Oleh: Soleman Itlay
Pagi itu, suasana pasar sangat ramai. Tidak seperti biasanya. Mama-mama datang pagi sekali. Jam tiga pagi mereka mulai berdatangan dari rumah ke pasar. Tempat dimana menjadi sumber mata pencaharian hidup. Wajah mereka terlihat manis. Badan mereka dihiasi dengan busana adat.
Suasana cukup ramai. Sepanjang pukul 03.00-07.00 WP ramai. Nyanyian pun terus bersandung jelang pukul 08.00 WP. Sulit dimengerti arti lirik lagu-lagu itu. Karena apa, bahasa daerah Papua. Namun cukup untuk mengerti dari sudut gerak geriknya. Ya, barangkali bisa dikatakan nyanyian itu adalah nyanyian gembira, memohon bantuan, memberi pesan moral, dsb.
Bisa bilang menghibur yang lain tapi juga menghilangkan lelah yang rasa seketika itu. Tapi lebih dari itu menghilangkan rasa bosan. Karena terlalu lama menunggu janji presiden untuk bertemu. Jarak antara mama-mama dengan presiden di Hotel Aston tak jauh. Kira-kira 80-100 meter. Sementara pasar baru yang diambil alih Pokja saat ini, sekitar 80-100 meter. Kalau dari tempat Jokowi menginap kurang lebih 60-70 meter.
Pemberitaan di media masa pasti membantu kita semua agenda presiden ke Papua. Dalam kunjungan kelima ini, dia ke perbatasan Skow, RI-PNG. Resmikan gedung yang baru dibangun di sana. Beliau dikabarkan akan berkunjung ke pasar mama-mama Papua yang baru. Hari itu, tepat hari kedua (10/05/2017). Presiden hanya tinjau pasar saja, bukan resmikan pasar yang letaknya di Jalan Percetakan, Kota Jayapura itu.
Sekalipun demikian, tidak ada kabar bagi mama-mama di sebelah yang tengah sibuk bernyanyi. Ya, mungkin karena mama ini dipandang tidak penting untuk ikut menyaksikan kunjungan presiden di lokasi pasar yang baru. Atau mungkin para bawahan Jokowi menghendaki agar mama-mama ini tidak dilibatkan. Memang benar, ketika presiden tinjau, mama-mama tidak diundang untuk menyaksikannya. Presiden hanya memberikan kewenangan untuk gubernur resmikan setelah wali kota Jayapura dilantik.
Sungguh mati…, seandainya orang yang tidak hadir saat itu ada disana? Pasti akan heran. Bagaimana mama-mama Papua saat itu diperlakukan selayaknya bukan manusia. Bayangkan, ketika Jokowi hendak lewat aparat keamanan dan militer membanjiri di area pasar mama-mama Papua sementara. SOLPAP bersama mama-mama Papua dikurung habis-habisan di dalam pasar itu. Bahkan pagar pun ditutup rapi oleh aparat dari satuan TNI, Polri, BIN, BAIS, pasukan organik dan non organik termasuk Panpanpres.
Sekertaris SOLPAP Natan Tebai yang ikut dikurung dalam pasar bilang mama-mama dapat kurung dari aparat gabungan. Dia bilang aparat gabungan itu terdiri dari TNI, Polri, pasukan organik dan non organik termasuk pasukan khusus untuk presiden. Tegas dia, pembatasan ruang bagi mama-mama itu menunjukkan dan tidak langsung mengatakan Presiden bukan untuk mama-mama.
Begini; “Tadi itu Tentara, Polisi, pasukan organik dan non organik termasuk Pasukan khusus pengaman presiden ikut membatasi dan tutup pasar di sini. Mama-mama ini dorang punya presiden kan pak Jokowi to? Kenapa aparat gabungan tutup ruang mama-mama? Kalau begini kan aneh, sama saja mereka menunjukkan dan mengatakan bahwa Joko Widodo itu bukan kalian punya presiden”, Tebai bilang begitu ketika saya tanya dia (10/05/2017).
Kenapa tidak memberikan ruang untuk mama-mama Papua bertemu? Kenapa aparat gabungan menutup mati pagar pasar mama-mama asli Papua? Kenapa Presiden tidak menegur aparat yang sengaja menutupi ruang penglihatan? Inikah yang disebut ingin membangun Papua dengan hati? Sedih sekali, kalau bertanya kepada mama-mama, dorang (mereka) bilang kami tidak punya niat jahat sama Jokowi. Mereka hanya bilang, kami ingin ketemu Jokowi dan bersalaman dengannya.
Seandainya aparat keamanan punya hati kemanusiaan, pasti akan memberikan ruang untuk mama-mama Papua. Seumpama aparat gabungan merasa bahwa kami lahir dari rahim perempuan pasti akan terpukul hati ketika mereka berteriak “kami bukan demo, kami ingin bertemu dan berjabat tangan dengan presiden”. Sesungguhnya, mama-mama bukanlah kelompok anarkis dan tidak pernah punya niat untuk berbuat jahat pada orang nomor satu republik ini.
“Hey, polisi dan tentara. Kami bukan mau demo. Kami bukan mau pukul presiden. Kami mau ketemu. Kami mau jabat tangan. Kenapa kalian batasi kami. Bukankah presiden bagian dari kami? Kami juga pernah coblos untuk dia. Kami juga pernah menari untuk dia. Kami ini mama-mama yang tidak punya apa-apa. Tidakah kalian punya hati? Bebaskan kami untuk bertemu dengan Jokowi”, ujar seorang mama di pasar mama-mama Papua ketika presiden Jokowi lewat di samping pasar.
Saksi mata, Norberd Bobii juga selaku anak yang selama ini mendapat biaya pendidikan tinggi dari hasil jualanan di pasar itu membenarkan (10/15/2017).
“Saya lihat, saat Jokowi mau lewat. Ternyata pagar ditutup dan dikelilingi oleh aparat. Saya pikir kalau Jokowi mau lewat berarti memberikan ruang untuk mama. Sehingga persoalan yang muncul setelah pendirian pasar ini bisa diselesaikan. Mama sudah berjuang 15 tahun”. Bayangkan sebagai seorang anak melihat mamanya yang terlalu lama jual sayur di pasar. Tapi mau ketemu presiden dibatasi oleh aparat. Sangat sedih. Saya ini salah satu anak yang dibesarkan karena berkat jualan. Aparat gabungan sangat keterlaluan sekali”
Pada kunjungan pertama kali di Papua, tempatnya di Stadion Mandala Jayapura, Presiden Jokowi dalam sambutan pernah bilang “Membangun Papua Harus Dengan Hati”. Semua yang bernafas dan tak bersuara telah catat itu. Kendati manusia lupa tapi media dan alam sudah arsipkan kata-kata Jokowi di atas. Bagi teman-teman yang hadir di pasar mama-mama Papua waktu lalu pasti akan bilang presiden Joko Widodo terlalu tipu orang Papua banyak. Pasti akan bilang juga mentang-mentang kuasai Papua jadi berikan janji terus. Tidak pernah genapi tuntutan orpa (orang Papua) yang biasa batariak (berteriak).
“Pas presiden mau lewat, pintu pasar tutup mati. Curiga saja, pasti ada yang bilang mama-mama pasti akan pukul bapa. Jadi pelapor dorang bilang pa Jokowi tidak usa turun bersalaman dengan mama dorang. Bisa juga karena beliau mau pergi ke Wamena jadi takut macet di Jayapura ka apa e? Atau juga karena mungkin beliau mau pergi ke Danau Habema jadi takut kabut tutup di tengah jalan. Oh, terlalu aneh. Begini baru bilang ingin membangun Papua harus dengan hati? Dimanakah hatimu pa presiden. Masa mama-mama dorang (mereka) sudah datang pagi subuh baru tidak ketemu mereka itu; mereka tidak mengharapkan bapa juga untuk resmikan pasar. Minimal pa bisa ketemu mereka dan kasih tahu secara terang-terangan to? Masa rakyat sendiri baru mengecewakan sekali itu. Dimana hatimu pa presiden?”
Semua pasti tahu. Presiden itu merakyat. Suka turun ke pasar dan tempat dimana pun. Tempat dimana rakyat susah pasti Jokowi akan menghampiri mereka. Rekam jejak ketika Jokowi menjadi gubernur di Jakarta itu orang semua tahu. Bahwa Bapak Jokowi sangat peka terhadap rakyat kecil, susah, miskin dan terpinggirkan. Kenapa Bapak Presiden bisa kecewakan mama-mama pasar di Jayapura?
Mungkin Bapak Presiden pergi ke Wamena untuk melihat jalan trans yang menghubung Agamua – Nduga sampai di Timika. Tapi sudah dengar kah tidak? Bahwa di wilayah Mbua, Kabupaten Nduga itu terjadi Kejadian Luar Biasa. Dimana pada Maret 2016-Maret 2017 dilaporkan 26 orang meninggal. Sementara sebelumnya ada 54 orang yang meninggal dunia. Bukan hanya itu, di Korowai juga dilaporkan 64 meninggal dunia dalam kurun waktu 7 tahun (2010-2017). Sementara per 29 Maret 2017 dilaporkan, 37 orang masih menderita penyakit kaki gajah.
Masih banyak, di Itlayhisage, Kabupaten Jayawijaya pada 2009-2014 dilaporkan 246 meninggal dunia. Kemudian di daerah Samenage, Kabupaten Yahukimo 2014 dilaporkan 61 orang meninggal dunia. Sementara di Kabupaten Lanni Jaya juga dikabarkan bahwa bertepatan dengan kedatangan Bapak Presiden di Papua, sekitar 20 orang meninggal dunia. Laporan ini sudah dinaikan oleh mahasiswa di Papua. Tapi Bapak Presiden tidak pernah kasih respon. Malah Bapak Presiden sibuk urus infrastruktur di Papua.
Bagaimana bisa membangun Papua dengan hati? Sementara kebebasan bagi wartawan asing, penyelesaian kasus Wamena, Paniai, Biak, Abepura berdarah, dan pembebasan tahanan politik saja belum pernah terbukti. Infrastruktur jalan dan jembatan bukan solusi, malah itu memberikan kemudahan bagi aparat militer untuk memburuh nyawa orang Papua demi kapitalisme dan imperialism guna mengerut dan menghancurkan SDA.
Seandainya Pak Presiden ingin membangun Papua, kenapa tidak dorong pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan serta menekan angka kemiskinan di Papua? Maaf kami tidak percaya lagi sama Indonesia yang Bapak Jokowi pimpin sekarang. Kami sangat sepakat pernyataan Tuan Dainius Puras, Pelapor Khusus PBB, yang dia bilang “Orang Papua Tidak Percaya Indonesia”.