Bersama “Si Pembuka Jalan”

Menjadi Seorang Imam Itu adalah sebuah kebahagiaan”

Pada tanggal 28 Juni 1992, di Gereja Paroki Waghete (sekarang Keuskupan Timika), Diakon Neles Tebay, Pr menerima sakramen imamat yang diurapi oleh Uskup Keuskupan Jayapura Mgr. Herman Ferdinandus Maria Munninghoff, OFM. Pater Nelis Tebay, Pr diberikan nama secara adat ketika menerima sakramen pentahbisan tersebut yakni “Kebadabi”

“Tidak ada ayat kitab suci yang menjadi ayat favorit saya waktu itu. Tidak ada motto tahbisan seperti halnya dengan tahbisan imam lainnya. Nama yang diberikan kepada saya secara adat yakni “Kebadabi” itu merupakan motto saya. Nama “Kebadabi” berarti membuka pintu, membuka jalan. Hingga saat sekarang ini saya menghayati motto imamat saya itu yakni “Kebadabi”, ungkap Pater Dr. Nelis Kebadabi Tebay, Pr, ketika saya merekamnya untuk pembuatan video kesaksian di Kompleks STFT Fajar Timur Padang Bulan, Sabtu (27/5).

Lebih lanjut Pater Nelis mengatakan, “arti dari nama “Kebadabi” sungguh-sungguh saya hayati di dalam perjalanan kehidupan saya. Hal itu bisa terlihat dimana saya menjadi imam pertama Papua yang pergi studi ke Filipina dan Roma. Setelah saya, ada beberapa imam projo lainnya pergi studi di luar negeri. Saya percaya bahwa saya telah membuka jalan untuk itu. Di dalam kehidupan bermasyarakat, saya memaknai nama itu dengan terlibat di dalam Jaringan Damai Papua. Saya berusaha mendekati dan mengetuk pintu hati pihak-pihak yang bermusuhan untuk berdamai. Untuk mencari jalan terbaik terhadap konflik yang terjadi di Papua. Saya pergi ke saudara saya yang berjuang di Hutan, di luar negeri, saya mengunjugi para pejabat negara di Indonesia, saya mencoba mengetuk pintu hati mereka untuk duduk secara bersama untuk mencari jalan terbaik di dalam konflik tersebut. Saya menghendaki supaya konflik tersebut diselesaikan melalui jalan damai sehingga tidak ada korban lagi”.

Perjalanan Pater Nelis Tebay menuju tahbisan suci imamat tidak segampang membalikan telapak tangan. Pater Nelis harus berhadapan dengan orientasi keluarga dari Suku Mee pada umumnya, khususnya keluarganya yakni anak laki-laki harus berkeluarga. Ketika Pater Nelis menyampaikan maksudnya tersebut, ia harus sedikit beragumentasi dengan sanak saudaranya.

“Waktu saya menyampaikan maksud saya ke keluarga untuk menjadi pastor, tidak semua keluarga saya mendukungnya. Kakak-kakak saya menghendaki supaya saya berkeluarga. Tetapi waktu itu mama saya mengatakan kepada kakak-kakak bahwa biarlah ia (Nelis) yang menentukannya, karena dia yang akan menghidupinya”, lanjut “Si Pembuka Pintu” dalam wawancara tersebut.

“Pater, bisa ceritakan sedikit awal benih panggilan untuk menjadi seorang imam atau pastor?” Saya bertanya kepada Pater Dr. Nelis Kebadabi Tebay, Pr.

“Awalnya saya pilih sekolah di STTK (sekarang STFT Fajar Timur) karena bagi saya pendidikan yang terbaik waktu itu adalah di STTK. Saya memang memilih tempat pendidikan yang baik untuk masa depan saya. Tidak ada niat awal sekolah di STTK untuk menjadi seorang imam. Ketika menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki Bintang Laut Kokonao (sekarang termasuk wilayah Keuskupan Timika), waktu itu bulan Desember Tahun 1986 dalam persiapan perayaan Natal, kami menunggu Pater Alfons van Nunen, OFM untuk asistensi Natal di paroki kami. Dalam rencananya, Pater Alfons tiba di Kokonao tanggal 22 Desember tetapi sampai pada tanggal 23 dikabarkan batal, komunikasi saya dengan pihak AMA waktu itu didengar oleh umat yang berada di pastoran. Mereka (umat) menyampaikan kepada saya bahwa Pak Nelis, kalau Pater Van Nunen tidak jadi datang merayakan Natal di sini berarti kami akan dayung perahu untuk merayakan Natal di mana ada pastornya. Dan saya jawab ke mereka, ya, silahkan saja. Tetapi pernyataan tersebut yakni ‘Kalau Pater tidak datang dan kami akan dayung perahu untuk rayakan Natal di tempat lain’ terus menggema di dalam diriku. Saya berpikir dan merasakan bahwa umat membutuhkan seorang pastor atau imam. Maka setelah menjalani TOP, saya menulis surat lamaran ke Uskup Keuskupan Jayapura”, cerita Pater “Kebadabi”.

Sudah 25 tahun, Pater Dr. Nelis Kebadabi Tebai, Pr menjalani hidupnya sebagai seorang pastor atau imam. Di kurun waktu tersebut, hampir 23 tahun Pater Nelis menghabiskan waktunya di kampus tercintanya, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur (STFT FT) Jayapura. Pater Nelis merasa bahagia menjadi bagian dari kampusnya.

“Ya selama 23 tahun hidup dan perjalanan untuk kampus STFT FT. Saya pergi studi di Filipina, kembali dan mengajar di STFT, saya pergi studi di Roma, Italia, kembali dan mengajar di STFT FT. Dan saya merasa bahagia bersama dengan siswa-siswa dan para dosen di STFT. Saya merasa bangga ketika melihat siswa sekarang yang sekarang sudah menjadi seorang imam/pastor. Saya merasa bahagia karena ada suasana persaudaraan dan kekeluargaan yang dibangun di STFT. Baik itu antar dosen dengan siswa dan sebaliknya. Siswa dan dosen sangat dekat sekali. Kadang bisa saling cerita ‘Mop’ (cerita lucu) bersama. Suasana atau situasi seperti ini tidak saya temukan di kampus atau sekolah tinggi lainnya di Kota Jayapura ini,” ungkap Pater Nelis.

“Sebenarnya perayaan pesta 25 tahun imamat saya jatuh pada tanggal 28 Juni 2017 tetapi pada tanggal tersebut, kampus sudah libur dan semuanya sudah pada libur. Karena saya merasa bahwa saya bagian dari STFT maka saya harus tetap merayakan pesta kebahagiaan tersebut dengan civitas STFT. Akhirnya kami memutuskan untuk diaksanakan pada Sabtu, 3 Juni 2017 di sini”, jelas Pater Tebay.

Perayaan Pesta Perak 25 tahun ini dirayakan di dalam perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Uskup Keuskupan Jayapura Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM di Aula STFT FT, Sabtu (3/6), pukul 16.30 Waktu Papua. Para pastor, suster, frater, diakon yang berkarya di Keuskupan Jayapura, khususnya di Dekenat Jayapura Raya terlibat di dalam perayaan tersebut. Selain itu, umat, keluarga, sahabat dan civitas STFT turut berbahagia di dalam suasana perayaan tersebut.

“Pater satu pertanyaan terakhir untuk pater? Apa perasaan Pater sudah bisa menjadi imam atau pastor selama 25 tahun ini?”, tanyaku lagi kepada Pater Nelis.

“Saya merasa bahagia menjadi seorang imam/pastor. Tidak ada terpaksa di dalam diri saya. Saya menjalani hidup ini dengan bahagia. Tantangan dan halangan itu jelas ada. Tetapi semuanya itu, saya percayakan kepada Roh Allah. Allah pasti membantu dan menolong saya di dalam pergumulan dan perjalanan saya ini,” jawab Pater Nelis.

 

Selamat Merayakan Pesta Perak 25 Tahun Imamat Pater Dr. Nelis Kebadabi Tebai, Pr. Sehat selalu dan terus bahagia dalam tugas pelayanan dan perutusannya di Tanah Papua

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *