga temannya yang sudah terlebih dahulu tergeletak tak bernyawa di atas tanah mereka, tanah yang selama ini memberi kegembiraan, keceriaan, harapan, dan kehidupan pada mereka, tanah yang menjadi tempat ibu-ibu mereka memeras keringat untuk menyekolahkan mereka.
Empat sekawan kini telah tiada, mereka telah musnah di atas tanah mereka, mereka tak dapat lagi menikmati indahnya hidup ini, hutan yang hijau, siulan burung yang merdu, terpaan angin yang meneyejukkan tubuh dan juga hari liburan yang telah mereka rencanakan. Mereka kini telah tiada.
Lagu “Oh ibu dan ayah selamat pagi, kupergi sekolah sampaikan nanti………..!” tinggal kenangan belaka, mereka tidak dapat lagi kembali, mereka pergi untuk selamanya, akibat timah panas yang menerobos tubuh mereka. Tetesan-tetesan darah mereka seakan mengubah tanah yang subur menjadi aliran darah yang mengerikan.
Kegembiraan Natal yang sudah mulai tampak berubah menjadi kesedihan. Tangisan dan air mata menjadi pelarian bagi Ibu Alpius, Ibu Yul, Ibu Simon dan Ibu Youw, ketika menyaksikan anak-anak mereka ditemukan dalam keadaan tak bernyawa. Kini empat sekawan telah pergi, tidak ada lagi yang membantu Ibu Youw untuk merawat tanaman ubinya, tidak ada lagi senyuman Youw yang bisa menggembirakan ibunya.
Kejam……………………………..! Teriak Ibu Yul sambil tak hentinya menangis memangku anaknya Yulian yang tak bernyawa lagi. “Sungguh kejam pemilik senjata yang telah membasmi empat nyawa anak-anak itu, entah apa alasan mereka sehingga tegah membantainya. Mereka sungguh tak sayang akan kehidupan orang lain, mereka egois, mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri. Mengapa mereka tega menggunakan benda mati itu untuk menghabisi nyawa anak-anak yang tak bersalah, bukankah mereka kesatria pelindung rakyat, bukankah kata mereka bahwa bersama rakyat mereka kuat”? Katanya mereka adalah aparat keamanan, tapi apa…..? Mereka malah menimbulkan kekacauan… Kejam………..!